pengen tau aja

Jumat, 16 Juli 2010

MAKALAH BENDA CAGAR BUDAYA SEBAGAI IDENTITAS YANG TIDAK BISA TERPISAHKAN BAGI KOTA SEMARANG Di susun sebagai tugas pendelegasian IKAHIMSI di UNIMED



MAKALAH
BENDA CAGAR BUDAYA SEBAGAI IDENTITAS YANG TIDAK BISA TERPISAHKAN BAGI KOTA SEMARANG
Di susun guna memenuhi tugas pendelegasian IKAHIMSI di UNIMED.








Di susun oleh :
Nama : 1. NURUL IMAN
2. M. NUR ROCHIM
3. PETRA WAHYU UTAMA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS ILMU BUDAYA
JURUSAN ILMU SEJARAH
SEMARANG

KATA PENGANTAR


Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada para Bapak/Ibu dosen jurusan sejarah FIB dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Penulis mengucapkan banyak terimakasih terhadap semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini serta Tuhan YME atas segala karunianya.
Melihat akan banyaknya kekurangan dalam isi maupun materi dalam makalah ini maka penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semarang, 28 maret 2010


Penulis Mahasiswa Sejarah UNDIP













BAB I
PENDAHULUAN

Pemeliharaan dan Pelestarian Warisan Benda Cagar Budaya merupakan benda warisan kebudayaan nenek moyang yang masih bertahan sampai sekarang. Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting, artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Dengan demikian perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Sebagai kekayaan budaya bangsa, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Menurut UUCB No. 5 th 1992, yang dimaksud dengan benda Cagar Budaya adalah.
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Kota SEMARANG banyak menyimpan tinggalan Benda Cagar Budaya, yang sampai sekarang tinggal reruntuhan ataupun yang masih utuh. Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar Budaya tentunya membutuhkan perlakuan khusus dalam menanganinya. Benda cagar budaya secara garis besar bisa dibedakan meniadi dua yaitu benda cagar budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula atau sering disebut dead monument dan benda cagar budaya yang masih dimanfaatkan seperti fungsi semula atau living monument. Dari segi pengelolaannya benda cagar budaya yang merupakan dead monument atau monumen mati hampir keseluruhannya dikelola oleh Pemerintah, sedangkan living monument atau monumen hidup ada yang dikelola oleh Pemerintah dan ada pula yang dikelola oleh masyarakat, kelompok atau perorangan.

Mengingat benda cagar budaya biasanya berumur lebih dari 50 tahun, maka sudah selayaknya bila mengalami kerusakan. Oleh karena itulah perlunya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya. Perlindungan dan pemeliharaan atau pengelolaan benda cagar budaya dan situs pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, meskipun demikian masyarakat, kelompok, atau perorangan dapat berperan serta. Bahkan masyarakat yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya dibebani pula kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya lengkap dengan sanksi hukumnya.



A. LATAR BELAKANG MASALAH



Artikel Terkait:
• Kawasan Bersejarah, Siapa Bertanggung Jawab?
• Menebar Virus di Kota Tua
• Bersikap Arif di Kawasan Bersejarah
• Meniti Kayu Bekas Gudang Abad Ke-17
Pemandangan di Kota Lama Semarang, Jawa Tengah dengan atap Gereja Blenduk muncul di tengah-tengahnya. Disebut gereja blenduk karena atapnya berbentuk kubah.
MELUNCUR di kawasan Kota Lama Semarang ada magnet lain yang akan menarik kita ke abad silam. Magnet itu begitu kuat manakala bangunan tua membentang ke manapun mata mengarah. Bangunan yang tersebar itu tampak relatif masih terawat, masih berbentuk bangunan, meskipun ada di antara bangunan itu yang bentuknya sudah setengah roboh. Tapi secara keseluruhan, kawasan lama berjuluk Little Holland ini jauh lebih menarik daripada kawasan yang berlabel Little Amsterdam - Kota Tua Jakarta.

Perwujudan seni dalam bentuk arsitektur bangunan mewarnai kawasan bekas kota bandar internasional yang terletak di pinggir pantai dengan muara Kali Garang yang bisa dilayari. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menggambarkan bahwa Semarang sejak dulu adalah daerah genangan Kali Garang.


Pramoedya Ananta Toer menulis, setelah jatuh ke tangan VOC pada 15 Januari 1678 maka mulai 1743 Semarang menjadi tempat kedudukan Gubernur Pantai Utara-Timur Jawa. Semasa kekuasaan Daendels Semarang menjadi kedudukan kepala Landrostambt dan semasa Raffles menjadi kedudukan Residen.
Arsitektur bangunan di kawasan Kota Lama Semarang beragam. Ada Gereja Blenduk (Nederlandsch Indische Kerk) bikinan 1750 dengan atap kubah yang dipugar pada 1894. Di hadapan gereja ini berdiri gedung karya Thomas Karsten di tahun 1916 yang kini menjadi gedung Asuransi Jiwasraya. Jalanan di kawasan ini kini ber-paving karena terlalu sering diterjang banjir. Tak lupa bangunan Stasiun Tawang yang mencoba tetep bertahan dari terjangan rob. Belum lagi Pasar Semawis yang menghidupkan Pecinan tak jauh dari Kota Lama.

Meski bagi warga Semarang, kawasan Kota Lama menjadi kawasan buangan yang kurang perhatian dari pemerintah setempat, namun bagi warga lain, seperti Jakarta, pastinya kawasan ini jauh lebih hidup. Barangkali, dipadankan dengan Kota Tua Jakarta, kawasan Kota Lama Semarang punya bangunan hidup yang relatif lebih banyak, pun lebih banyak bangunan utuh lantas dipadu jalanan ber-paving tadi. Apalagi ketika melihat atap si Blenduk menyembul di antara bangunan tua lain, bernaung di bawah langit sore. Sempurna cantiknya.

Memang, jika dilihat seksama, kawasan ini belum tertata baik, semisal, begitu semrawutnya lalulintas kabel yang menghalangi pemandangan pada gedung-gedung tua di seluruh kawasan. Jadi mereka yang akan mengambil gambar harus berputar-putar mencari cara agar jalinan kabel yang berseliweran di atas tak menghalangi panorama yang akan diambil.

Keberadaan Semarang diawali tahun 1476 dengan kedatangan utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) untuk mengislamkan semenanjung Pulau Tirang (kini daerah Murgas dan Bergota, Semarang). Kawasan yang subur ini, konon, pohon asem masih jarang (dalam bahasa Jawa menjadi arang) sehingga nama asem arang itu berubah menjadi Samarang kemudian Semarang. Dalam buku Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, ada satu makalah berjudul Pemukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung Ramah Anak, Radjimo Sastro Wijono menulis sejarah Semarang.

Radjimo juga menuliskan tentang orang China pertama yang ada di kawasan Pulau Tirang yaitu Sam Po Tay Djin yang sudah ada sebelum Ki Pandan Arang tiba di sana. Sam Po Khong, klenteng, menjadi tengara keberadaan Sam Po tay Djin. Sejak abad 18 Semarang mengalami tiga kali perubahan batas kota dan di abad 19 kota ini disebut sebagai Kota Batavia kedua.

Di abad 19, pusat strategis kota dihuni oleh kelompok ras Eropa. Disebutkan oleh Radjimo, ras tersebut menghuni Zeestraat (kini Jalan Kebon Laut): Poncol, Pendrikan, kawasan Kota Lama (sebelah timur Jembatan Berok). Sampai-sampai Domine Baron van Hoevell, seorang pendeta yang berkunjung ke Semarang tahun 1847 menyatakan, permukiman orang Eropa di timur Jembatan Berok itu seperti kota kecil di Eropa.

Kota Lama semula ada di dalam benteng yang konon dibangun 1705 dan dihancurkan pada 1824. Kota Lama terus berkembang hingga setelah 1945 Belanda angkat kaki. Kota Lama yang pernah jadi pusat politik dan ekonomi ini makin hari makin merana, ditinggalkan.

Sementara itu Jakarta dimulai pada 1527 yaitu ketika Fatahillah berhasil mengenyahkan Pajajaran dan Portugis dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Di tahun 1619 VOC yang dipimpin oleh JP Coen menaklukkan Jayakarta dan membakar kota itu untuk kemudian mendirikan Batavia. Kota ini terus berkembang ke arah selatan hingga awal abad 20 di mana Kalibesar menjadi etalase bangunan dan jadi pusat perekonomian. Kawasan seluas 846 hektar itu kemudian juga ditinggalkan karena pusat ekonomi dan politik makin berkembang ke arah lebih selatan lagi ke arah pusat.





















BAB II
BENDA CAGAR BUDAYA
A. PENGERTIAN BENDA CAGAR BUDAYA
Benda Cagar Budaya adalah suatu bangunan,benda dan tempat yang dilarang dibongkar dan diubah dari bentuk aslinya karena mempunyai nilai sejarah yang bermanfaat untuk menunjukkan symbol dan identitas suatu bangsa,Negara atau daerah tertentu yang menjadi saksi dalam menjalani suatu proses perubahan zaman dan perkembangan kehidupan , apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar, atau tidak layak tegak berdiri dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan utuh dengan bangunan utama.
B. FUNGSI BENDA CAGAR BUDAYA
Fungsi benda cagar budaya mempunyai beberapa criteria dan suatu bangunan perlu untuk dilestarikan, sebab di lihat dari;
a. Nilai Obyeknya sendiri
- Obyek tersebut merupakan contoh yang baik dari gaya arsitektur tertentu atau hasil karya arsitek terkenal.
- Obyek mempunyai nilai estetik, didasarkan pada kualitas exterior maupun interior dalam bentuk maupun detil
- Obyek merupakan contoh yang unik dan terpandang untuk periode atau gaya tertentu.
b. Fungsi Obyek dalam Lingkungan
- Kaitan antara. Obyek dengan bangunan lain atau ruang kota, misalnya jalan, taman, penghijauan kota,dll yang berkaitan dengan kualitas arsitektur/urban secara menyeluruh.
- Obyek merupakan bagian dari kompleks bersejarah dan jelas berharga untuk dilestarikan dalam tatanan itu.
- Obyek mempunyai landmark yang mempunyai karakteristik dan dikenal dalam kota atau mempunyai nilai emosional bagi penduduk kota.
c. Fungsi Obyek dalam lingkungan social dan budaya
- Obyek dikaitkan dengan kenangan historis
- Obyek menunjukkan fase tertentu dalam sejarah dan perkembangan kota.
- Obyek yang mempunyai fungsi penting dikaitkan dengan aspek-aspek fisik, emosional, atau keagamaan, seperti masjid atau gereja.
Bertolak dari hal tersebut di atas maka, diperlukan peran serta aktif semua pihak untuk melestarikan bangunan bersejarah, khususnya di Semarang dalam mengelola Benda Cagar Budaya. Pemugaran yang dilakukan untuk melestarikan bangunan keaslian Benda Cagar Budaya, seringkali tidak tepat sasaran, bahkan menghilangkan keaslian dari bangunan tersebut. Pemugaran adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan mernperkuat strukturnya bila diperlukan, yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis dalam upaya pelestarian benda cagar budaya. Pemugaran dapat atau meliputi kegiatan “restorasi, rekonstruksi, rehabilitasi, dan konsolidasi.”
a. Restorasi benda cagar budaya adalah suatu kegiatan pemugaran yang mengarah pada pekerjaan yang bersifat membongkar bangunan asli secara menyeluruh, tetapi tidak mengadakan penggantian bahan bangunan secara menyeluruh.
b. Rekonstruksi adalah kegiatan penyusunan kembali struktur bangunan yang rusak/runtuh yang pada umumnya bahan-bahan bangunan yang asli sudah banyak yang hilang. Dalam hal ini dapat menggunakan bahan-bahan bangunan yang baru tetapi harus sesuai dengan bahan aslinya.
c. Rehabilitasi adalah satu bentuk pemugaran yang sifat pekerjaannya hanya memperbaiki bagian-bagian bangunan yang mengalami kerusakan. Hal ini berlaku pada tingkat kerusakan yang kecil.
d. Konsolidasi adalah pemugaran yang hanya bersifat memperkuat bagian bangunan yang rusak. Kegiatannya hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu saja, dan tidak membongkar bangunan keseluruhan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan budaya masa lalu. Pelestarian budaya warisan masa lalu merupakan tanggung jawab kita bersama, untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya nenek moyang kita. Warisan budaya masa lalu merupakan sarana untuk mempelajari dan menelusuri sejarah dan budaya masa lalu yang perlu dilestarikan keberadaannya. Pelestarian benda cagar budaya merupakan inspirasi bagi kelanjutan perjuangan kita dan menjauhkan terjadinya keterasingan sejarah yang dapat mengakibatkan kemiskinan budaya. Maka perlu ditumbuh kembangkan pemahaman tentang pelestarian benda cagar budaya, sehingga selalu diperhatikan keserasian, keseimbangan, dan kesinambungan antara aspek fisik dan aspek sosial budaya. Kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan untuk mendukung upaya pelestarian benda cagar budaya. Bantuan dan dukungan masyarakat sangat diperlukan, karena pada hakekatnya pelestarian benda cagar budaya tersebut menjadi tanggung jawab kita. Untuk itulah sebagai bangsa yang besar dan berbudaya marilah kita lestarikan warisan kebudayaan masa lalu untuk kebesaran bangsa tercinta.
C. PERLINDUNGAN HUKUM WARISAN BUDAYA

"Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional". Inilah salah satu isi diktum pertimbangan UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional. Hal ini dapat dilihat dalam Laporan Kongres PBB ke-VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana di Navana, Cuba, tanggal 27 Agustus s/d 7 September 1990,yang antara lain menyangkut :
1. Pencurian/penyelundupan barang-barang kebudayaan berharga;
2. Kelengkapan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan dengan barang-barang peninggalan budaya; dan
3. Perlawanan terhadap lalu lintas internasional atas barang-barang.
Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan budaya. Menurut Arsin Nalam, tujuan pelestarian benda-benda kuno adalah agar masyarakat dapat memahami sejarah, sekaligus juga menghargai karya cipta yang melekat pada benda kuno, sedangkan kecintaan nasional terhadap benda-benda kuno akan menumbuhkan harga diri bangsa. Pemahaman sejarah tanpa bentuk nyata akan sulit menumbuhkan kebanggaan nasional
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 27 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470)
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247)
3. Pasal 15 ayat (1) UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) menyebutkan: “setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Dan bagi yang melakukan perusakan dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 26 UU yang sama.




















BAB III
KONSERVASI

A. Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan

Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan:
Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan, mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian dari konsep yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak terbatas pada objek arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan dan kawasan, dan bahkan kota bersejarah dan pada akhirnya, konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan yang mencakup preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua adalah untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga makna kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara.

1. Apa yang dimaksud dengan konservasi area? (What is a Conservation Area?)

Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan (rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang mempunyai kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area direncanakan/ditentukan berdasarkan beberapa alasan:
1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-elemen kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai keilmuan (scientific value);
2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;
3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti, pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau tekanan perkembangan;
4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;
5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan nilai-nilainya; atau
6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national monument.
Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang, arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan analisis kualitas pada area itu dilakukan.

2. Konsep Konservasi
Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya (Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya (Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian, Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup upaya mencegah perubahan sosial.
Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan:
1. Penetapan objek konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta hubungan asosiasional; dan.
2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi.
Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani (1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program. Dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik.
2. Rencana Perancangan Kota, merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk maupun proses;
3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan
4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau pada seluruh proses perancangan.
Menurut Shirvani (1985), menggunakan terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan:
a. Kegiatan konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita;
b. Arahan konservasi suatu kawasan berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan
c. Preservasi dan konservasi yang mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu dilancarkan.

Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di antaranya (Budihardjo, 1989): - Mengembalikan wajah objek konservasi; - Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; - Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan - Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. Akan tetapi dalam penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: - Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari konservasi; dan - Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi, atau bagian kota yang akan dilestarikan.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi adalah sebagai berikut:
a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan keanggunan (elegance);
b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang memudar;
c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota.
Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek konservasi;
2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan
3. Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat, karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya tersebut.
3. Revitalisasi

Jika revitalisasi kawasan Kota Lama Semarang sudah dimulai tahun 2003, maka revitalisasi Kota Tua Jakarta baru menyusul tiga tahun kemudian. Yang jadi soal barangkali luas wilayah. Jika di Jakarta mencapai lahan 846 hektar maka di Semarang sekitar 30 hektar. Jakarta sudah memoles Jalan Pintu Besar Utara dan lantai Taman Fatahillah. Kini penggantian jalan aspal menjadi batu andesit juga sedang dikerjakan di Jalan Poskota hingga ke Jalan Lada.
Kondisi tanah, tampaknya tak jauh berbeda. Muka tanah di kawasan Kota Tua Jakarta makin turun karena kondisi air tanah Jakarta yang makin susut serta kondisi lingkungan yang memang buruk. Kota Lama makin porak poranda karena menjadi langganan banjir rob.
Jika memandang Kota Lama Semarang lebih baik dari Kota Tua Jakarta, bisa jadi karena memang jumlah bangunan tua tak sebanyak di Jakarta, selain itu dari sedikit bangunan kini beberapa pengusaha bertahan dan sudah masuk ke kawasan itu.
Yang pasti, tanpa kemauan yang sungguh kuat dari pemerintah dan dukungan stakeholder, rasanya revitalisasi akan berjalan bak siput merayap.
Penutup
Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian, tanggung jawab
terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta berkelanjutan (sustainable).
Sumber Acuan
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.
Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, VII (22): 70-76.
Farma, A.S. 2002. Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, Bandung: ITB.
Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, IV (6): 34-39.
Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar