pengen tau aja

Jumat, 16 Juli 2010

FILM DOKUMENTER SEBAGAI SUBJEK KAJIAN HISTORIS DAN ANTROPOLOGIS

Mahendra Pudji Utama


FILM DOKUMENTER SEBAGAI SUBJEK KAJIAN HISTORIS DAN ANTROPOLOGIS: Sebuah Diskusi Awal


Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Film dokumenter dapat dijadikan media untuk menyampaikan atau mempublikasikan hasil investigasi terhadap suatu peristiwa layaknya ‘naskah’ atau ‘teks’ yang berisi laporan hasil kajian. Di sisi lain, film dokumenter dapat diperlakukan pula sebagai subjek kajian. Tulisan ini bermaksud membahas peranan film dokumenter sebagai salah satu sumber data dalam penelitian historis dan antropologis. Pembahasan akan difokuskan pada dua tema, yaitu: (1) metode pengumpulan informasi dan data historis/ etnografis melalui film dokumenter, dan (2) metode analisis data.

Pendahuluan

Film dokumenter dapat dipandang sebagai suatu bentuk ‘laporan’ hasil investigasi atas suatu kejadian atau peristiwa, baik berkaitan dengan bidang sejarah maupun kebudayaan. Kemajuan teknologi elektronik dan informasi memudahkan peneliti, atau siapa saja orang yang berminat, untuk mendokumentasikan berbagai hal yang dilihat, dialami, dan ingin diketahui lebih jauh dalam bentuk film. Namun demikian hasil penyeli-dikan dalam bentuk film dokumenter tampaknya belum mendapat per-hatian yang memadai dan belum didayagunakan secara maksimal seba-gai salah satu sumber atau bahan dalam proses pembelajaran. Laporan semacam itu mungkin juga belum diakui/ diterima sepenuhnya sebagai karya ilmiah, kendati proses produksinya telah didasarkan pada prinsip kerja yang diadopsi dari metode penelitian, dan bahkan didasarkan pula pada penggunaan konsep-konsep tertentu dalam suatu disiplin seperti antropologi dan sejarah. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa film dokumenter hingga saat ini sangat jarang di putar dan didiskusikan baik dalam proses pembelajaran sejarah maupun antropologi di universitas-universitas di Indonesia, khususnya di Program Studi Sejarah Indonesia Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.[1] Oleh karena itu, saya sangat menghargai inisiatif Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro untuk memutar dan mendiskusikan film dokumenter ten-tang ‘kekerasan negara terhadap masyarakat miskin kota’ dan tentang ‘dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan masyarakat Indonesia’.

Berbeda dari yang terjadi di Indonesia, atmosfer akademis di Ame-rika jauh lebih kondusif untuk menerima, mengakui, dan menggunakan film dokumenter dalam proses pembelajaran. American Anthropology-cal Association (AAA), misalnya, sejak 1966 telah mempelopori publikasi film-film antropologis atau film-film tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat di dunia. Sampai dengan dekade 1990-an, AAA telah mem-publikasikan tidak kurang dari 3000-an judul film yang dikemas sebagai Films for Anthropological Teaching, ‘Film-film untuk Pembelajaran An-tropologi’. Beberapa film di antaranya menyangkut Indonesia, khusus-nya masyarakat dan kebudayaan Bali dan Suku Dani di Papua.[2] Film-film itu dibuat dengan tujuan untuk memahami dan sekaligus ‘melaporkan’ (mempertontonkan) hasil penelitian tentang beragam realitas dalam berbagai masyarakat/ kebudayaan, sehingga film-film itu dapat disebut sebagai film etnografis, dan bahkan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk etnografi.[3] Berdasarkan asal katanya, yakni ethnos (the others, liyan, orang/ masyarakat lain) dan graphein (tulisan, deskripsi), etnografi umumnya berbentuk tulisan. Sejalan dengan kemajuan tekno-logi, etnografi pun kemudian bisa ditampilkan sebagai ‘tulisan’ dalam rupa lain, yaitu rekaman visual (foto) dan rekaman audio-visual (film). Baudrillard (2001: 121) menyebut foto sebagai sebagai ‘tulisan cahaya’. Sayangnya, ia tidak menciptakan istilah sejenis untuk film, sehingga me-nurut hemat saya film boleh disebut sebagai perpaduan antara ‘tulisan cahaya’ dan ‘tulisan suara’.

Etnografi berbentuk foto dalam bahasa Inggris biasa disebut de-ngan istilah ‘visual anthropology’, ‘visual ethnography’, atau ‘ethnopho-tography’, sedangkan etnografi dalam bentuk film disebut ‘ethnogra-phic film’ atau ‘seeing anthropology’ (Heider, 1997: 3 dan 6). Namun ada pula ahli antropologi yang tidak membedakan kedua bentuk etnografi itu, dan menyebut keduanya dengan istilah yang sama, yaitu ‘seeing anthrophology’ (lihat misalnya: Laksono, 2003).

Penggunaan film sebagai media untuk memaparkan hasil kajian ter-hadap realitas sosiokultural oleh para antropolog dapat dijadikan inspi-rasi bagi para peneliti sejarah untuk memulai langkah serupa. Jika para antropolog menggunakan istilah ‘visual anthropology’ dan ‘seeing an-thropology’ atau ‘ethnographic film’, maka para penggiat ilmu sejarah bisa mengadopsi istilah itu dan menyesuaikannya menjadi ‘visual histo-riography’ untuk menyebut historiografi dalam bentuk foto, dan ‘see-ing historiography’ atau ‘historiographic film’ untuk historiografi yang berbentuk film.

Film etnografis dan historiografis dapat diperlakukan setidaknya dalam dua cara. Pertama, seperti telah disinggung di muka, film dapat dijadikan media untuk menyampaikan atau mempublikasikan hasil inves-tigasi terhadap suatu kasus/ kejadian/ peristiwa yang dianggap mena-rik atau penting baik menurut sudut pandang pembuat film maupun karena peristiwa yang difilmkan itu berkaitan dengan masalah kemanu-siaan yang lebih luas. Film dalam hal ini berfungsi sebagai ‘naskah’ atau ‘teks’ yang berisi laporan hasil kajian. Bedanya, laporan yang berbentuk naskah pada umumnya disajikan dengan menggunakan ‘bahasa tulisan’, sementara laporan dalam bentuk film menggunakan ‘bahasa gambar dan suara’ atau ‘tulisan cahaya dan suara’.

Kedua, film dokumenter, seperti laporan hasil penelitian umumnya, dapat diperlakukan pula sebagai subjek kajian. Saya memberanikan diri untuk membicarakan topik ini, sebab menurut hemat saya, film doku-menter mempunyai peranan yang strategis dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, khususnya sebagai salah satu sumber data dalam penelitian historis dan antropologis. Film dokumenter dapat dijadikan media peng-hubung antara peneliti dan subjek penelitian yang terpisah baik oleh jarak geografis yang dengan berbagai alasan tidak dapat dijangkau, misalnya akibat keterbatasan dana dan kondisi medan yang berat; maupun terpisah oleh waktu karena fenomena yang dikaji telah berlalu. Referensi dan bekal pengetahuan saya tentang penggunaan film doku-menter sebagai subjek kajian sangat terbatas. Itulah sebabnya saya menyebut tulisan ini sebagai diskusi awal, yang akan difokuskan pada dua tema, yaitu: (1) metode pengumpulan informasi dan data historis/ etnografis melalui film dokumenter, dan (2) metode analisis data.

Kriteria pemilihan Film sebagai Subjek Kajian

Menurut Heider (1997: xiv), ada sejumlah kriteria yang harus diperha-tikan pada saat kita akan memilih dan menggunakan film etnografis sebagai subjek kajian, yaitu sebagai berikut.

1. Film itu berdurasi relatif pendek, bersifat didaktis, dan mempresen-tasikan tipe/ corak/ konfigurasi budaya di suatu kawasan.

2. Film itu dibuat dengan mempertimbangkan nilai estetis, sehingga film itu enak ditonton.

3. Film itu menyajikan realitas/ fenomena sosial budaya secara akurat dan didukung dengan informasi dan data etnografis yang cukup lengkap.

4. Film itu memberikan kontribusi yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penyelesaian masalah kemanusiaan.

Saya berpendapat bahwa kedua buah film yang diputar dan didis-kusikan dalam acara ini, yaitu film yang berjudul “Kekerasan Negara atas Rakyat Miskin di Kota Jakarta” dan “The New Rules of the World”, hingga batas tertentu telah memenuhi kriteria-kriteria di atas, mungkin kecuali kriteria ketiga khususnya untuk film pertama. Ada kesan yang sulit dihindari bahwa film pertama itu menyerupai mozaik yang disusun dari potongan-potongan yang terlepas. Kemungkinan hal itu terjadi, karena pengambilan gambar berbagai peristiwa kekerasan yang dialami kelompok-kelompok miskin di Jakarta dalam film itu berlangsung secara spontan. Lagi pula, peristiwa itu tidak dirancang seperti adegan-adegan yang berlangsung seturut panduan naskah dan arahan sutradara. Editor film dalam hal ini bekerja dengan cara menyesuaikan diri dengan po-tongan rekaman-rekaman peristiwa yang ada atau tersedia, sementara narasi dan alur penceritaannya disusun belakangan setelah potongan-potongan rekaman disatukan membentuk mozaik. Di samping itu, mes-kipun tidak mudheng tentang tetek-bengek pembuatan film, namun sebagai penonton saya menganggap bahwa film tentang kekerasan negara terhadap kaum miskin kota itu miskin pula jika dilihat dari segi teknik pengambilan gambar. Ini terlihat misalnya dari kualitas gambar yang kurang bagus dan tampak buram. Saya berpendapat bahwa film kedua jauh lebih bagus dilihat dari segi teknik pengambilan gambar, angle, dan alur penceritaan. Film ini merupakan artikulasi secara audio-visual dari sebuah naskah yang disusun secara serius. Dilihat dari sisi kepentingan akademis, film tentang dampak negatif globalisasi ini mempunyai bobot ilmiah yang lebih tinggi, karena di dalamnya memuat informasi yang berasal dari berbagai pihak yang berkompeten, relevan, dan tepat sesuai dengan masalah yang sedang dibicarakan atau dijadi-kan tema film. Hal ini dapat dilihat dari aktor-aktor (informan) yang ditampilkan dan diwawancarai yang mewakili berbagai kalangan: buruh, pengusaha, pejabat negara, petinggi organisasi penguasa kapital global (IMF dan World Bank), dan akademisi/ ahli ekonomi. Keterwakilan ber-bagai kalangan yang terkait dengan persoalan yang dijadikan tema film tidak dijumpai dalam film pertama. Aktor/ informan yang diwawancarai dalam film pertama itu terbatas mewakili kaum miskin yang menjadi korban penggusuran. Jika dibandingkan dengan film “The New Rules of the World”, film “Kekerasan Negara atas Rakyat Miskin di Kota Jakarta” sedang menghadapi ‘masalah representasi’, karena film itu menyajikan suatu peristiwa, dalam hal ini kekerasan, hanya dari sudut pandang salah satu pihak, khusus korban penggusuran. Sementara aktor yang mewakili negara (aparat keamanan atau pejabat pemerintah) yang di-posisikan sebagai pelaku kekerasan ditampilkan serupa ‘dhemit’ yang tak bersuara, muncul secara tiba-tiba, dan ‘menghilang’ tanpa permisi.



Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Peranan media audio-visual untuk memaparkan realitas tidak dapat diabaikan, sebab gambar, apalagi yang didukung suara seperti dalam film, lebih mampu “berbicara dan menyatakan banyak hal dibandingkan dengan kata-kata” (Heider, 1997: 18). Keajaiban kedua media itu terle-tak pada kemampuannya untuk mengabadikan “yang tidak bisa diucap-kan dan yang mesti dijaga dalam diam” (Baudrillard, 2001: 122).

Usaha untuk memahami realitas sosial budaya yang terekam dalam film sudah barang tentu memerlukan data yang hanya dapat diperoleh dengan menggunakan metode tertentu. Salah satu metode pengum-pulan data yang dapat digunakan adalah observasi ex post facto, yakni pengamatan terhadap suatu peristiwa/ fenomena/ gejala melalui me-dia perekam jejak-jejak dari peristiwa/ fenomena/ gejala itu (Sevilla et al., 1993: 24), baik dalam bentuk rekaman visual (foto) maupun rekaman audio-visual (film). Metode ini diterapkan untuk memperoleh data kuali-tatif tentang suatu peristiwa yang telah terjadi sementara peneliti ti-dak sempat/ tidak dapat mengamatinya secara langsung; atau peristi-wa itu hanya terjadi sekali sementara peneliti harus mengamatinya ber-ulang kali.

Untuk mendapatkan fakta yang relevan dengan topik penelitian, film yang dijadikan subjek kajian sebaiknya disaksikan/ ditonton secara berulang-ulang. Setelah menonton untuk kali pertama kita mungkin belum dapat memilih fakta-fakta yang relevan dengan masalah peneli-tian. Oleh karena itu, ada baiknya jika pada saat kita menyaksikan untuk kali pertama, perhatian lebih diarahkan pada usaha untuk mendapatkan data umum tentang film itu dan sekaligus melakukan kritik terhadap film itu sendiri. Kritik dapat dilakukan dengan mengajukan seperangkat pertanyaan sebagaimana disarankan oleh Heider (1997: 8), yaitu sebagai berikut.

1. Seberapa dalam informasi yang terdapat dalam film itu berhubung-an dengan isu-isu antropologis yang muncul dalam teks-teks etno-grafis?

2. Apakah film itu merepresentasikan sudut pandang (point of view) subjek penelitian atau masyarakat pendukung kebudayaan yang di-filmkan?

3. Bagaimana pembuat film memposisikan diri dalam peristiwa yang dikisahkan: sebagai ahli, narator, atau partisipan?

4. Berkaitan dengan isu tentang seni versus ilmu, apakah film itu lebih menonjolkan nilai estetis atau nilai etnografis?

5. Apakah keberadaan tim pembuat film itu mempengaruhi perilaku masyarakat yang dikisahkan/ difilmkan?

6. Apakah film itu membuat penonton (audience) bersimpati atau kurang bersimpati terhadap masyarakat yang difilmkan?

7. Apakah film itu cukup seimbang dalam menampilkan masyarakat yang dikaji dan mendetail dalam menyajikan konteks dan proses terjadinya peristiwa?

8. Apakah film itu memperlihatkan alur tindakan secara komplet mulai dari awal, klimaks, dan akhir, atau hanya menunjukkan potongan-potongan kejadian tertentu?

9. Film umumnya memuat kombinasi antara gambar dan teks (dalam bentuk kata-kata yang disampaikan oleh narator maupun aktor). Apakah gambar dan teks itu saling memperkuat dan melengkapi, saling bertentangan, atau malah tidak saling berhubungan?

10. Sebagai akibat dari proses pengeditan, apakah film itu mampu menampilkan diri sebagai film etnografis yang tulus dan jujur atau telah mengalami distorsi?

Seperangkat pertanyaan di atas memang berkaitan dengan film et-nografis. Namun saya berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan itu pada dasarnya berlaku dan dapat diajukan oleh peneliti sejarah yang hendak mengaji film historiografis. Istilah antropologi(s) dan etnogra-fi(s) dalam pertanyaan-pertanyaan di atas dapat diganti dengan istilah sejarah dan historiografi(s). Pertanyaan-pertanyaan serupa itu sebenar-nya mirip dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pe-neliti sejarah pada saat melakukan kritik sumber yang mengharuskan mereka mencermati unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sumber dokumenter (bdk. Gottschalk, 1984: 101-103).

Film dokumenter sudah barang tentu dibuat berdasarkan tema ter-tentu, sehingga film itu pada dasarnya dibuat untuk menjawab masalah tertentu yang ada dalam pikiran si pembuat film. Selain itu film doku-menter juga menggambarkan sudut pandang atau perspektif pembuat film terhadap suatu realitas. Dengan begitu fakta-fakta dalam film dokumenter telah diseleksi sesuai dengan pertanyaan dan sudut pan-dang si pembuat film. Kendati begitu, tidak semua fakta yang ada di dalamnya sesuai dengan keperluan peneliti sejarah/ antropologi, sebab pertanyaan dan sudut pandang si peneliti berbeda dari pertanyaan dan sudut pandang si pembuat film. Ini berarti fakta-fakta dalam film itu harus diseleksi lagi dengan berpedoman pada pertanyaan yang diaju-kan atau ingin dijawab dan perspektif yang digunakan oleh peneliti sejarah/ antropologi. Sebagian fakta dalam film dokumenter cukup diketahui dalam garis besar; yang penting adalah peneliti bisa menang-kap inti cerita atau pesan yang disampaikan. Namun ada pula fakta yang memerlukan perhatian lebih cermat dan mendetail. Pada umum-nya komputer telah dilengkapi dengan software yang dapat membantu atau memudahkan peneliti dalam memilih bagian tertentu dan meng-amatinya berulang kali untuk mendapatkan detail. Dari keseluruhan proses itu dihasilkan data penelitian.

Jika data yang diperlukan telah dianggap cukup, maka selanjutnya dilakukan analisis yang diarahkan pada usaha untuk memahami suatu peristiwa. Memahami peristiwa kurang lebih dapat digambarkan sebagai ‘melihat yang tak tampak’. Oleh karena itu, kajian tentang suatu feno-mena melalui media film hendaknya tidak sekadar berhenti pada kegi-atan melaporkan, mungkin tepatnya memindahkan, peristiwa dari ‘bahasa cahaya dan suara’ ke dalam ‘bahasa tulisan’ atau dari ‘bahasa film’ ke dalam ‘bahasa teks’. Peristiwa itu perlu ‘ditarik’ lebih jauh ke tingkat yang lebih abstrak hingga peneliti dapat ‘melihat yang tak tam-pak’, atau dengan meminjam frase Baudrillard di atas adalah mengung-kap ‘yang tidak bisa diucapkan’ dan ‘yang dijaga dalam diam’. Untuk sampai ke situ maka penggunaan konsep, teori, atau bahkan pendekat-an dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi suatu yang tidak bisa dihindari.

Nonton film etnografis atau film historiografis, atau bahkan film apa pun dengan tujuan khusus yang berhubungan dengan kajian, de-ngan demikian tidak lebih mudah dan tidak kurang seriusnya apabila dibandingkan dengan kegiatan ‘kajian biasa’ tentang suatu peristiwa yang didasarkan pada metode studi pustaka, observasi (secara lang-sung), wawancara, atau kombinasi dari berbagai metode itu. Saya sen-diri belum mempunyai bekal dan pengalaman yang cukup untuk mela-kukannya. Mengaji film dokumenter sungguh-sungguh merupakan hal baru bagi saya. Oleh sebab itu, meskipun dalam bagian berikut disajikan pembahasan tentang hasil nonton dua buah film yang dijadikan bahan diskusi,[4] kiranya akan lebih baik jika sajian itu dianggap sebagai uji coba atau eksperimen, yang belum tentu berhasil dan dapat diterima,—untuk ‘melihat yang tak tampak’ dan mengartikulasikan ‘yang tak dapat di-ucapkan’. Uji coba semacam ini mirip dengan kerja interpretif, yaitu menggunakan kisah-kisah dalam kedua film itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan penting dalam penafsiran, yang oleh Geertz (1992: 245) dikatakan sebagai “saying something of something”, ‘mengatakan sesuatu dari sesuatu [yang lain]’.

Memahami Realitas melalui Film Dokumenter:

Melihat Yang Tak Tampak dari Yang Tampak

Film 1: “Kekerasan Negara atas Rakyat Miskin di Kota Jakarta”






Film ini berkisah tentang peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh (aparat) negara terhadap kaum miskin di Jakarta yang mencakup, antara lain: tukang becak, Pedagang Kaki Lima (PKL), dan penghuni/ pemilik “rumah liar” di pemukiman kumuh. Kekerasan yang mereka alami adalah berupa penggusuran rumah tinggal dan perampasan alat/ modal usaha seperti becak dan gerobag dagangan serta kios. Protes dan perlawanan kaum miskin tidak mampu mencegah aparat pemerintah untuk tetap melakukan razia dan penggusuran itu.









“….siapa suruh datang [ke] Jakarta…siapa suruh datang [ke] Jakarta…” adalah penggalan syair sebuah lagu yang hampir menjadi ‘lagu wajib’ dalam peringatan ulang tahun kota Jakarta, yang dalam beberapa ta-hun terakhir selalu ditayangkan di televisi. Lagu ini dinyanyikan untuk mengingatkan para pendatang agar tidak terus berbondong-bondong ke Jakarta. Juga untuk mengingatkan agar mereka yang terlanjur da-tang ke sana menyiapkan mental untuk menghadapi kehidupan yang ‘keras’, penuh persaingan, dan kompleksitas Jakarta yang berbeda dari kondisi di daerah asal para pendatang. Jakarta memang telah tumbuh sebagai kota moderen yang sarat dengan beragam masalah perkotaan.

Secara historis, kota-kota moderen di Indonesia merupakan gejala baru yang lahir sejak awal abad XX sejalan dengan industrialisasi. Per-kembangan sektor industri telah melahirkan golongan-golongan baru dalam masyarakat kota yang dilekati berbagai ciri, antara lain: keter-gantungan terhadap modal dari investor, mata pencaharian yang dido-minasi kegiatan ekonomi nonagraris, dan cara hidup yang cenderung terlepas dari ikatan kerangka masyarakat tradisional dan kultur pede-saan (Kuntowijoyo, 1994: 54). Kompleksitas masalah yang membelit Jakarta dan kota besar lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, de-ngan demikian dapat dihubungkan dengan moderenisasi melalui indus-trialisasi yang terjadi sejak masa kolonial.

Moderenisasi kota juga diindikasikan oleh perkembangan aspek fisik dan nonfisik. Secara fisik, kemajuan kota dapat dilihat dari struktur keruangan yang disusun sesuai dengan sifat kota dan kebutuhan war-ganya. Tata ruang kota industrial, misalnya, akan berbeda dari tata ruang kota praindustrial. Struktur keruangan kota di Indonesia pada masa kolonial didesain sesuai dengan standar negara-negara Eropa un-tuk memenuhi berbagai fungsi, misalnya sebagai: pusat industri, perda-gangan, pemerintahan, pendidikan, dan layanan jasa. Fungsi-fungsi itu membentuk karakter kota dan mempengaruhi pola pembagian kawa-san, sehingga kemudian dikenal adanya kawasan terbangun (built-up area), wilayah peralihan kota-desa (wilayah pinggiran), dan wilayah pedesaan (Yunus, 2004: 110 dan 162). Oleh karena itu, tata ruang kota moderen di Indonesia sejak masa kolonial sudah terlihat kompleks dengan adanya perumahan, perkantoran, pabrik, perusahaan, gedung pemerintahan dan militer, ruang publik, monumen, jalan raya, jalur kereta api, dan sarana rekreasi, olah raga, sanitasi, dan kesehatan, serta yang tak kalah penting adalah tempat pemakaman. Menurut Nas (1995: 164), tata ruang kota merupakan konfigurasi simbolis yang terbentuk sebagai produk ekspresi kreatif masyarakat kota dan sekaligus meref-leksikan problem yang dihadapi penduduk kota dan harapan mereka tentang masa kini dan masa depan.

Tidak semua fungsi dan kepentingan masyarakat kota tertampung dalam ruang-ruang yang tersedia. Sebagai akibatnya, pengembangan kota tidak selalu patuh dengan grand design tata ruang kota yang telah ditetapkan. Salah satu contohnya adalah pengembangan kota yang berpola ribbon building, yang ditandai dengan pendirian bangunan untuk pemukiman, perkantoran, perdagangan, dan pertokoan di sepan-jang sisi kanan dan kiri jalan raya maupun jalur kereta api, sehingga kompleks bangunan itu menyerupai pita (Wertheim, 1958: 16-62). Pola itu mencerminkan pengembangan kota yang tumpang-tindih dan men-campuradukkan berbagai fungsi pada kawasan yang sama. Di sisi lain, moderenisasi kota juga ditandai dengan perkembangan aspek nonfisik. Sebagai contoh adalah perkembangan institusi-institusi baru seperti pendidikan moderen dan ekonomi industrial, kelas-kelas sosial yang ber-orientasi pada nilai-nilai baru, diferensiasi pekerjaan yang semakin kom-pleks, dan pemikiran baru dalam bidang politik dan ekonomi yang ber-beda dari gagasan sebelumnya yang tradisional (Kuntowijoyo, 1994: 54).

Seorang ahli perkotaan, Lewis Mumford, mengumpamakan kota sebagai panggung teater, tempat para penghuninya mementaskan beragam lakon kehidupan layaknya aktor drama memainkan berbagai peran dalam pertunjukan teater. Analogi itu menunjukkan adanya dua unsur esensial yang membentuk realitas kota. Secara fisikal, eksistensi kota ditandai adanya lokasi dengan batas-batas geografis yang jelas dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas fisik. Secara sosial, kota meru-juk pada pembagian kerja yang selain didasarkan pada pertimbangan ekonomi juga dipengaruhi oleh proses-proses sosial dan kultural. Esensi fisik akan membentuk wajah kota seperti panggung teater yang ditata menurut desain tertentu lengkap dengan berbagai propertinya. Desain panggung dan properti merupakan pendukung esensi sosial, yaitu sebagai simbolisasi aspirasi estetis dan untuk memperkuat gesture aktor dalam pementasan. Aspirasi estetis dan aktivitas aktor dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan panggung dan propertinya (Mumford, 1996: 185). Implikasinya, pengembangan kota (seharusnya) juga lebih ditekankan pada aspek sosial, sementara organisasi fisik kota, industri, pasar, sarana komunikasi, dan aturan-aturan dianggap sebagai conditio sine quanon, hal yang harus ada untuk melayani kebutuhan sosial. Ini berarti kebutuhan segenap warga kota yang mencakup ber-bagai golongan sosial harus dilayani dan dijadikan pertimbangan utama dalam pengembangan kota.

Dalam kenyataan, pengembangan kota seringkali lebih ditekankan pada aspek fisikal yang kadang-kadang terkesan lebih membela kepen-tingan kaum kaya; sekadar contoh: pembangunan infrastruktur trans-portasi, pusat industri, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, dan kompleks perumahan mewah. Akibat dari hal itu adalah kebutuhan dan kepentingan sebagian masyarakat, terutama dari kelompok marginal, misalnya: tukang becak, pedagang asongan, Pedagang Kaki Lima (PKL), buruh pabrik, pengamen, dan pemulung menjadi terabaikan. Di kota besar seperti Jakarta jumlah kelompok ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Mereka pada umumnya datang ke Jakarta dengan motivasi ekonomi dan ekspektasi yang tinggi untuk mendapatkan kehi-dupan baru yang lebih baik. Namun kemampuan dan keterampilan yang terbatas dan tidak selalu sesuai dengan kriteria atau kualifikasi dalam bidang-bidang pekerjaan yang ada, di samping keterbatasan daya tam-pung dan peluang kerja, kerap membuat ruang gerak ekonomi kaum marginal terbatas pada sektor informal. Dalam struktur sosial ekonomi masyarakat kota, mereka merupakan kelompok yang (paling) miskin. Kemiskinan mereka dapat dilihat antara lain dari kondisi pemukiman yang kumuh, lokasinya di areal yang secara formal tidak diperuntukkan dan bahkan dijadikan areal terlarang bagi pemukiman penduduk seperti bantaran sungai, areal di sisi kanan dan kiri rel kereta api, dan jenis mata pencaharian yang ‘tidak diakui’ oleh pemerintah seperti tukang becak, pengamen, dan pemulung.[5]—Kemiskinan ekonomi itu melemahkan posisi mereka secara sosial dan politik, sehingga secara umum daya ta-war mereka menjadi lemah pada saat berhadapan dengan pihak lain, khususnya penguasa kapital dan pemerintah—yang lebih sering seiring-sejalan sebagai ‘kekuatan 2 in 1’.

Sejarah Indonesia mencatat cukup banyak kisah tentang pergolak-an politik yang melibatkan kaum miskin kota, terutama buruh, pada masa pergerakan nasional hingga sekitar dekade 1960-an, yang menun-jukkan bahwa mereka merupakan kekuatan yang diperhitungkan oleh pemilik kapital dan pemerintah. Kisah-kisah semacam itu relatif jarang dijumpai dalam sejarah Indonesia pasca-G 30 S 1965. Kebijakan depar-polisasi pada masa Indonesia Orde Baru tidak memungkinkan buruh dan kelompok lain yang dikategorikan sebagai kaum miskin kota tersentuh partai politik. Mereka menjadi penting secara politis hanya pada saat Pemilu, yakni sebagai penyumbang suara bagi partai politik. Deparpoli-sasi membut solidaritas di antara kelompok miskin kota sulit mengkris-tal menjadi kekuatan politis yang dahsyat dan patut diperhitungkan.[6]

Hal lain yang membuat posisi sosial dan politik kaum miskin lemah adalah adanya sifat kehidupan masyarakat kota yang ditandai dengan urbanisme. Ada empat ciri urbanisme, dua di antaranya yang penting dan relevan dalam hal ini adalah transitoris dan anonimitas. Transitoris menunjuk pada ikatan yang cenderung longgar di antara warga masya-rakat kota dengan kota itu sendiri. Ciri ini menggambarkan kota layak-nya tempat transit, sehingga masyarakat kota menyerupai kerumunan orang yang dapat dengan mudah datang dan pergi. Akibat lebih lanjut dari transitoris adalah warga kota tampil sebagai anonim. Mereka cen-derung tidak saling mengenal secara pribadi (Wirth, 1996: 192).[7]

Kelemahan posisi tawar kaum miskin kota secara sosial dan politik dapat dilihat dari berbagai realitas yang melingkupi kehidupan mereka. Pada tataran yang abstrak tampak dari cara pemerintah mengonstruksi kelompok miskin sebagai golongan yang berada di luar struktur keru-angan kota. Dalam konstruksi yang demikian, kelompok miskin dilihat sebagai ‘pengganggu’ keamanan dan ketertiban, ‘klilip’ yang membuat mata (pejabat) pemerintah pedih dan tidak nyaman, atau ‘jerawat’ yang merusak wajah indah kota. Razia terhadap tukang becak, peda-gang asongan, gelandangan, pengamen, dan pengemis, serta penggu-suran kios-kios PKL dan rumah-rumah ‘liar’ merupakan penerjemahan konstruksi sosial yang abstrak itu ke dalam tindakan konkret. Dalam film ini razia dan penggusuran dilihat sebagai kekerasan yang dilkukan oleh negara melalui aparatusnya (pejabat pemerintah kota Jakarta dan, tentu saja, petugas keamanan).

Saya berpendapat bahwa kekerasan dalam pengertian yang luas mencakup segala bentuk tindakan, verbal dan nonverbal, dari satu pihak (seseorang atau sekelompok orang) terhadap pihak lain yang secara sengaja maupun tidak sengaja dan langsung maupun tidak langsung dapat menghalangi usaha pihak lain untuk mencapai tujuan. Dalam konteks ini, usaha dan tujuan yang dimaksud berkaitan dengan kelangsungan hidup dan/ atau perbaikan taraf hidup. Berdasarkan definisi itu maka tindakan kekerasan itu sebetulnya sudah dimulai dan dialami kelompok miskin kota sejak pemerintah mengonstruksi mereka sebagai kumpulan ‘pengganggu’ rust en orde, ‘klilip’ yang membuat mata pedih dan tidak nyaman, dan ‘jerawat’ yang merusak keindahan wajah kota. Alih-alih mengakui dan memperlakukan kaum miskin seba-gai bagian dari warga kota yang kebutuhan dan kepentingannya harus diutamakan dan dijamin untuk dilayani, pemerintah kota justru mempo-sisikan mereka sebagai ‘musuh yang harus disingkirkan’.

Anggapan dan perlakuan itu cukup jelas terlihat dari pengerahan aparat keamanan (polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja,—Satpol PP) lengkap dengan senjatanya. Secara harafiah senjata menunjuk pada berbagai peralatan mulai dari pentungan, tameng/ perisai, helm/ pelin-dung kepala, pistol dan senjata laras panjang, hingga alat-alat berat seperti buldozer dan begu untuk merobohkan rumah-rumah dan kios-kios. Secara simbolis senjata-senjata itu, ditambah dengan aparat kea-manan berseragam dan seperangkat peraturan hukum/ perundangan tentang tata ruang kota yang antara lain menyebutkan bagian tertentu kota sebagai ‘kawasan bebas becak, pedagang asongan, PKL, atau rumah liar’, mewakili kehadiran negara di hadapan sebagian rakyat yang telah diposisikan sebagai musuh. Dengan cara itu, dalam pandangan pemerintah, penggusuran dan razia terhadap kaum miskin kota tidak dianggap sebagai tindakan kekerasan, melainkan sebagai upaya ‘mene-gakkan supremasi hukum’. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang kaum miskin kota, penggusuran dan razia itu bagaimanapun juga adalah tindakan kekerasan. Pada kenyataannya, biarpun sebagian masyarakat miskin dengan berbagai alasan telah dianggap sebagai warga kota yang ‘tidak sah’, mereka toh tetap menunjukkan dirinya sebagai warga yang mematuhi aturan pemerintah kota, misalnya membayar Pajak Bumi dan Bangunan, retribusi kios, dan pungutan-pungutan lain baik yang resmi, agak resmi, maupun yang sama sekali tidak resmi (pungutan liar). Maka dari itu tidak sangat mengherankan jika kaum miskin kota, seperti ter-cermin dari pernyataan seorang ibu yang rumahnya dibongkar paksa dalam film ini, menyebut pemerintah kota sebagai VOC. Dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, VOC atau Belanda adalah penjajah, sehingga jika diteruskan: pemerintah, dalam kasus ini Pemerintah Kota Jakarta, adalah penjajah.

Mengidentifikasi pemerintah sebagai penjajah mungkin terdengar remeh dan sepele. Namun fakta ini terlalu penting untuk diabaikan terutama pada saat kita mencoba mencermati bentuk-bentuk perla-wanan kaum miskin kota terhadap pihak yang dianggap dominan. Pengidentifikasian itu melahirkan ‘konstruksi tandingan’ dari kaum mis-kin terhadap konstruksi pemerintah kota tentang kaum miskin sebagai ‘pengganggu keamanan dan ketertiban’. Konstruksi tandingan itu me-rupakan bentuk ‘perlawanan dalam diam’, perlawanan tersembunyi/ terselubung, yang oleh Scott (1990) disebut hidden transcripts. Ini merupakan genre perlawanan khas masyarakat pendukung tradisi kecil dalam dunia petani di Asia Tenggara. Ragam perlawanan yang bersifat hidden transcripts setidaknya dapat dihubungkan dengan asal kaum miskin kota yang umumnya datang dari daerah pedesaan-agraris.

Namun demikian ada pula bentuk perlawanan lain yang tidak lazim ditemukan dalam dunia agraris, yang dilakukan terutama oleh kaum perempuan. Untuk menghentikan pembongkaran paksa rumah-rumah dan kios-kios yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat berat, beberapa orang perempuan (kemungkinan besar berstatus ibu rumah tangga) melepas baju/ kaos. Dada mereka yang hanya tertutup kutang terlihat jelas. Ada yang mengenakan kutang berwarna hitam dan krem—(mungkin warna aslinya putih, tetapi menjadi krem karena lecek). Dalam konteks penggusuran, tindakan sebagian kaum perempuan yang mem-buka baju dan memperlihatkan dada yang setengah telanjang tentu tidak tidak dimaksudkan untuk pamer kemolekan tubuh, atau untuk membangun image tentang ‘makhluk Tuhan paling seksi’ seperti lagu yang dinyanyikan Mulan Jameela. Penggunaan (atau penyalahgunaan?) tubuh, khususnya dengan memperlihatkan bagian-bagian privat (alat-alat genital) di ruang publik, dalam kasus ini merupakan suatu bentuk perlawanan. Tubuh dengan demikian bukan sekadar bersangkut-paut dengan perkara biologis, sifat alamiah, dan peran seseorang yang diten-tukan menurut prinsip “udah dari sononya” (nature). Contohnya: per-empuan harus menjadi perempuan, misalnya melahirkan anak, karena mereka secara alamiah (telah ditakdirkan) mempunyai rahim dan ‘jalur’ untuk melahirkan; atau harus menyusui anak (bayi), karena susu mereka mampu memproduksi ASI. Lebih dari itu, tubuh adalah bentukan sosial (nurture) yang amat kompleks dengan jenis, kekayaan, dan kekuasaan yang nyaris tak terbatas. Contohnya: perempuan dihubungkan dengan berbagai sifat yang berkonotasi positif maupun negatif seperti seksi, lemah, lemah-lembut, gemulai, feminin, dan binal; sedangkan laki-laki dihubungkan dengan sifat macho, maskulin, kasar, dan ‘hidung belang’. Istilah-istilah yang dilekati berbagai sifat untuk membedakan antara perempuan dan laki-laki merupakan hasil konstruksi sosial atas tubuh manusia.[8] Oleh karena itu, tubuh pun dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan gagasan dan makna baik yang mewakili diri mau-pun masyarakat, termasuk sebagai media untuk menyampaikan pesan perlawanan.

Mungkin itu termasuk jenis perlawanan paling akhir atau bersifat puputan dan habis-habisan, sebab dalam banyak kebudayaan kaum per-empuan dianggap sebagai ‘benteng terakhir’ untuk mempertahankan kelangsung hidup suatu komunitas, yaitu untuk menjalankan fungsi re-produksi yang melahirkan generasi penerus. Ketika kata, acungan ta-ngan, teriakan, lemparan batu, dan air mata tidak lagi manjur dijadikan media perlawanan terhadap pembongkaran paksa rumah-rumah dan kios-kios, maka kelangsungan hidup kaum miskin kota ditumpukan se-penuhnya pada tubuh dengan memilih bagian-bagian privat kaum per-empuan untuk menyampaikan pesan perlawanan. Dalam sudut pandang ini kekerasan negara (Pemerintah Kota Jakarta) dan perlawanan terha-dapnya dapat dilihat sebagai ‘pertempuran’ khusus, yakni ‘pertempur-an antarjenis kelamin’. Negara menghadirkan dirinya sebagai laki-laki. Dalam pengertian harfiah negara hadir dalam rupa laki-laki (semua petu-gas yang terlibat dalam razia tukang becak dan penggusuran rumah dan kios adalah laki-laki). Secara simbolis, negara hadir melalui berbagai jenis peralatan yang mewakili gagasan dan citra (image) dunia laki-laki, misalnya alat-alat berat, sepatu lars, pentungan, dan senapan. Di pihak lain kelompok miskin kota tampil dan ditampilkan dalam citra feminin dan lemah, yang diwakili kaum perempuan dan ketakberdayaan kelom-pok itu secara keseluruhan ketika berhadapan dengan negara (laki-laki).



Film 2: “The New Rules of the World”






Film ini menjadikan Indonesia sebagai semacam field study untuk melihat dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan masyarakat di negara dunia ketiga. Masuknya modal global ke negara-negara berkembang telah berhasil memacu industrialisasi di negara-negara itu. Industrialisasi tidak dipahami sekadar sebagai proses pertumbuhan dan perkembangan sektor industri, akan tetapi telah dijadikan ikon (icon) kemoderenan dan kemajuan peradaban suatu bangsa. Indonesia menjadi salah satu negara yang turut “berlomba” melebarkan pintu masuk bagi modal global untuk memacu perkembangan industri, yang dengan cara itu Indonesia merasa sudah menjadi negara “moderen” dan “maju” dan mempunyai cukup kepercayaan diri sebagai negara yang diperhitungkan dalam percaturan dunia. Masuknya modal global juga menciptakan proses yang mengarah pada kesenjangan yang semakin jelas dan lebar antara kaum kaya dan kaum miskin. Ungkapan “yang kaya semakin kaya”, sedangkan “yang miskin semakin miskin” mendapat pembenaran melalui realitas kehidupan kaum miskin yang direpresentasikan oleh buruh pabrik. Kemiskinan dan posisi buruh yang lemah tampak antara lain dari kondisi tempat tinggal mereka yang umumnya berupa rumah petak dalam lingkungan kumuh, rumah yang umumnya berstatus kontrak, upah kerja yang rendah, dan kondisi kerja yang buruk terutama jam kerja yang panjang tanpa diimbangi dengan peningkatan upah kerja yang berarti.









Globalisasi tentu bukan pengalaman asing bagi bangsa Indonesia. Sejak abad XV dan XVI bangsa-bangsa di Nusantara telah menjalin hubungan perdagangan, politik, dan budaya dengan berbagai bangsa di Asia. Seorang sejarawan Perancis mendeskripsikannya sebagai proses silang-budaya di Nusa Jawa (Lombard, 2000). Proses serupa itu menjadi sema-kin penting sejak abad XX ketika arus pergerakan orang, barang, dan jasa semakin pesat, yang ditunjang pula dengan kemudahan hubungan antarnegara sebagai buah revolusi teknologi elektronik, komunikasi, dan transportasi. Globalisasi telah menciptakan tata dunia pada abad XXI yang ditandai dengan proses ekspansi pasar.[9] Dalam konteks itu muncul pola organisasi produksi, sistem nilai, dan sistem norma baru yang dikendalikan oleh logika pasar dan diberlakukan sebagai landasan dalam tata pergaulan global, seperti tercermin dalam judul film ini: “The New Rules of World”. Kemampuan menjalin komunikasi merupakan kunci keberhasilan bagi suatu bangsa untuk tetap survive dan dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan global yang terus berubah (Featherstone,1990:19).

Masalahnya adalah hubungan antarbangsa dalam lingkungan global cenderung terjadi dalam pola yang timpang. Di satu pihak muncul bangsa/ negara yang berada pada posisi superordinat, dan di pihak lain ada pula yang diposisikan pada kutub subordinat. Gejala ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari adanya pengakuan terhadap sistem klasifikasi oposisi biner yang membelah negara-negara di dunia ke dalam dua kelompok besar, yaitu ’negara maju’ atau ‘negara industri’ yang mewa-kili pihak superordinatif dan ’negara berkembang’ atau ’negara dunia ketiga’ yang mewakili pihak subordinatif (Warsito dan Kartikasari, 2005: 6-16). Pola hubungan yang timpang terjadi, karena kriteria yang diguna-kan untuk membangun sistem klasifikasi itu telah dikaitkan dengan nilai tertentu. ‘Negara maju’ atau ‘negara industri’ dilekati nilai-nilai yang diasosiasikan dengan kondisi ‘lebih baik’, ‘moderen’, atau ‘civilized’; dan karena itu dijadikan acuan arah perubahan bagi ‘negara berkembang’ yang dihubungkan dengan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan kondisi ‘lebih buruk’, ‘belum maju’, ‘terbelakang’, ‘tradisional’, atau ‘noncivil-ized’.

Ada kecenderungan bahwa masyarakat atau bangsa yang merasa dirinya sudah ‘maju’, ‘moderen’, dan ‘beradab’ mengidap sejenis penya-kit superiority complex. Mereka menganggap dirinya ‘bangsa terpilih’ untuk menunaikan tugas mulia membawa masyarakat atau bangsa lain ke arah yang lebih baik dengan mengacu pada prestasi yang telah dicapai oleh negara maju. Di masa lalu, bangsa-bangsa Eropa menyebut praktik kolonialisme mereka di Asia, Asia Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin sebagai mission sacred, misi suci, untuk memberadabkan bangsa-bangsa di kawasan itu. Dalam kenyataan, yang mereka lakukan adalah mengeruk kekayaan alam di daerah koloni dengan menggunakan tena-ga kerja bumiputera. Tujuannya tidak lain adalah untuk memakmurkan negara induk. Daerah koloni yang dianggap belum beradab dapat ditam-silkan sebagai gabus tempat negara-negara kolonial mengapung.

Negara-negara kolonial menciptakan berbagai aturan yang dapat menjamin mereka untuk tetap dapat mengapung dengan nyaman di atas gabus itu. Di Indonesia (Hindia Belanda), misalnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeering Regle-ment) 1854 sebagai dasar pembentukan struktur masyarakat kolonial dalam tiga lapisan. Lapisan teratas adalah masyarakat Belanda dan Eropa lainnya, yang secara umum menempati posisi penting dalam bidang ekonomi dan politik. Lapisan tengah adalah masyarakat Cina dan Timur Asing yang terbagi dalam dua golongan: yang pertama mencakup para tuan tanah, pedagang besar dan kecil, pedagang keliling, dan pengusaha pengangkutan; yang kedua meliputi mereka yang menjadi buruh. Sementara itu lapisan terbawah adalah penduduk bumiputera. Mereka bekerja sebagai buruh di kantor pemerintahan, perusahaan perkebunan, industri manufaktur dan transportasi, pembantu rumah tangga, tukang kayu, dan kusir serta pedagang kecil yang berjualan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari di pasar seperti beras, ikan, kayu bakar, kelapa, minyak kelapa, sayur mayur, garam, gula aren, tembakau, dan pakaian (Onghokham, 1991: 87).

Jika kita percaya pada pendapat bahwa sejarah bergerak seturut alur lingkaran spiral, menampilkan tema dan lingkup keruangan yang sama tetapi dalam kurun waktu yang berlainan,[10] maka hubungan antara negara-negara maju/ industrial dan negara-negara berkembang pada era globalisasi sekarang ini mempunyai kemiripan pola dengan hubungan antara negara-negara di wilayah koloni dan negara induknya pada zaman kolonial. Negara-negara maju merasa berkewajiban untuk melancarkan politik etis untuk membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk di negara-negara berkembang. Caranya adalah dengan meng-injeksikan sejumlah kapital global yang disebut ‘bantuan luar negeri’ untuk membiayai pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Dalam bidang tertentu, misalnya pendidikan, bantuan itu ada yang bersifat hibah tanpa ada keharusan bagi pihak penerima untuk mengembalikan atau memberikan kompensasi dalam beragam bentuk kepada pihak pemberi. Namun, seperti dikatakan sebuah pepatah Barat yang popular: ‘tidak ada makan siang yang gratis’, maka ‘bantuan luar negeri’ itu kebanyakan merupakan hutang yang harus dikembalikan. Contoh yang ditampilkan dalam film ini adalah bantuan modal finansial untuk mem-bangun pabrik-pabrik besar di Indonesia, khususnya industri garmen, yang memproduksi beragam jenis pakaian yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumen kelas atas. Memang benar bahwa pada satu sisi bantuan modal itu dapat membantu menyelesaian sejumlah persoalan di Indonesia, terutama membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang jumlahnya terus membengkak. Juga menghidupkan sektor-sektor industri lain yang berkaitan dengan hasil produksi pabrik garmen itu, misalnya industri transportasi/ pengangkutan dan industri periklanan. Tak perlu disangkal pula bahwa perkembangan industri yang ditopang oleh modal bantuan itu juga telah membangkitkan keperca-yaan diri dan sedikit kebanggaan kepada bangsa kita hingga sebagian warga dan pejabat dinegeri ini berani mengatakan: ‘Indonesia sudah menjadi negara industri’.

Namun demikian, pada sisi lain, sulit dimungkiri bahwa bantuan itu sejatinya adalah hutang yang harus dikembalikan. Celakanya, pembayar-an kembali hutang itu dilakukan dalam bentuk pemberian hak konsesi kepada penguasa modal global untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Indonesia berupa penyediaan tenaga buruh dengan upah rendah. Celakanya lagi, buruh Indonesia ternyata tidak mengetahui harga barang yang mereka hasilkan. Mereka bahkan terka-get-kaget ketika diberitahu—dalam wawancara antara pembuat film dan sekaligus narator dengan dua orang buruh perempuan perusahaan gar-men,—bahwa harga pakaian yang mereka buat mencapai 10 kali lipat dari upah yang mereka terima dalam sebulan.

Masuknya modal global yang memacu idustrialisasi dan komersiali-sasi ekonomi di Indonesia pada akhirnya menciptakan struktur masya-rakat kapitalis. Dalam masyarakat serupa itu terdapat gejala khas beru-pa pembelahan sosial secara vertikal ke dalam kelas atas dan kelas bawah, majikan dan buruh. Kelas atas mencakup kelompok penguasa kapital yang menguasai alat-alat produksi dan hasil produksi, sedangkan kelas bawah adalah kaum buruh yang harus tunduk kepada kelas atas. Relasi antara kelas atas dan kelas bawah dilandaskan pada hubungan eksploitatif atau penghisapan, dengan pemilik modal sebagai kelas penghisap dan buruh sebagai kelas terhisap (Magnis-Soeseno, 2000). Tidak banyak berbeda dari struktur masyarakat kapitalis pada masa kolonial, pada era ekspansi pasar ini penduduk bumiputera tetap men-jadi buruh. Mungkin ada benarnya juga pernyataan sinikal yang menye-but Indonesia sebagai bangsa kuli dan kuli (bagi) bangsa-bangsa (maju). Para pejabat negara menjadi ‘buruh’ bagi majikan mereka yang tak lain ada-lah para penguasa modal asing. Mereka adalah ‘buruh’ bergaji ting-gi, dan ini membedakan mereka dari penduduk yang berstatus buruh beneran di pabrik. Namun esensinya sama. Di mana pun buruh meru-pakan kelompok yang teralienasi. Mereka tidak mempunyai akses terha-dap produk yang mereka hasilkan. Barang-barang yang diproduksi di Indonesia, dengan bahan baku yang diambil dari alam Indonesia, dan dibuat oleh tenaga kerja Indonesia, justru tidak dapat dijangkau oleh kebanyakan orang Indonesia.

Posisi negara maju baik yang diwakili oleh pemerintah maupun kaum pemodal dari negara itu relatif kuat di Indonesia. Sebabnya adalah mereka telah memagari diri dengan peraturan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam film ini diceritakan bahwa sebelum menggelontorkan modal ke Indonesia, mereka telah melakukan pende-katan kepada pemerintah dengan tujuan terutama untuk mengondi-sikan pemerintah Indonesia agar menciptakan berbagai peraturan dan kebijakan yang dapat memudahkan dan mendukung usaha para pemilik kapital dalam mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Dengan begitu eksploitasi sumberdaya alam dan manusia Indonesia menjadi sah, sebab dipayungi oleh hukum dan kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia sendiri. Pada akhirnya harus dikatakan ‘bantuan luar negeri’ telah pula dijadikan ‘kendaraan’ bagi para penguasa kapital global un-tuk memasuki ranah hukum dan politik negara. Dengan cara itu mereka dapat menguasai kendali atas negara dan masyarakat Indonesia. Menu-rut hemat saya, itulah esensi dari “Aturan-aturan Baru Dunia” yang ber-laku dalam hubungan antarnegara di era ekspansi pasar yang memben-tuk relasi superordinatif-subordinatif.

Dengan demikian film “The New Rules of the World“ sama sekali tidak menunjuk pada pembentukan seperangkat aturan yang memung-kinkan terciptanya tata dunia baru berdasarkan prinsip keselarasan, kesejajaran, dan saling menghormati di antara sesama bangsa. “Aturan-aturan Baru Dunia” dalam film ini lebih menunjuk pada bagaimana negara-negara maju/ industrial menciptakan peraturan sebagai strategi yang mampu menjamin dominasi dan penghisapan mereka atas negara-negara dunia ketiga secara lebih sistemis dan sistematis.

Melalui film ini kita dapat melihat perubahan tata dunia. Sejak akhir Perang Dunia II sampai dengan akhir abad XX relasi antarnegara ber-langsung dalam suasana ‘perang dingin’. Negara-negara di dunia terbe-lah ke dalam tiga kutub, yaitu: blok Barat yang mewakili kekuatan kapitalisme, blok Timur yang mewakili kekuatan sosialisme/ komunis-me, dan blok ‘Netral’ atau ‘nonblok’ tempat Indonesia menjadi salah satu penggagas dan anggotanya. Kendali atas tata dunia pada era ‘pe-rang dingin’ berada dalam genggaman negara-negara adidaya (super-power), yakni Amerika Serikat yang memimpin blok Barat, dan karena itu dijadikan simbol kapitalisme; dan Uni Soviet yang memimpin blok Timur, dan karena itu dijadikan simbol sosialisme/ kemunisme.

Namun sejak milenium ketiga, kendali atas tata dunia tidak lagi ber-ada di tangan negara-negara adidaya, melainkan berada di bawah ketiak korporasi global. Ruang kendali atas tata hubungan global berada di kompleks perkantoran Bank Dunia dan IMF. Dalam garis ini dapat dipa-hami mengapa dalam film “The New Rules of World” globalisasi diidenti-fikasi sebagai neoliberalisme dan neokapitalisme, dan mengapa industri-alisasi yang digerakkan oleh modal global lebih dilihat sebagai proses pemiskinan masyarakat di negara-negara berkembang. Bagi para pengu-asa kapital global pemiskinan ini tentu akan dilihat secara terbalik, yakni sebagai proses pengayaan diri atau mengalirnya keuntungan besar ke dalam pundi-pundi kekayaan mereka. Para penguasa modal global di Eropa dengan sangat kurang ajar bahkan mengatakan bahwa aliran ke-untungan itu, yang telah memiskinkan penduduk di kebanyakan negara berkembang di Asia, sebagai ‘upeti terbaik dari Asia untuk Eropa’.



Penutup

Dalam tulisan ini saya selain membahas peran film dokumenter sebagai subjek kajian historis dan antropologis, khususnya dari aspek metodo-logi, juga telah mencoba bermain tafsir untuk ‘melihat yang tak tam-pak dari yang tampak’. Sungguhpun dalam perspektif interpretivisme (tafsiriah) tersedia ruang dan kebebasan yang luas untuk menafsir, tetapi kebebasan itu tidak berarti tanpa batas. Penggunaan konsep-konsep dari berbagai disiplin selain berguna sebagai daya penjelas juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penafsiran yang ‘liar’. Dalam membahas film “Kekerasan Negara atas Rakyat Miskin di Kota Jakarta”, digunakan beberapa konsep, antara lain: kota, kekerasan, masyarakat sebagai produk konstruksi sosial, hidden transcripts, dan tubuh sebagai media perlawanan. Sementara dalam pembahasan film “The New Rules of World” digunakan, antara lain, konsep globalisasi, struktur masyara-kat kapitalis, dan klasifikasi negara.

Kendatipun begitu saya sama sekali tidak hendak mengatakan bah-wa itulah cara penafsiran yang benar. Perlu disampaikan bahwa kerja interpretif terkait dengan usaha untuk memahami. Hasilnya tidak teru-tama berurusan dengan perkara benar-salah dan objektif-subjektif, tetapi lebih berhubungan dengan kemauan untuk menangkap suatu fenomena atau tidak menangkapnya, dan menerima hasil penafsiran atau tidak menerimanya.

Kalau begitu, lalu apa yang bisa disumbangkan dari kegiatan tafsir-menafsir terhadap perkembangan ilmu pengetahuan? Jawabnya ber-gantung pada kesediaan kita untuk mengubah pola berpikir dan cara pandang kita tentang fakta/ data, objektivitas dan subjektivitas, dan kriteria kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam interpretivisme, realitas dipahami sebagai diskursus sosial (social discourse), dan fakta/ data pa-da dasarnya dibentuk oleh peneliti sendiri sebagai hasil keterlibatannya dalam diskursus itu. Dengan demikian fakta itu bersifat intersubjektif. Oleh karena itu, dalam pandangan para pendukung interpretivisme, kemajuan ilmu pengetahuan tidak terutama terletak pada kelengkapan konsensus, melainkan pada kehalusan perdebatan (Geertz, 1992). Perde-batan, tentu saja, mensyarakatkan adanya kebebasan berpendapat yang berarti pula kebebasan membuat penafsiran. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah bahwa penafsiran tetap harus berpijak pada dan bergerak di antara fakta/ data.






Daftar Pustaka





Abdullah, I.

2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pus-taka Pelajar.

Baudrilard, J.

2001 Galaksi Simulacra (diindonesiakan oleh Galuh E. Akoso dan Ninik Rochani Sjams, dan diedit oleh M. Imam Aziz). Yog-yakarta: LKiS.

Featherstone, M.

1990 Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity. London: Sage Publications.

Geertz, C.

1992. Tafsir Kebudayaan (diindonesiakan oleh Francisco Budi Hardiman). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Gottschalk, L.

1986 Mengerti Sejarah (diindonesiakan oleh Nugroho Notosu-santo). Jakarta: UI Press.

Heider, K.G.

1997 Seeing Anthropology: Cultural Anthropology through Film. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, and Singa-pore: Allyn and Bacon.

Kuntowijoyo

1994 Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana dan Jurus-an Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

2008 Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana

Lombard, D.

2000 Nusa Jawa Silang Budaya Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Magnis-Soeseno, F.

2000 Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mumford, L.

1996 “What is a City?”, dalam Richard T. Legates dan Frederic Stout. Editor. The City Reader. London and New York: Roudledge.

Nas, P.J.M., ed.

1995 Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia Leiden: Research School CNWS.



Onghokham

1991 “Kapitalisme Cina di Hindia Belanda”, dalam Yoshihara Kunio (ed.). Konglomerat Oei Ting Ham: Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara. Jakarta: Grafiti.

Scott, J.C.

1990 Domination and the Arts of Resistance: Hidden Trascripts. New Haven and London: Yale University Press.

Sevilla, C.G. et al.

1993 Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Universi-tas Indonesia.

Synnott, A.

2003 Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (diindone-siakan oleh Yudi Santoso). Yogyakarta: Jalasutra.

Warsito, T. dan Wahyuni K.

2007 Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi negara Berkembang, Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Wertheim, W.F.

1958 The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology. The Hague and Bandung: W. van Hoeve.

Wirth, L.

1996 “Urbanism as a Way of Life”, dalam Richard T. Legates dan Frederic Stout. Editor. The City Reader. London and New York: Roudledge.

Yuliati, D.

2005 “Dinamika Pergerakan Buruh di Semarang, 1908-1926”. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Yunus, H.S.

2004 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.









[1]Dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul usaha mendayagunakan media rekam, baik visual (gambar diam, foto) maupun audio-visual (gambar hidup, film) dalam proses pem-belajaran dan penelitian di universitas-universitas di Indonesia. Sebagai contoh, sejauh yang saya ketahui, Program Studi Antrpologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada telah mengembangkan mata kuliah Etnofotografi yang membekali peserta kelas itu dengan kemampuan fotografi untuk membuat visual ethnography atau ethnophotograpy. Pada sekitar 2004 sekelompok mahasiswa Program Studi Sejarah dari universitas yang sama juga ‘bereksperimen’ membuat semacam ‘historiographyc film’, film historiografis, tentang kisah hidup dan testimoni para bekas anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang pernah ditahan di Plantungan.

[2]Beberapa judul film tentang kebudayaan Suku Dani di Papua adalah “Dani Recess”, mengisahkan tentang ‘aturan main’ dalam kehidupan masyarakat Dani; “Dani Sweet Pota-toes”, mengisahkan cara orang Dani mengelola pertanian kentang; dan “Dead Birds”, mengi-sahkan aturan perang dalam Suku Dani. Sementara film tentang kebudayaan Bali antara lain berjudul “The Goddes and the Computer”, mengisahkan hubungan antara agama Hindu (orang Bali menyebutnya Agama Tirta) dan pengaturan sistem irigasi di Bali setelah Perang Dunia II; dan “Releasing the Spirit: A Village Cremation in Bali”, yang mengisahkan upacara pembakaran jenazah (kremasi, ngaben) untuk melepaskan jiwa/ roh orang yang telah me-ninggal dunia. Deskripsi singkat tentang film-film tersebut dan analisis terhadapnya dengan menggunakan konsep-konsep antropologis dapat dilihat dalam Heider (1997).

[3]Etnografi dapat dipahami dalam dua cara. Pertama, sebagai laporan hasil kajian ten-tang suatu kebudayaan. Laporan itu dituangkan dalam bentuk tulisan yang berisi deskripsi atau gambaran tentang kebudayaan yang dikaji. Kedua, sebagai metode dalam kajian kebu-dayaan yang sekaligus merupakan metode khas dalam antropologi. Metode ini dipraktikkan melalui observasi peran-serta yang umumnya berlangsung dalam jangka waktu relatif lama terutama jika si peneliti adalah ‘pendatang’, ‘orang asing’, atau orang yang berasal dari luar kebudayaan yang sedang dikajinya.

[4]Saya mengucapkan terima kasih kepada Saudara Krisno Winarno, mahasiswa Jurusan Sejarah Undip angkatan 2006, yang telah memberikan cakram berisi copy kedua film itu.

[5]Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya kolom khusus untuk jenis mata pencaharian tersebut dalam statistik kependudukan.

[6]Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar kaum miskin dapat menjelma menjadi kekuatan politis yang besar. Solidaritas di antara sesama mereka hanyalah salah satu faktor, di samping kesadaran kelas, ketersediaan sarana komunikasi yang efektif, adanya pihak yang secara terus-menerus melancarkan gerakan penyadaran, adanya isu yang dapat dijadikan dasar untuk memformulasikan ‘masalah bersama’, ‘tujuan bersama’, dan ‘musuh bersama’ serta memobilisasi massa, dan sejumlah kondisi yang diperlukan agar soli-daritas dan kesadaran kelas dapat diterjemahkan ke dalam gerakan. Pembahasan yang kom-prehensif tentang unsur-unsur itu, khususnya dalam gerakan buruh pada awal abad XX di Semarang, dapat dilihat antara lain dalam Yuliati (2005).

[7]Dua ciri lainnya adalah mobilitas yang tinggi dan urbanisasi. Mobilitas yang tinggi membuat masyarakat kota tidak terikat pada tradisi yang telah ada dan cenderung mencip-takan tradisi baru, bersifat toleran dan akomodatif terhadap tradisi yang berbeda, dan rela-tif mudah beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan sosial. Sementara urbanisasi menunjuk pada proses meluasnya ciri-ciri kehidupan masyarakat kota dalam masyarakat di daerah pinggiran. Urbanisasi berjalan melalui jaringan administrasi pemerintahan, perda-gangan, pendidikan, media komunikasi massa, dan hubungan kekerabatan serta hubungan sosial secara umum (Wirth, 1996: 190-197).

[8]Kajian tentang tubuh sebagai fenomena sosial atau produk ciptaan/ konstruksi sosial yang berbeda dalam setiap kebudayaan dan dari waktu ke waktu telah melahirkan spesial-isasi khusus dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu Sosiologi Tubuh dan Antropologi Tubuh. Embrio studi tentang tubuh sebagai fenomena sosial sebetulnya telah terkandung dalam pemikiran-pemikiran para filsuf. Pembahasan secara mendetail tentang kelahiran dan perkembangan spesialisasi kajian yang penting dan menarik ini, tetapi terkesan nyleneh, dapat dibaca dalam Synnott (2003).

[9]Ekspansi pasar merupakan fase perubahan lebih lanjut dari dua fase sebelumnya. Fase pertama adalah merasuknya pasar ke dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Fase ini ditan-dai dengan terjadinya pergeseran orientasi kegiatan produksi dari pemenuhan kebutuhan subsistensi ke pemenuhan permintaan pasar, yang diikuti dengan perluasan jaringan sosial dan batas-batas solidarias ke luar desa. Fase kedua adalah integrasi pasar, yang ditandai dengan penyebaran yang semakin luas produk-produk dari suatu daerah ke daerah lain dalam lingkup suatu negara. Bersamaan dengan itu, produk-produk pabrik semakin mudah dijumpai di pelosok pedesaan. Berbagai kegiatan produktif diselenggarakan dengan mem-pertimbangkan permintaan pasar dan harga jual. Pada fase kedua ini terjadi transformasi sosial yang didasarkan pada prinsip totalitas atau segala sesuatu yang ’berbau’ nasional. Lihat: Abdullah (2006: 17-18).

[10]Gerak sejarah yang ‘berulang’ dalam pola semacam itu disebut paralelisme vertikal. Penjelasan selengkapnya tentang hal itu dapat dibaca dalam Kuntowijoyo (2008), khususnya dalam Bab 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar