pengen tau aja

Rabu, 11 Agustus 2010

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M
Suryadi
15 July 2010

Pendahuluan
Dalam studi pernaskahan Nusantara, genre surat sudah menjadi objek kajian tersendiri yang telah menarik para peneliti untuk membahas kandungan isi, iluminasi, bahasa dan aksara, mohor/cap, serta aspek historisnya. Umumnya surat-surat Melayu dari abad ke-17 yang sekarang masih tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia dianggap cukup tua, meskipun tercatat ada dua pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Ternate yang masih kecil, Bayan Sirullah, kepada Raja Portugal, John III, masing-masing bertarikh 1521 dan 1522 yang menurut C.O. Blagden [1] dan Annbel Teh Gallop [2] (1994:120, 123) adalah naskah Melayu yang tertua di dunia. [3] Kedua pucuk surat itu sekarang tersimpan di Arquivos Nacionais Torre do Tombo, Cidade Universitaria, Lisabon, Portugal.

Dalam artikel ini saya membahas sepucuk surat berusia hampir 350 tahun dari Kerajaan Buton yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden/Universiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), Belanda, dengan kode K.Ak.98 (4). [4] Surat tersebut, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu [Jawi]), sudah pernah dibicarakan oleh W.G. Shellabear kurang dari 170 tahun yang lalu bersama sejumlah naskah Melayu lainnya dari abad ke-16 dan 17 yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Inggris dan Belanda, [5] namun mungkin tak banyak diketahui di Indonesia.

Sejauh yang saya ketahui, K.Ak.98 (4) adalah surat dari Kerajaan Buton yang tertua yang masih terselamatkan sampai sekarang. Dari kodenya dapat diketahui bahwa surat itu tidak termasuk koleksi naskah-naskah Nusantara yang dihadiahkan oleh para pemilik naskah semula—seperti Van der Tuuk, C. Snouck Hurgronje, dll.—yang biasanya dalam koleksi khusus (bijzonder collecties) UB Leiden dicatat dengan kode Or (singkatan dari Orientalis). Rupanya K.Ak.98 termasuk dalam koleksi naskah-naskah milik beberapa orang kolektor yang sudah meninggal atau suatu lembaga yang statusnya dipinjamkan atau dititipkan di UB Leiden (loan-collections). Dua di antara loan collections itu adalah naskah-naskah milik De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (disingkat KNAW) yang diberi kode K.Ak.) yang ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1856 dan koleksi milik Het Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) [6] . Jelas bahwa K.Ak.98 (4) berasal dari koleksi KNAW (yang dikenali dari kata `Acad` pada naskah-naskahnya).

Menurut informasi sebuah katalog, K.Ak.98 (4) adalah:

Epistola Malaïca (2 [7] ) praetoris navalis Boetonensis, Laut, mense Oct. a. 1669 ad eumdem missa.
Excusat se, quod, bello finito, Bataviae non comparuit, quippe morte Radjae Boetoni impeditus. [8]

Terjemahannya:

Surat dalam bahasa Melayu oleh Komandan Laut [Kapitalao] Buton, Laut, bulan Oktober 1669, dikirimkan kepada orang yang sama [Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Ia [Kapitalao] sendiri mohon maaf atas ketidakhadirannya di Batavia setelah perang [antara VOC dan Gowa] berakhir karena ia dicegah untuk pergi [ke Batavia] disebabkan oleh wafatnya Raja Buton.

Rupanya ada sepucuk surat lagi dari Buton dalam bundel K.Ak.98, yaitu nomor 5, tapi hanya terjemahan Belandanya saja yang tersedia, sedangkan surat aslinya tidak ditemukan lagi. Menurut P. de Jong, K.Ak.98 (5) adalah:

Versio Belgica epistole Malaïcae a Sultano Boetoni, ao 1670 scriptae ad eumdem. Sultanus queritur de tumultu, in urbe Boeton exorto, et a Gubernatore auxilium petit. [9]

Terjemahannya:

Terjemahan bahasa Belanda atas surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Buton, ditulis pada tahun 1670 kepada orang yang sama [maksudnya: Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Sultan mengeluh tentang kerusuhan yang pecah di kota Buton [Bau-Bau] and memohon bantuan kepada Gubernur [Jenderal untuk mengatasinya].

Artikel ini tidak membahas K.Ak.98 (5) karena saya masih memerlukan waktu dan bantuan banyak pihak untuk membaca terjemahan surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Belanda abad-17 yang orang Belanda masa kini saja banyak yang tidak mampu membacanya. Dengan demikian fokus pembicaraan saya dalam artikel ini hanyalah surat yang pertama saja: K.Ak.98 (4).

Walaupun W.G. Shellabear (1898) telah menyajikan versi ketik ulang K.Ak.98 (4) dalam aksara Jawi, transliterasi Latinnya (dengan memakai sistem pelafalan menurut dielek Melayu Semenanjung Malaysia) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, saya kira tetap ada manfaatnya menyajikan kembali transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini. Saya menyajikan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam bahasa Indonesia, mengikut kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan melengkapinya dengan foto digital naskah aslinya serta pembicaraan yang lebih rinci mengenai konteks sosio-historis surat itu yang tidak dibahas secara mendalam oleh Shellabear. Lagipula, publikasi Shellabear yang sudah klasik itu, dan ditulis dalam bahasa Inggris, mungkin cukup sulit ditemukan di Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan pula bagi saya untuk memperkenalkan kembali naskah asli dan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini, dengan tujuan utama pembaca di Indonesia.

Berikut adalah transliterasi (alih aksara) K.Ak.98 (4).

Transliterasi K.Ak.98 (4)

/1/ [10] Bahwa surat ini pada menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Sahabat Kaicil Jitangkalawu [11] , Kapiten /2/ Laut Buton, menyampaikan tabe banyak2 datang kepada Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jenral Yohan /3/ Metsyaker [12] yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawih, akan memerintahkan segala pekerjaan Kompanyi /4/ serta dengan segala sahabatnya raja2 dari bawah angin. Maka dianugrahkan Allah Subhanahu wataala bertambah2 /5/ kebajikan dalam dunia dan yang diterangkan hatinya, maka kharijlah segala akal budi bicaranya /6/ yang baik dan menolong daripada orang yang kena kesukaran dan yang mengetahui daripada hati orang, /7/ maka termasyhurlah dari atas angin dan di bawah angin yang memujikan harapnya lagi budiman /8/ serta dengan bijaksanaannya dan ialah meneguhkan setianya perjanjian pada segala raja2, tiada akan /9/ berubah2 lagi demikian itu, maka dipanjangkan Allah umur dan selamat dan berkat supaya kita /10/ bersahabat, Ternate serta Buton dan Kompanyi, agar jangan bercerai-cerai selama-lamanya.

Adapun kemudian /11/ dari itu bahwa sahabat Kapiten Laut memeri maklum kepada Gurnadur Jenral tatkala disuruh oleh /12/ sahabat Raja Buton, kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada Amiral /13/ Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita, hanya maklumlah Kapiten /14/ Laut apabila kuasa Kompanyi serta dengan kuasa Allah akan menyudahi daripada pekerjaan kita hendaklah /15/ Kapiten Laut menunjukkan muka pada Heer Gurnadur Jenral juga supaya puaskan hati. Tetapi /16/ pada sekarang ini Admiral pulang ke Jakatra, hanya Tuan kami Raja Ternate lagi duduk dari Mengkasar, maka /17/ sahabat Kapiten Laut pun duduk sama2 dengan Tuan kami Raja Ternate.

Seperkara pula, ada raja /18/ Buton pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke Negeri /19/ akhirat, sebab itulah maka sahabat Kapiten Laut tiada jadi pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada /20/ Heer Gurnadur Jenral di Betawi, karena adat kami demikian itu apabila raja yang mati /21/ upama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri itu. Oleh pada pikir /22/ Sahabat Kapiten Laut baiklah kami sama2 dengan r [14] Tuan Raja Ternate duduk lagi di Mengkasar. /23/ Ampun2 seribu ampun kepada Sahabat Heer Gurnadur Jenral juga, tiada ada cendera mata /24/ pada sesuatu kepada Heer Jenral melainkan budak laki dua orang akan tanda tulus dan ikhlas /25/ juga, upamanya seperti dua biji sawi, jangan diaibkan. Karena Sahabat Kapiten Laut /26/ orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan surat ini, maka jikalau ada salah pun melainkan /27/ maaf juga kepada Heer Gurnadur Jenral. Tamat.

Tertulis dalam Benteng Parinringa yang bedekatan dengan kota Rotterdam dualapan [15] sembilan [16] likur hari dari bulan Jumadilawal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wasalam seribu dualapan puluh genap. [17]

Bahasa K.Ak.98 (4): Catatan ringkas

Ketuaan K.Ak.98 (4) dapat dikesan dari beberapa kata yang memang jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu pada masa yang lebih kemudian. Kata `Kompanyi` (maksudnya VOC, Verenigde Oost-Indische Compagnie) jelas menunjukkan ketuaan surat ini. Ini adalah bentuk yang lebih arkais dari kata `Kompeni` yang lebih banyak dipakai dalam surat-surat Melayu yang berasal dari abad yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19).

Setidaknya ada beberapa kata lagi yang menunjukkan ketuaan surat ini. Kata `jenral` pada `Gurnadur Jenral` juga sering dipakai dalam surat-surat Melayu dari abad ke-17, tetapi cenderung berubah menjadi `jendral` (atau `jenderal`) dalam surat-surat Melayu dari abad-abad sesudahnya (abad ke-18 dan 19); demikian juga kata `amiral` (pangkat kemiliteran; dalam konteks surat ini disebut nama `Amiral Speelman`) yang dari abad-abad sesudahnya sering ditulis `admiral`. Kata `Jakatra`—nama lain untuk Betawi (Batavia) yang sekarang bernama Jakarta—amat jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu abad ke-18 dan 19; kata itu justru muncul dalam beberapa surat Melayu dari periode yang lebih awal, seperti dalam K.Ak.98 (4) ini.

Kata `memeri` (untuk bentuk dasar `beri`) cukup terkesan arkais juga, walaupun sebenarnya dalam periode yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19) bentuk ini masih dipakai dalam naskah-naskah Melayu, termasuk surat-surat, dari wilayah tertentu di Nusantara. Tentu saja cukup mengherankan pula bahwa kota yang sekarang disebut `Makassar` dalam surat-surat raja-raja lokal dari Indonesia timur pada abad ke-16 sampai awal abad ke-20 selalu ditulis `Mengkasar`. Saya belum tahu kapan terjadi perubahan pelafalan ini dan apa penyebabnya. Namun, menurut dugaan saya, pelafalan `Makassar` seperti dikenal sekarang mungkin didasarkan atas dokumen-dokumen Belanda dari zaman kolonial, bukan berdasarkan penulisan yang ditemukan dalam dokumen-dokumen pribumi seperti surat-surat Melayu dari raja-raja lokal tersebut.
art-mei-25-suryadi
K.Ak.98 (4)
Sumber: Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden

Konteks Kesejarahan K.Ak.98 (4)

Setelah membaca alih aksara K.Ak.98 (4) yang tersaji di atas, dapat diketahui bahwa penulis surat ini menyebut dirinya “Paduka Sahabat Kaicil Jitanggalawu, Kapiten Laut Buton”. Surat ini ditujukan kepada “Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jen[d]ral Yohan Metsyaker yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawi(h)”. Jelas maksudnya adalah Gubernur Jenderal VOC ke-12, Joan Maetsuycker (1653-1678; lihat catatan 12).

Jelas bahwa K.Ak.98 (4) ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman. [18] Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton.

Isi K.Ak.98 (4) antara lain menyebutkan: “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”.

Jadi, Kapiten Laut (Kapitalao) Buton itu mewakili Sultan Buton, rajanya, yang tampaknya tidak bisa datang ke Makassar untuk bertemu dengan Cornelis Speelman, Admiral VOC yang telah berhasil menaklukkan Gowa dan menjadikan kekuatan politik VOC bercokol lebih kuat di Indonesia timur.
Sejarah mencatat bahwa setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Buton menjadi bebas dari tekanan Gowa dan jadi dekat dengan Ternate yang menjadi saingan Gowa. Tetapi sebagai imbalannya “hendaklah Kapiten Laut [Jitanggalawu] menunjukkan muka [ke]pada Heer Gurnadur Jen[d]ral juga supaya puaskan hati” Gubernur VOC itu. Walaupun pengancam regional, Gowa, sudah dikalahkan oleh VOC, hubungan antara Ternate dan Buton tidak selalu baik.

Selanjutnya K.Ak.98 (4) menceritakan bahwa Admiral Speelman kembali ke Jakatra (nama yang lebih awal untuk kota Batavia, biasa ditulis `Jacatra` dalam dokumen-dokumen Belanda dari abad ke-16 dan 17), sementara “Sahabat Kapiten Laut [Jitanggalawu] pun duduk sama2 dengan Tuan […] Raja Ternate” di Makassar. Tidak disebutkan nama Raja Ternate itu, tapi kemungkinan besar adalah Sultan Mandarsyah (1645-1675) [19] .

Penyebab batalnya Kapitalao Jitanggalawu pergi ke Batavia jadi jelas menjelang akhir surat ini: karena “Raja Buton [...] pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke negeri akhirat”, sebab itulah ia urung “pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada Heer Gurnadur Jen[d]ral di Betawi”, karena dalam adat Buton “apabila raja yang mati u[m]pama seperti datang
hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri.”

Jadi, tampaknya Kapitalao Jitanggalawu tidak berani pergi jauh ke Batavia/Jakatra karena Rajanya baru saja mangkat. Kutipan di atas juga menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat Buton masa lampau jika raja mereka meninggal: seluruh lapisan masyarakat berkabung dan hari mereka berada dalam kesedihan yang mendalam. Abdullah bin Muhammad al-Misri dalam karyanya, Hikayat Raja-Raja Siam (1823 atau 1824) menggambarkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada masa lampau apabila seorang raja mangkat:

Sebermula adapun raja-raja di tanah Bugis dan Ternate dan tanah sebelah timur, apabila ada raja-raja itu mati, maka berkeliling segala perempuan yang baik rupanya dan suaranya memegang kipas, maka bersyair menembang itu berpuluh-puluh hari, maka baru ditanam, dan tetapi tiada dibakar seperti [di] Siam dan Bali, maka inilah dikata ada lagi agama Hindu kepada segala negeri bawah angin ini dan banyak lagi orang yang menyembah yang lain daripada Allah taala. [20]

Catatan Abdullah bin Muhammad al-Misri di atas merefleksikan pengamalan unsur kepercayaan pra-Islam di kalangan penduduk kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, termasuk Buton. Dalam kebudayaan masyarakat Buton masa lampau, bahkan sampai pada periode yang belum lama berselang, sinkretisme antara kepercayaan yang lebih kuno dengan Islam yang datang kemudian begitu kuat. [21]

Siapakah gerangan Raja Buton yang mangkat yang disebutkan dalam K.Ak.98 (4)? Sebelum membahas itu, baiklah saya kutip alih aksara kolofon surat tersebut: “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.

Jadi, K.Ak.98 (4) ditulis di Benteng Parinringa, dekat Benteng Rotterdam di Makassar, pada 8 (atau 9) Jumadilawal 1080 H”. Jika dikonversikan ke tahun Masehi: 8 Jumadilawal 1080 H = 4 Oktober 1669; 9 Jumadilawal 1080 H = 5 Oktober 1669. Kata “sembilan” disisipkan belakangan, tampaknya ada kesalahan penulisan tanggal, lalu dibetulkan. Jadi, sangat mungkin tanggal penulisan surat ini adalah 5 Oktober 1669 (lihat catatan 17).

Dengan demikian, sangat mungkin Raja Buton yang diberitakan mangkat oleh Kapitalao Jitanggalawu dalam suratnya itu adalah La Simbata atau Sultan Adilil Rakhiya (1664-1669), Sultan Buton ke-10. Nama lain beliau adalah Mosabuna I Lea-Lea. Beliau turun tahta karena melepaskannya, bukan meninggal atau dikudeta. Sultan Adilil Rakhiya digantikan oleh Sultan Kaimuddin atau La Tangkaraja (1669-1680). [22]
Sultan Adilil Rakhiya mangkat di tahun-tahun awal kekuasaan Sultan Kaimuddin, penggantinya, tidak lama setelah kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton. [23] Jika kita merujuk lagi kepada kolofon K.Ak.98 (4), maka dapat diperkirakan bahwa Sultan Adilil Rakhiya (La Limbata) mangkat sebelum bulan Oktober 1669.

Sampai batas tertentu, kolofon K.Ak.98 (4) juga memberi petunjuk tentang wewenang dan kekuasaan seorang kapitalao Buton. Rupanya dalam keadaan darurat, kapitalao boleh menulis surat dari tempat yang jauh dari Istana Buton. Kapitalao, bersama dengan jurubahasa (jurubasa) sering mewakili sultan apabila hendak berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti Belanda dan Inggris. [24]

Surat Kapitalao Jatinggalawu (K.Ak.98 (4)) diakhiri dengan penutup yang menyebut hadiah dua orang budak laki-laki yang dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ungkapan “upamanya seperti dua biji sawi” (baris 25) yang dipakai dalam surat itu, yang mengandung nada merendah, adalah salah satu ciri khas surat-surat Melayu lama. Namun, ungkapan merendah ini berbeda-beda redaksinya antara satu surat dan surat lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara. [25]

Demikianlah sedikit ulasan mengenai teks dan konteks K.Ak.98 (4). Diharapkan apa yang telah diuraikan dalam artikel ini dapat menambah informasi mengenai masa lampau negeri Buton. Menurut saya, alangkah bagusnya kalau surat Buton yang cukup tua ini direproduksi dan hasil repronya dapat disimpan di salah satu museum di Bau-Bau atau di Museum Propinsi Sulawesi Tenggara.




Penulis adalah dosen dan peneliti pada:

Faculteit Geesteswetenschappen,

Universiteit Leiden, Belanda

(e-mail: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl)


Kepustakaan:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Bladgden, C.O. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London: University of London 6 (1930-1932), hlm. 87-100.
Chambert-Loir, Henri, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient.
De Jong, P., Catalogus Codicum Orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium, Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862.
Gallop, Annabel The, The Legacy of Malay Letter; Warisan Warkah Melayu, London: The British Library, 1994.
Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient.
Muridan Widjojo, “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistence in Maluku During the Revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, PhD Dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262.
Proudfoot, Ian, Old Muslim calendar of Southeast Asia, Leiden-Boston: Brill, 2006.
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jakarta: Djambatan, 2003.
Shellabear, W.G., “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31, 1898, hlm. 107-151.
Skinner, C. (ed.), Syair Perang Mengkasar; Sebuah Reportase Sastrawi Bergaya Melayu dari Jurutulis Sultan Hasanuddin tentang Kejatuhan Salah Satu Kerajaan Besar di Abad XVII, a.b: Abdul Rahman Abu, Makassar: Ininawa-KITLV, Jakarta, 2008.
Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Makalah dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI, Bima-Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007.
_______, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, hlm. 284-285.
_______, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25, 2007, hlm. 189.
Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006.
van Putten, L.P., Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796, Rotterdam: ILCO-Productions, 2002.

__________
Sumber Foto:
[1] Lihat C.O. Bladgden, “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, Bulletin of the School of Oriental Studies, University of London 6 (1930-1932): 87-100.
[2] Annabel Teh Gallop, The legacy of Malay letter; warisan warkah Melayu [with an essay by E. Ulrich Kratz) (London: The British Library, 1994), hlm. 122, 196.
[3] Walau bagaimanapun pendapat ini tentu tidak berlaku lagi setelah Uli Kozok menemukan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14 atau awal abad ke-15. Lihat Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: naskah Melayu yang tertua (Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006).
[4] Ketika saya mengadakan penelitian mengenai surat-surat Sultan Buton Mahyuddin Abdul Gafur (1791-1799), Dayyan Asraruddin (1799-1822), dan Kaimuddin 1 (1824?-1851) yang tersimpan di UB Leiden, keberadaan K.Ak.98 (4) sudah saya informasikan selintas. Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25 (2007): 189; Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3 (Oktober 2007): 284-85.
[5] W.G. Shellabear, “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31 (1898): 107-151.
[6] Ada dua kelompok koleksi NBG yang ditempatkan di UB Leiden: koleksi NBG yang berisi naskah Jawa dan Sunda ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1905; koleksi yang disebut NBG-Klinkert (umumnya berisi naskah-naskah Melayu) ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1915.
[7] Nomor ini dalam Katalog Jong ( 1862; lihat catatan 8 ) merujuk kepada naskah-naskah (termasuk surat-surat) yang berbahasa Melayu dan beraksara Jawi.
[8] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium. (Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862, hlm. 291-2). Naskah-naskah koleksi KNAW yang dititipkan di UB Leiden umumnya berbahasa Arab, dan hanya sedikit di antaranya berbahasa Melayu, seperti beberapa surat yang terdapat dalam bundel K.Ak.98.
[9] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium, hlm. 292. Selain dua surat dari Buton yang telah saya sebutkan di atas, dalam bundel K.Ak.98 ini terdapat sejumlah surat lainnya dari Nusantara, antara lain dari Bima, Indrapura (pantai barat Sumatra),Ternate, Mataram, dan Jambi (beberapa di antaranya hanya terjemahan bahasa Belandanya saja yang tersedia). Lihat P. de Jong (ibid.), hlm.291-93. Dua di antaranya, yaitu K.Ak.98 (11 & 12), pernah dialihkasarakan oleh Annabel Teh Gallop, tapi tampaknya belum pernah dipubliksikan. (Terima kasih kepada Annabel yang telah memberitahu saya meengenai hal ini melalui beberapa email dan mengirimi saya hasil transliterasi kedua surat tersebut).
[10] Angka yang diapit oleh tanda / / merujuk kepada urutan baris pada surat aslinya (lihat gambar).
[11] Shellabear (1898:132; lihat catatan 5) mentransliterasikannya `Jinggalawu`, dan `Jipalawu` menurut filolog Buton, Hasaruddin, (komunikasi pribadi, 27 April 2009). Namun menurut saya, kata itu harus dibaca `Jitangkalawu`, jika tidak `Jitangdaawu`. Persoalannya adalah keragu-raguan untuk memastikan huruf kelima pada kata itu: apakah k, g, atau d? Namun tampaknya dalam surat ini antara huruf k dan g dibedakan, dimana yang terakhir dilambangkan dengan huruf kaf yang diberi titik di bawahnya. Namun, saya juga ragu bahwa huruf kelima itu adalah d yang diberi pemarkah `—` di atasnya (kelihatannya memang tidak bersambung). Ini beralasan karena bentuknya mirip dengan huruf d di baris-baris lain. Jika demikian halnya, maka kata itu juga bisa dibaca `Jitangdaawu`. Sayangnya, nama ini hanya disebut sekali saja dalam surat ini, sementara saya belum menemukan sumber-sumber lain yang menyebut nama ini, sehingga sulit untuk mencari perbandingan.
[12] Yang dimaksud adalah Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal VOC ke-12 (1653-1678). Lebih jauh mengenai Joan Maetsuycker, lihat L.P. van Putten, Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796 (Rotterdam: ILCO-Productions, 2002), hlm. 80-5.
[13] `Pun` tersalah letak: diletakkan setelah kata `Buton` di awal baris 18, namun kemudian diberi tanda pembetulan.
[14] Sesuai dengan surat aslinya: sepertinya ada huruf r yang salah tulis (lihat gambar).
[15] `Dualapan` dalam konteks ini berarti `delapan` (8), bukan `duapuluh delapan` (28). Lihat juga bilangan tahun di akhir kolofon ini. Lihat penjelasan lebih lengkap pada pembicaraan tentang konteks kesejarahan K.Ak.98 (4). Penulisan `dualapan` untuk `delapan` dalam naskah-naskah Melayu lama dari Indonesia timur adalah khas dan hal itu dipengaruhi oleh basa ibu (mother tongue) si penulis atau si penyalin. Demikian juga halnya, “[d]alam beberapa bahasa Austronesia yang lain, bilangan sebelas s[ampai] d[dengan] sembilan belas tidak dibentuk seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan berupa bilangan sepuluh disusul bilangan satuan, [seperti] sepuluh tujuh, bukan tujuh belas” (Henri Chambert-Loir, Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient, hlm. 40).
[16] Kata yang disisipkan (lihat gambar).
[17] Tampaknya ada kesilapan dalam menuliskan tanggal pada kolofon ini: pertama ditulis `dualapan [8] Jumadilawal`, kemudian diubah menjadi `sembilan [9] Jumadilawal`. Karena kata `sembilan` disisipkan (berarti ditambahkan kemudian), maka logikanya mungkin `sembilan likur hari bulan Jumadilawal…tahun Jim…seribu dualapan puluh genap [1080 H]` adalah tarikh surat ini yang benar. Jika dikonversikan ke tahun Masehi, maka 9 Jumadilawal 1080 H = Sabtu, 5 Oktober 1669, dan 8 Jumadidlawal 1080 H = Jumat, 4 Oktober 1669. Huruf Jim dengan tiga titik di atas merujuk kepada nilai numerik tahun Jim yang digunakan dalam sirkulasi delapan tahunan sistem kalender Islam klasik di Asia Tenggara (Lihat Ian Proudfoot, Old Muslim calendar of Southeast Asia. Leiden-Boston: Brill, 2006). Menurut Ian Proudfoot tanda seperti itu biasanya hanya ditemukan pada naskah-naskah primbon Jawa dan jarang ditemukan dalam kolofon surat-surat Melayu (komunikasi pribadi, 18-4-2009).
[18] Salah satu sumber pribumi yang merekam hebatnya peperangan antara Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin melawan VOC yang dipimpin Speelman adalah Syair Perang Mengkasar yang dikarang oleh Enci` Amin, jurutulis Sultan Hasanuddin sendiri. Lebih jauh mengenai syair ini, lihat C. Skinner (ed.), Syair Perang Mengkasar; sebuah reportase sastrawi bergaya Melayu dari jurutulis Sultan Hasanuddin tentang kejatuhan salah satu kerajaan besar di abad XVII (penerjemah: Abdul Rahman Abu) (Makassar: Ininawa, bekerjasama dengan KITLV Jakarta, 2008).
[19] Lihat Muridan Widjojo, `Cross-cultural alliance-making and local resistence in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810` [PhD dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262].
[20] Dikutip dari transliterasi Hikayat Raja-Raja Siam yang dikerjakan oleh Monique Zaini-Lajoubert, berdasarkan naskah KITLV Leiden Or.75 dengan membandingkannya dengan versi UB Leiden Cod.Or.2011. Lihat: Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri (Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient), hlm. 145.
[21] Mengenai kepercayaan masyarakat Buton, lihat antara lain Pim Schoorl, Masyarakat, sejarah, dan budaya Buton (Jakarta: Djambatan, 2003).
[22] Keterangan ini berdasarkan Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan adat fiy Darul Butuni (Buton) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, Jilid II, hlm. 46-66) yang banyak merujuk kepada A. Ligtvoet, “Beschrijving en geschiedenis van Boetoen”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 26 (1878): 1-112.
[23] Abdul Mulku Zahari (op.cit), hlm. 62-3.
[24] Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur”, hlm. 227 [c.13].
[25] Demikianlah umpamanya, dalam surat raja-raja Bima di Pulau Sumbawa, ungkapan merendah yang lazim dipakai adalah: “… yang tiada dengan sepertinya, seupama daun kayu kering ditiup angin di tengah padang adanya” (dengan beberapa variasi kecil). Lihat: Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI (Bima, Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007).

Website Terkait:
http://niadilova.blogdetik.com/2009/05/25/temuan-dokumen-sejarah-sulawesi-tenggara-surat-tertua-kerajaan-buton-dari-abad-ke-17/#comment-403

Keseragaman Ikonografi pada Ukiran Candi Masa Jawa Timur Akhir

Keseragaman Ikonografi pada Ukiran Candi Masa Jawa Timur Akhir
Lydia C. Kieven
28 July 2010

Pendahuluan
Ciri khas dan petunjuk status sosial dari sebuah ukiran dapat dinilai dari detail ikonografinya. Bentuk dari badan dan bahasa tubuh, pakaian dan hiasan kepala adalah keistimewaan dari penilaian tersebut. Berdasarkan terminologi yang ditemukan dan dipopulerkan oleh Forge (1978: 13) bahwa perbedaan antara epik mitologi dan cerita pos-mitologi India menunjukkan keragaman cerita yang mencakup cerita petualangan pahlawan, kerajaan kuno, pendekar dalam cerita rakyat, dan cerita Panji tertentu.

Sebagai contoh, perbandingan antara ukiran-ukiran dari Jawa Timur dengan ikonografi lukisan-lukisan Bali menunjukkan sebuah kemiripan. Baik dalam kesenian Jawa Timur dan Bali, tokoh dalam cerita mitologi memakai pakaian yang rumit, dan pahlawan laki-laki seperti Rama dan Krishna dilukiskan dengan gaya rambut seperti ‘capit kepiting’ yang disebut capit urang. Dalam lukisan Bali, tokoh utama cerita pos-mitologi, seperti dalam cerita Panji dan cerita bangsawan-bangsawan lainnya, mereka memakai pakaian yang kurang-lebih cocok dengan apa yang dipakai oleh orang-orang pada istana di Bali ratusan tahun lalu (Forge 1978:17).Saya berpendapat bahwa tutup kepala/mahkota sebagai hiasan kepala muncul di ukiran pada masa Jawa Timur akhir, dan bentuk ikonografi tersebut berhubungan erat dengan pakaian kontemporer di Jawa pada akhit abad ke-13 M sampai awal abad 16 M. Hal terebut menandakan keragaman ciri yang dipengaruhi oleh detail ikonografi lainnya seperti variasi bentuk pakaian.

Penelitian yang paling komprehensif mengenai keseragaman ikonografi pada ukiran naratif masa Jawa Timur akhir telah dilakukan oleh M. Klokke (1993: 61-69) yang pada tesisnya mengenai ukiran Tantri memberikan detail elemen-elemen yang paling penting dari ukiran tersebut. Saya juga akan memanfaatkan penelitian Satyawati Suleiman (1978: 26-39) mengenai tokoh utama pada ukiran teras pendopo Candi Panataran, dan gambaran tipe keagamaan oleh Jo Sbeghen (2004: 77-81) dalam tesisnya mengenai Candi Sukuh. Peninjauan ilmiah yang sistematis mengenai keseragaman ikonografi belum pernah diadakan sebelumnya. Diluar sumber-sumber tersebut, saya juga mengadakan penelitian intensive dan observasi berulang kali mengenai penggambaran naratif.

Tipe Karakter

Rakyat jelata dari kalangan status sosial bawah
Orang-orang biasa dari kalangan bawah, baik laki-laki atau perempuan, memakai berbagai macam cawat (kain). Laki-laki, ketika digambarkan dalam sebuah kegiatan seperti berjalan atau berkelahi, memakai kain cawat pendek atau pakaian yang berlipat. Cawat (kain) untuk wanita biasanya digambarkan dengan cara yang lebih indah, panjang hingga mencapai pergelangan kaki. Kain untuk laki-laki secara sederhana melingkari pinggang, diikat oleh ikat pinggang dengan simpul bebas tergantung dibagian depan tubuh. Cawat untuk perempuan tergerai penuh lipatan, dan seringkali salah satu ujung dari kain ujugn cawat juga dipakaikan diatas lengan atau bahu. Wanita dari kalangan bawah tidak menutupi bagian dada mereka. Baik laki-laki atau perempuan memiliki tata rambut yang sama, yaitu gulungan pada bagian belakang kepala. Dalam beberapa kasus, laki-laki dari kalangan biasa memakai tutup kepala kecil.

Pelayan
Bentuk pelayan menandai keberadaan tokoh dengan posisi sosial yang tinggi seperti raja atau dewa. Pelayan laki-laki seringkali digambarkan dengan rambut pendek, seperti pada penggalan ukiran Krishnayana di candi utama Panataran, dan dalam beberapa penggalan gambar, mereka memakai tutup kepala. Pelayan-pelayan itu seringkali muncul secara berpasangan, memegang kotak pinang dan tempayan ludah untuk tuan mereka. Namun data literatur yang berhubungan dengan penggambaran naratif ini tidak secara detail menyebutkan keberadaan para pelayan, sehingga keberadaan para pelayan ini dapat diartikan sebagai elemen pelengkap dalam representasi visual. Sebagai sebuah penanda, keberadaan pelayan menjadi keumuman untuk menunjukan tokoh yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya mengenakan sedikit perhiasan, seperti anting dan gelang, dan juga mengenakan kain panjang. Pelayan-pelayan tersebut bukanlah bagian dari komunitas kelas bawah karena kalangan tersebut tidak pantas untuk melayani raja atau dewa. Hal yang sama terjadi pada pelayan wanita dari kalangan aristokrat yang mamakai kemben untuk menutupi dada mereka; memberikan kesan sikap yang lebih sopan dan berbudi dari wanita kalangan biasa. Pelayan wanita biasanya memakai perhiasan seperti gelang dan kalung. Mereka seringkali menata rambut mereka dengan bentuk sanggul besar pada bagian atas-belakang kepala; sebuah fitur yang ditemukan pula di arca terakota Majapahit (Muller 1978: 32-34).

Bentuk pelayan yang istimewa adalah punakawan. Punakawan wanita sering disebut dengan Nini Towong. Bentuk-bentuk ini, biasanya digambarkan menemani tuan mereka, dan memiliki tubuh yang kerdil. Dalam beberapa potongan gambar, mereka adalah karikatur dari perilaku tuan mereka. Punakawan hanya dikenal dari ukiran-ukiran pada candi dari masa Jawa Timur akhir, pertama kali muncul di Candi Jago. Mereka tampak sebagai pendahulu dari para punakawan yang ada di cerita wayang masa kini. Keberadaan dari punakawan di ukiran-ukiran Jawa Timur mengindikasikan bahwa tradisi wayang telah hadir di masa Jawa kuno (Barandes 1902b: XLI). Punakawan sebagai teman perjalanan para pahlawan tidak banyak disebutkan dalam karya literatur, sama seperti kasus pasangan pelayan tokoh kerajaan dan dewa. Namun, Semar seorang tokoh punakawan memainkan peranan penting dalam kidung Sudamala (Galestin 1959).

Golongan aristokrat, bangsawan, raja dan ratu
Tokoh aristokrat, bangsawan, raja dan ratu dicirikan oleh pakaian, perhiasan dan tata rambut mereka yang mewah dan rumit. Kita dapat membedakan dua tipe bangsawan laki-laki; masing-masing dengan gaya yang berbeda tergantung pada kemunculan mereka: cerita mitologi atau pos-mitologi. Tipe pertama muncul di cerita Ramayana dan Mahabarata; mereka ditampilkan mengenakan hiasan kepala gaya Wayang—supit urang seperti ‘capit kepiting’—dan mereka mengenakan selempang, perhiasan yang mewah, dan seringkali mengenakan upawita. Berbeda dengan Pandawa lainnya yang digambarkan memakai supit urang, Yudistira hanya memiliki sanggul yang berada dibelakang leher (Klokke 1993:65). Di kesempatan lain, hiasan kepala ini dapat ditemukan dalam penggambaran raja lainnya, sebgaia contoh pada ukiran Sundhanakumara di Candi Jago.

Tipe aristokrat laki-laki pada cerita pos-mitologi—seperti Sidapaksa dalam cerita Sri Tanjung, atau Panji—mengenakan mahkota. Biasanya tokoh ini memakai kain yang panjang dengan ikat pinggang. Pada kebanyakan kasus, dia mengenakan satu atau dua gelang di lengan dan di sekitar pergelangan kaki atau juga di bagian atas lengan, dan juga anting.

Bangsawan wanita hanya dibedakan dari pelayan wanita mereka: mereka dihiasi lebih banyak perhiasan, seringkali mengenakan pakaian yang rumit, dan dada mereka ditutupi kemben. Bangsawan wanita dan juga pelayan mereka seringkali memakai kain lainnya dibawah pakaian bagian luar. Wanita muda digambarkan dengan rambut terurai lepas, yang juga menandakan mood erotis. Saya memanggil tipe wanita ini ‘bangsawan wanita muda’. Wanita yang lebih tua menata rambutnya dengan sanggul. Janda dan pendeta wanita mengenakan semacam serban/ikat kepala. Wanita yang lebih tua lebih ‘menjinakkan’ rambut mereka.

Terdapat bentuk ukiran laki-laki khusus yang sering digambarkan bersama para bangsawan bermahkota dan panakawan. Contoh dari golongan ini muncul di teras pendopo Panataran, di ukiran Gembyok dan di patung Grogol. Tokoh ini disebut kadeyan, memperlihatkan ciri kebangsawanan, tapi agak gemuk. Dia memakai kain yang biasa selipkan sehingga satu atau kedua kakinya terlihat. Rambutnya yang keriting diikat menjadi sanggul di bagian atas kepala.


Patung Grogol
Dari kanan ke kiri—kadeyan, Panji, dan punakawan



Ukiran Gembyok

Tokoh religius
Tokoh religius mungkin merepsentasikan pendeta (Brahman), guru, pertapa (rshis), dan pendeta Budha. Mereka biasa dibedakan dari ikat kepala/serban (ketu) yang biasa dikombinasikan dengan kumis atau jenggot panjang. Mereka mengenakan kain cawat yang panjang dengan baju tebal berlengan panjang, dan mereka seringkali memiliki perut yang menonjol keluar. Tokoh religius lainnya mungkin hanya memiliki ketu sebagai ciri khusus dari status mereka dan bertubuh lebih kurus dan memakai kain biasa. Namun tipe lainnya memiliki kepala yang gundul, atau rambut mereka dipangkas pendek, dan mereka mengenakan pakaian yang sederhana. Klokke (1993:63) menyatakan “semakin sedikit rambut dan sederhana pakaian berarti semakin muda dan semakin sedikit pengalaman dari bentuk pertapa tersebut. Bentuk yang mengenakan pakaian lebih rumit tampaknya lebih berpengalaman dalam segi kedudukan.”

Ukiran pada teras pendopo Panataran menunjukan gambar seorang laki-laki dengan kepala gundul/rambut pendek. Saya berpendapat bahwa pada kasus ini dia merepresentasikan Panji sebagai pertapa pemula atau tokoh yang akan bertapa dan telah melepaskan mahkotanya sebagai lambang penghormatan terhadap pertapa yang akan menjadi gurunya. Sebagai tambahan, di Candi Jago lebih tepatnya pada ukiran Angling Dharma terdapat gambaran seorang laki-laki berkepala gundul yang ditemani oleh seorang pertapa. Laki-laki itu mungkin menunjukkan rasa hormatnya terhadap pertapa itu dengan mengenakan tutup kepala tertentu.

Pertapa wanita atau kilis juga mengenakan tutup kepala seperti serban. Jenis serban ini memiliki bentuk lebik kotak dan lebih vertikal daripada yang digunakan oleh laki-laki. Bentuk semacam ini muncul di ukiran teras pendopo dan juga dapat ditemukan pada ukiran Parthayajina di Candi Jago.

Tokoh dewa dewi
Dewa dan dewi biasanya berdiri atau duduk diatas alas berbentuk teratai, mereka memiliki lebih dari dua tangan dan memiliki lingkaran cahaya di sekitar tubuhnya. Atribut individual mereka menunjukan posisi mereka sebagai dewa yang istimewa. Hiasan kepala mereka berbentuk seperti mahkota, sementara pakaian mereka lebih rumit dari pada yang dikenakan oleh manusia, termasuk perhiasan mewah, selempang, dan upawita. Mahluk kahyangan lainnya seperti bidadari dibedakan dari banyak selempang dan perhiasan mereka.

Iblis
Iblis memiliki tubuh dan kepala yang besar, mata yang melotot, gigi yang menonjol keluar, dan kebanyakan memiliki rambut keriting yang acak-acakan. Namun raja iblis Rahwana di cerita Ramayana berbeda dengan iblis lainnya, ia dicirikan sebagai raja dengan mahkota, sama seperti saudaranya Kumbhakarna. Contoh dari gambaran ini terdapat di candi utama Panataran, dan di Candi Yudha.


Dialihbahasakan oleh Tim Wacana Nusantara dari “ICONOGRAPHICAL CONVENTIONS IN THE LATE EAST JAVANESE TEMPLE RELIEF” bagian dari bab ke-3 thesis Lydia C. Kieven yang berjudul “Meaning and function of the figures with a cap in reliefs at East Javanese temples of the Majapahit period__ a contribution to a new understanding of the religious function of the temples.”

Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga
TIm Wacana Nusantara
30 July 2010
Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.

Ratu Shima yang Tegas
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.

Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.

Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.

Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:

Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.

Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.

Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.

Kepustakaan
Marwati, dkk. 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Moehadi. 1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
……………...2009. “Belajar Penegakan Hukum dari Kerajaan Kalingga”. [Online]. Terdapat di.
http://news.okezone.com/read/2009/11/25/95/279012/belajar-penegakan-hukum-dari-kerajaan-kalingga [28/7/2010]

Kerajaan Nagaradhipa

Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa)
Tim Wacana Nusantara
3 August 2010

Dalam perbincangan mengenai politik-kebudayaan masa klasik atau masa Hindu-Buddha di Nusantara, rupanya Pulau Kalimantan jarang mendapatkan tempat yang layak. Tidak seperti Pulau Jawa dan Sumatra di mana profil kerajaan-kerajaannya sering ditampilkan, Kalimantan sepertinya disisihkan karena dianggap “miskin” dalam hal perbendaharaan masa-masa Hindu-Buddha, kecuali memiliki sejarah Kerajaan Kutai pada abad ke-4 dan ke-5 yang terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Setelah era Kutai tamat, tak ada informasi yang memadai akan “kelanjutan” sejarah masa Hindu-Buddha di Kalimantan. Seolah ada rantai sejarah yang putus di pulau yang luasnya 743.330 km2, pulau terluas di Indonesia.

Kerajaan Nagaradhipa (ada pula yang menulisnya Negara Dipa atau Nagara Dipa) adalah kerajaan bercorak Hindu yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan ini merupakan kerajaan pertama di Kalimantan, yang terletak di Banua Hujung Tanah. Kerajaan ini dapat dikatakan “penerus” Kerajaan Negara Daha dan “pengganti” Kerajaan Kuripan. Kerajaan Negara Daha sendiri terbentuk setelah perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai yang terletak di hulu ke Muhara Hulak di hilir. Sejak masa pemerintahan Mangkubumi Lambung Mangkurat (dalam dialek Banjar) atau Lambu Mangkurat atau Lembu Mangkurat, wilayah Kerajaan Nagaradhipa terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting. Paul Michel Munos menandai bahwa kerajaan ini berdiri pada 1387 dan berakhir pada 1495. Kerajaan Nagaradhipa dikenal sebagai penghasil intan pada masanya.

Kerajaan sebelumnya, yakni Kuripan, berpusat di Candi Laras (kini termasuk wilayah Margasari). Candi Laras berada dekat hilir Sungai Bahan, tepatnya pada suatu anak Sungai Bahan. Dari Candi Laras, pusat atau ibukota berpindah ke hulu Sungai Bahan di Candi Agung (kini termasuk wilayah Amuntai). Kepindahan ini dilakukan oleh Ampu Jatmaka. Sungai Bahan (artinya Sungai Nagara) sendiri bercabang menjadi Sungai Tabalong dan Sungai Balangan dan Sungai Pamintangan. Maka dari itu, dalam legenda dan cerita lisan Banjar (“Tutur Candi”), Kerajaan Nagaradhipa kadang disebut Kerajaan Amuntai. Wilayah Kerajaan Nagaradhipa ini meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Ampu Jatmaka, Penggagas Nagaradhipa
Sebelum lahir Kerajaan Nagaradhipa, menurut Hikayat Banjar (yang oleh J.J. Ras, ahli yang pertama menerbitkannya lengkap dengan transkripsi Latinnya, dibagi ke dalam dua resensi, Resensi I dan Resendi II), di Kalimantan Selatan telah memerintah sebuah kerajaan yang bernama Kuripan atau Kahuripan. Kerajaan Kuripan (disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II) yang terletak di sebelah hilir negeri candi Agung (Amuntai Tengah), diperintah oleh Aria Mangkubumi, seorang pedagang kaya raya, bukan keturunan raja. Setelah meninggal, Kerajaan Kahuripan diserahkan kepada Ampu Jatmaka (Poesponegoro menulisnya Ampu Jatmika), anak angkatnya yang berasal dari Keling di Jawa, karena Mangkubumi tak punya keturunan. Ampu Jatmaka mengganti nama kerajaannya sebagai Kerajaan Nagaradhipa. Perlu dicatat bahwa bab terakhir Hikayat Banjar ditulis pada 1663.

Menurut Hikayat Banjar, Ampu Jatmaka berasal dari Keling. Ia tiba di tanah Banjar bersama armada Prabayaksa, sekitar tahun 1355. Veerbek berpendapat bahwa Keling, yang termasuk kerajaan vasal dari Majapahit, terletak di barat daya Kadiri, bukan Kalingga di India,. Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia (401 dan 435), Ampu Jatmaka mendirikan Nagaradhipa pada tahun 1387 dan berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmaka menjabat sebagai mantri sakai di Nagaradhipa, bukan raja Nagaradhipa. Hal ini terjadi, seperti telah disinggung di atas, karena Ampu Jatmaka bukan keturunan bangsawan dan bukan pula keturunan raja Kuripan. Dengan begitu, Ampu Jatmaka hanya sebagai Penjabat Raja atau Pemangku Kerajaan.

Setelah menguasai negeri Candi Laras dan negeri Candi Agung, Ampu Jatmaka berhasil menguasai negeri Batung Batulis dan Baparada (Balangan)—nama Batung Tulis dan Baparada ini muncul dalam Hikayat Banjar Resensi II teks susunan A.A. Cense, ahli yang memuat dua versi hikayat ini). keempat wilayah inilah yang menjadi kekuasan awal Nagaradhipa. Lalu Ampu Jatmaka memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah melalui menaklukkan Batang Tabalong (Nagarakretagama menulisnya Tabalung), Batang Balangan, dan Batang Pitap. Ia juga memerintahkan Arya Megatsari menaklukkan Batang Alai, Batang Labuan Amas, dan Batang Amandit. Diduga, wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (sebutan abad ke-14 untuk wilayah Kalimantan - Filipina).

Diceritakan dalam Hikayat Banjar, bahwa setelah Aria Mangkubumi mangkat, Ampu Jatnika menyuruh rakyatnya membangun candi, keraton, balairung, ruang sidang, dan menara. Karena merasa bahwa dirinya bukan keturunan raja dan merasa belum berhak menjadi raja, Ampu Jatmaka memerintahkan rakyat membuat dua arca lelaki dan perempuan dari kayu cendana, lantas dua arca tersebut disimpan di candi dan segenap rakyat wajib menyembahnya dan menganggap kedua arca tersebut sebagai raja dan permaisuri Kerajaan, agar Ampu Jatmaka serta keturunannya kelak terhindar dari celaka dan marabahaya. Setelah melengkapi istana, membuat candi dan kedua arca untuk ditempatkan di dalam candi, batulah Ampu Jatmaka melengkapi aparat kerajaan dengan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan. Setiap Sabtu ia berkumpul dengan para pembesar lain untuk memperbincangkan masalah-masalah negara.

Ampu Jatmaka lantas mengangkat Aria Margatsari (Megatsari) menjadi patih kerajaan yang membawahi pula sejumlah menteri (Poesponegoro, M.D. dan Nugroho Notosusanto, 2008: 211). Dikisahkan bahwa Ampu Jatmaka ingin mengganti arca kayu cendana dengan arca dari gangsa (perunggu). Karena di negeri tak ada yang ahli dalam mengecor perunggu, ia mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Wiramartas (Poesponegoro, 2008: 246) ke negeri Cina untuk meminta ahli-ahli logam di negeri seberang itu membuat arca-arca tersebut. Wiramartas sendiri memperoleh bingkisan dari raja Cina berupa pakaian indah dan sebilah pedang Jepang. Alhasil, jadilah dua patung sebesar anak kecil dan di simpan dalam candi dan dijaga oleh 40 pendeta.

Lambung Mangkurat, Mangkubumi Nagaradhipa
Ketika Ampu Jatmaka wafat, timbul persoalan mengenai siapa yang berhak menduduki singgasana. Ampu Jatmaka pernah berpesan kepada dua putranya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat, agar takhta kerajaan harus diduduki oleh seseorang yang keturunan raja, bukan kepada putra-putranya tersebut. Lambung Mangkurat lantas bertapa di sebuah sungaiu besar. Ada pun Ampu Mandastana bertapa di Pegunungan Meratus.
Dikisahkan, ketika bertapa, Lambung Mangkurat menemukan sebuah buih besar yang di dalamnya terdengan suara seorang wanita. Suara wanita tersebut meminta Lambung Mangkurat untuk menyediakan kain sarung yang ditenun oleh 40 orang gadis dan perahu indah untuk menjemputnya. Perintah itu lantas dilaksanakan Lambung Mangkurat dengan baik. Ternyata, dari dalam buih itu keluar seorang gadis yang sangat cantik yang bernama Putri Junjung Buih (dalam Sejarah Nasional Indonesia III ditulis Putri Tunjungbuih). Mulanya Lambung Mangkurat hendak memperistri Putri Junjung Buih namun sang putri menolak karena telah ditakdirkan menikah dengan seorang pangeran keturunan Majapahit yang bernama Raden Putra, yang ternyata menderita penyakit kulit. Atas peran Lambung Mangkurat, akhirnya Putri Junjung Buih menikah dengan Raden Putra yang kini memiliki nama lain, yaitu Raden Suryanata, yang telah sembuh dari penyakit kulitnya setelah mengalahkan dua ekor naga putih ketika menyeberangi lautan untuk menuju Nagaradhipa dari Jawa. Raden Suryanata pun diangkat menjadi raja Nagaradhipa dengan Putri Junjung Buih sebagai permaisuri.

Lambung Mangkurat sendiri menjabat sebagai mangkubumi hingga akhir hayatnya. Dengan begitu, secara de jure, Raden Suryanata-lah yang menjadi raja pertama Nagaradhipa, sementara Ampu Jatmaka merupakan penggagas berdirinya kerajaan (meksi dalam Hikayat Banjar disebut dengan gelar Maharaja di Candi). Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan Suryanata-Junjung Buih inilah yang kelak menjadi raja-raja di Nagaradhipa hingga raja-raja Banjar dan Kotawaringin.

Lambung Mangkurat kemudian bergelar Ratu Kuripan. Sebagai Mangkubumi Nagaradhipa, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatan hingga Tanjung Puting, wilayah yang membentang dari Sungai Barito hingga Sungai Seruyan. Namanya kini diabadikan sebagai nama museum di Kalimantan Selatan.

Putri Junjung Buih dalam Legenda dan Sejarah
Dalam Hikayat Banjar diceritakan bahwa yang menjadi permaisuri pertama kerajaan adalah Putri Junjung Buih (buih berarti “bunga air”). Ia memiliki dua nama lain: Raden Galuh Ciptasari atau Putri Ratna Janggala Kadiri. Ia diakui oleh Lambung Mangkurat sebagai anak angkat. Ia merupakan gadis asal Kalimantan.

Dalam legenda Kalimantan Selatan diceritakan, Putri Junjung Buih sangat dicintai rakyat Nagaradhipa. Diam-diam ternyata Lambung Mangkurat memendam cinta pada sang Putri. Putri Junjung Buih sangat menyukai anak kembar dari Ampu Mandastana, yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Lambung Mangkurat, yang tak senang atas hal ini, dengan alasan membawa kedua kemenakannya, Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga, untuk mencari ikan, membawa keduanya untuk dibunuh dalam sebuah lubuk. Lubuk ini kini dikenal dengan Lubuk Badangsanak. Kedua orangtua mereka, Empu Mandastana dan istri yang mengetahui kejadian itu, kemudian bunuh diri di Candi Agung.

Selain di Nagaradhipa, keberadaan Putri Junjung Buih diakui oleh masyarakat Kalimantan Barat di mana mereka merupakan keturunannya. Dalam tradisi Kerajaan Kutai Kartanegara, Putri Junjung Buih merupakan istri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti, raja pertama Kutai Raja Kutai Kartanegara. Drg Marthin Bayer beranggapan, bahwa Puteri Junjung Buih identik dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam tradisi masyarakat Dayak. Bahkan menurut legenda suku Kedayan, Putri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (1524), yakni permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei, dipercaya berasal dari buih lautan—mirip kisah Putri Junjung Buih.

Ada yang menyamakan bahwa Junjung Buih tak lain putri dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura dalam Pararaton. Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini ini berkuasa dari tahun 1429-1464, dan merupakan putri Bhre Tumapel II (kakak dari Suhita) dari istrinya yang bermama Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura (Bhre Kalimantan) dan Bhre Pajang III Sureswari (1429-1450, adik bungsu Bhre Tanjungpura Manggalawardhani) keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III (1400-1440, ayah Sripura), namun perkawinan ini menurut Pararaton tidak memiliki keturunan. Diduga keras Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Bila mengacu kepada Prasasti Trailokyapuri, maka Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI (1464-1474), yang tak lain ibunda Ranawijaya, janda Sang Sinagara.

Raden Putra
Ada pun suami Junjung Buih, yakni Rahadyan (Raden) Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa, setelah jadi raja Nagaradhipa bergelar anumerta Maharaja Suryanata, yang berarti “perwujudan Dewa Matahari”. Ia berhasil menaklukkan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, penguasa Batang Lawai (kini Sungai Kapuas), penguasa Kotawaringin, penguasa Pasir, raja Kutai, penguasa Berau, dan raja Karasikan.

Nama Rajasa pada Suryanata kemungkinan merupakan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yang tak lain putra sulung Bhre Tumapel III III yakni Dyah Kertawijaya (1429-47), yang tertulis dalam Pararaton. Sementara itu, Dyah Wijayakumara (Bhre Kahuripan VI) memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak: Samarawijaya (Bhre Kahuripan VII), Wijayakarana (Bhre Mataram V), Wijayakusuma (Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya alias Bhre Kertabhumi (Kartapura? atau Tanjungpura?).

Menurut Hikayat Banjar Resensi II, perkawinannya dengan Junjung Buih membuahkan tiga orang putra: Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa, dan Pangeran Aria Dewangsa. Pangeran Suryawangsa memerintah di Undan Besar dan Undan Kuning, pangeran Suryaganggawangsa di Undan Kulon dan Undan Kecil, Pangeran Dewangsa di Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis, dan Baparada serta Kuripan. Setelah lama memerintah, Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putra-putranya pada 1464 (?).

Pangeran Suryaganggawangsa dan Aria Dewangsa
Menurut versi Tutur Candi (Hikayat Banjar Versi II), yang menjadi raja Nagaradhipa selanjutnya adalah Aria Dewangsa (kadang ditulis Dewangga),putra bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata. Ia menikah dengan Putri Kalungsu alias Putri Mandusari alias Putri Huripan (yang ditinggal ibunya ketika melahirkannya) yang bergelar Putri Kabu Waringin. Dinamai demikain karena setelah ibunya meninggal, putri ini minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin. Putri ini adalah anak Lambung Mangkurat dengan Dayang Diparaja. Pasangan Aria Dewangsa dan Putri Kabu Waringin memiliki putra bernama Raden Sakar Sungsang (Sekar Sungsang). Hikayat Banjar Versi I menceritakan bahwa yang menggantikan Suryanata adalah Pangeran Suryaganggawangsa, kakak Aria Dewangsa. Ia pun menikah dengan Putri Huripan. Anak gadis dari Suryaganggawangsa dengan Putri Huripan, lalu dinikahkan dengan Pangeran Suryawangsa, saudara Suryaganggawangsa dan Aria Dewangsa. Di antara dua versi ini, entah mana yang paling benar.

Raden Sakar Sungsang dan Putri Kalungsu
Hikayat Banjar Resensi (Versi) II menuturkan bahwa Raden Sakar Sungsang merupakan cucu Putri Junjung Buih sekaligus juga cucu Lambung Mangkurat. Ia disebut pula sebagai Ki Mas Lalana dalam Hikayat Banjar. Akan tetapi, menurut Hikayat Banjar Resensi I, ia adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut Versi II, Raden Sakar Sungsang (Panji Agung Rama Nata) pernah merantau ke Jawa (dan karena itu diduga sudah memeluk Islam) dan diberi nama baru oleh juragan Balaba di Surabaya: Ki Mas Lalana.
Dalam Hikayat Banjar Versi I diceritakan, Raden Sakar Sungsang berumur tujuh tahun ketika ayahnya, Raden Carang Lalean, kembali ke tempat asalnya. Ia bersama ibunya, Putri Kalungsu membuat jawadah nanuman. Suatu hari, belum lagi jawadah masak dan sedang diaduk di dalam wajan, Raden Sakar Sungsang sudah meminta jawadah itu. Ibunya mengatakan, sabar. Namun larangan ibunya tidak diindahkan Sakar Sungsang, terus merengek minta jawadah. Karena tidak sabar, dicoleknya oleh Sakar Sungsang jawadah itu dengan bilah. Sang ibu pun marah dan memukulnya dengan wancuh gangsa sehingga kepala anaknya itu terluka. Sakar Sungsang menangis lalu lari meninggalkan ibunya. Ia ditemukan oleh pelaut bernama Balaba dari Surabaya. Sakar Sungsang lalu diajak berlayar ke Jawa dan diberi nama baru, Ki Mas Lalana, karena Sakar Sungsang tak bisa mengingat kejadian sebelumnya sebagai akibat luka di kepalanya. Di Surabaya, semakin hari, semakin kaya Ki Mas Lalana. Banyak gadis tergila-gila padanya, termasuk janda, dan orang besar yang ingin menjadikannya menantu. Setelah juragan Balaba meninggal, Ki Mas Lalana pamit kepada istri juragan Balaba untuk berlayar ke Nagaradhipa.

Sementara itu, Lambu Mangkurat ingin agar Putri Kalungsu bersuami lagi. Ia memberitahukan bahwa ada orang keturunan anak cucu ratu Majapahit bernama Ki Mas Lalana yang cocok bagi calon suami Putri Kalungsu. Semula sang Putri ragu, namunsetelah saling bertemu dan suka sama suka maka dikawinkanlah Putri Kalungsu dengan Ki Mas Lalana dengan upacara perkawinan selama tujuh hari tujuh malam. Mereka tak tahu bahwa keduanya merupakan ibu dan anak (seperti kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang di Jawa Barat). Setelah tujuh hari menikah, Ki Mas Lalana minta dicarikan kutu di kepalanya. Betapa terkejutnya sang Putri melihat bekas luka di kepala Ki Mas Lalana. Bertanyalah ia mengapa ada bekas luka itu. Karena didesak terus akhirnya mengakulah Ki Mas Lalana. Putri pun terkejut. Ia menagis dan malu serta menolak kepada anaknya dari pangkuannya dan berkata: “kalau demikian, engkau itu anakku yang hilang dahulu bernama Sakar Sungsang.” Maka Sakar Sungsang pun menangis serta sujud minta ampun. Peristiwa ini disampaikan kepada Lambung Mangkurat untuk dipecahkan, namun Lambung Mangkurat menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Putri Kalungsu. Putri Kalungsu lantas bersumpah kepada Sakar Sungsang atau Ki Mas Lelana: “Hai anakku, Sakar Sungsang, sejak hari ini kita berpisah. Jika aku mati jangan engkau melihat, jika engkau mati tiada aku melihat dan kuubah namamu menjadi Raden Sari Kaburungan. Raden Sari Kaburungan kemudian menjadi raja di kampung lain dan setelah setahun ia pindah dan membuat negeri baru di hilir bernama Muhara Hulaka, sementara Putri Kalungsu berdiam di Nagaradhipa dan menjadi “ratu” Nagaradhipa. Muhara Hulak kemudian dinamakan Negara Daha. Tak lama, Putri Kalungsu dan Lambung Mangkurat pun kembali ke tempat asalnya.

Ada pun dalam Versi II dikisahkan, di Jawa Sakar Sungsang mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putra bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar. Raden Panji Sekar ini kemudian bergelar Sunan Serabut setelah menikahi putri Raja Giri Kedaton. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari, gelar Ratu Lamak, putri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja. Ratu Lamak lalu digantikan adiknya oleh Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.

Hikayat Banjar Resensi I menyebutkan, ibunda Raden Sakar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (Aria Dewangsa?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya. Sampai di sini ada data yang menarik mengenai kepulangan Carang Lalean ke Jawa, di mana jika benar ia merupakan putra Manggalawardhani maka kemungkinan besar kepulangannya ke tempat asal (Majapahit) adalah untuk membantu kakaknya, Samarawijaya, berperang melawan pamannya Raja Majapahit. Sebelum pergi ke Jawa, Maharaja Carang Lalean melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.

Keruntuhan
Raden Sakar Sungsang dinobatkan menjadi raja dan bergelar Maharaja Sari Kaburungan setelah menikahi Putri Kalungsu—yang sebenarnya ibunya sendiri namun tak disadari. Namun, yang memegang pemerintahan tetap Lambung Mangkurat, karena Sakar Sungsang tetap saja bukan merupakan anak raja. Anaknya dari Putri Kalungsu-lah yang kelak akan menjadi raja sesungguhnya di Nagaradhipa. Setelah diketahui bahwa Sakar Sungsang merupakan anak Putri Kalungsu maka Sakar Sungsang pindah dari Candi Agung (Amuntai) ke arah hilir pada pertemuan anak Sungai Bahan yaitu Muhara Hulak. Di sini ia mendirikan kerajaan baru, yakni Nagara Daha (kini bernama Kecamatan Daha Selatan). Nama Sungai Bahan kini berganti nama menjadi Sungai Negara. Kepindahan ini terjadi karena Candi Agung dianggap sudah kehilangan tuahnya. Kelak, Kerajaan Daha digantikan oleh Kerajaan Banjar yang bercorak Islam. Sementara itu, sejumlah tumenggung melarikan diri ke negeri Paser (Pasir) di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka lalu mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah perbatasan tersebut. Paul Michael Munos menulis bahwa eksistensi nagaradhipa berakhir pada 1495. Ini dapat dikaitkan dengan kepulangan Putri Kalungsu dan Lambung Mangkurat ke “daerah asalnya”, bukan atas tarikh kepindahan Maharaja Sari Kaburungan ke Muhara Hulak.

Mengenai identifikasi tokoh-tokoh Nagaradhipa di atas tadi, perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Dua naskah yang dihubungkan tersebut (Hikayat Banjar dan Pararaton) masih dirasa masih kurang memuaskan untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai tokoh-tokoh bersangkutan.

Sistem Administrasi
Pembentukan negara dan cara pemerintahan di Nagaradhipa mengikuti adat dari Kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan pun meniru pakaian adat dan kebiasaan Jawa; raja bahkan tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling (India) atau Melayu.

Kerajaan Nagaradhipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut sakai. Sakai ini masing-masing dipimpin oleh seorang mantri sakai. Sebuah pemerintahan sakai kira-kira sejajar dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa wilayah Nagaradhipa awalnya merupakan bawahan atau sakai dari Kerajaan Kuripan.

Ada pun jabatan mangkubumi, setara dengan patih, yang dipegang oleh Lambung Mangkurat, bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum, baik di dalam atau di luar istana. Jabatan tertinggi di bawah mangkubumi adalah panganan, yang pada masa Lambung Mangkurat dipegang oleh Aria Margatsari; lalu pangiwa yang dipegang oleh Tumenggung Tatahjiwa. Baik panganan (dari kata kanan) maupun pangiwa (dari kata kiwa atau kiri) berhubungan langsung dengan administrasi istana. Di bawah jabatan panganan dan pangiwa terdapat jabatan mantri ampat yang bertugas sebagai jaksa yang diserahkan kepada patih laras, patih pasir, patih luhur, dan patih dulu. Lalu terdapat jabatan mantri bumi, yakni jabatan yang berhubungan dengan kegiatan kemasyarakatan sehari-hari yang terdiri atas sang panimba sagara, sang pangarantasmanan, sang pambalankatan, dan sang jampangsasak. Jabatan terendah setelah jabatan-jabatan di atas tadi adalah mantri ampat puluh yang masing-masing membawahi pengawai sebanyak seratus orang.

Hasil Bumi
Hikayat Banjar banyak menuturkan peristiwa yang di dalamnya disebutkan hasil-hasil bumi Nagaradhipa. Hal ini dapat kita periksa ketika rombongan Wiramartas berangkat ke Cina dengan membawa intan sepuluh, 40 mutiara, 40 pikul lilin, 1.000 kindai damar, 1.000 galung pekat, 100 gantang air madu, 10 ekor orangutan. Persembahan untuk raja Cina ini memperlihatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh Nagaradhipa, terutama hasil hutannya (hingga kini hutan Kalimantan terkenal sebagai lahan yang sangat luas). Penggunaan kayu cendana untuk bahan membuat arca memperlihatkan pula bahwa Nagaradhipa kaya akan kayu jenis tersebut. Hasil bumi diangkut melalui sungai dan anak sungai yang banyak mengalir di Kalimantan Selatan (Banua Hujung Tanah).
Mengenai tanaman lada, raja memperingatkan rakyatnya, agar tidak menanam lada untuk perdagangan, sebab di tempat tumbuhnya lada akan terdapat kekurangan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan seperti lada tidak akan tumbuh subur di daerah yang berhawa panas. Jika pun orang ingin menanam lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri. Pelabuhan yang menjadi kekuatan ekonomi Nagaradhipa adalah Bandar Muara Rampiau.

Kepercayaan
Secara umum, agama apa yang dianut oleh penguasa kerajaan ini adalah Hindu. Hal ini kita saksikan melalui adanya sejumlah pendeta yang menjaga candi serta pembuatan berhala dari cendana dan perunggu, walau tak terlalu jelas arca apa yang dibuat itu, apa arca dewa-dewi dalam agama Hindu atau bukan. Adanya nama tempat Candi Laras dan Candi Agung dan juga penemuan sejumlah arca di daerah ini menunjukkan adanya kegiatan keberagamaan bercorak Hindu di wilayah Nagaradhipa.

Sementara, diperkirakan bahwa rakyat Nagaradhipa memeluk kepercayaan asli Dayak (dayak artinya “hulu sungai”, maksudnya pedalaman), yaitu Kaharingan, yang memuja arwah leluhur yang sebelumnya dikubur dalam tanah.

Wilayah Kekuasaan
Bila membaca Hikayat Banjar, maka kekuasaan kerajaan ini hampir mencakup seluruh Kalimantan. Kerajaan-kerajaan yang hidup sezaman dengannya hampir semua dapat ditundukkan oleh Nagaradhipa. Disebutkan, bahwa wilayah Kotawaringin di Kalimantan Tengah dan Sukadana (Tanjung Pura) di Kalimantan Barat ditaklukkan oleh Nagaradhipa pada masa Suryanata. Begitu pula Kerajaan Paser (Sadurangas) yang masih terletak di Kalimantan Selatan, tepatnya di Balikpapan, dan Kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, berhasil ditaklukkan oleh Suryanata. Semua daerah taklukan itu disebut “tanah yang di atas angin” oleh Hikayat Banjar dan mereka diwajibkan menyerahkan upeti kepada Nagaradhipa. Orang-orang di wilayah Karasikan (sebutan untuk Kerajaan Tidung/Kerajaan Tarakan di Kalimantan Timur oleh orang Banjar), Berau (di Kalimantan Timur), Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Lawai, Takisung, Tambangan Laut, Kitap, Asam-asam, Laut Pulau, dan Pamukan pun takluk kepada Maharaja Suryanata dan setiap “musim barat” orang-orang dari wilayah-wilayah tersebut diwajibkan mendatangi Maharaja Suryanata untuk mempersembahkan upeti.

Berikut cuplikan Hikayat Banjar mengenai wilayah-wilayah yang tunduk kepada Maharaja Suryanata atas peran Mangkubumi Lambung Mangkurat:

Hatta berapa lamanya maka raja perempuan (Putri Junjung Buih) itu hamil pula. Sudah genap bulannya genap harinya maka beranak laki-laki pula. Maka tahta kerajaan, beranak itu seperti demikian jua, dinamai Raden Suryawangsa. Kemudian daripada itu, Raden Suryaganggawangsa itu sudah taruna, Raden Suryawangsa itu baharu kepinggahan (tumbuh gigi) itu, maka seperti raja Sukadana, seperti raja Sambas, seperti orang besar-besar Batang Lawai, seperti orang besar di Kota Waringin, seperti raja Pasir, seperti Kutai, seperti Karasikan, seperti orang besar di Berau, sekaliannya itu sama takluk pada Maharaja Suryanata di Negara-Dipa itu. Majapahit pun, sungguh negeri besar serta menaklukkan segala negeri jua itu, adalah raja Majapahit itu takut pada Maharaja Suryanata itu. Karena bukannya raja seperti raja negeri lain-lain itu asalnya kedua laki-isteri itu maka raja Majapahit hebat itu; lagi pula Lambu Mangkurat itu yang ditakutinya oleh raja Majapahit dan segala menteri Majapahit itu sama hebatnya pada Lambu Mangkurat itu. Maka banyak tiada tersebutkan.

Kita belum bisa memercayai sepenuhnya atas apa yang tertera dalam Hikayat Banjar dalam hal wilayah-wilayah vasal Nagaradhipa. Seperti diketahui bahwa hikayat ini dibuat pada masa Kerajaan Banjar, yang merupakan “lanjutan” dari Nagaradhipa, dan berdiri pada 1520. Bisa saja penulis hikayat ini terlalu mengagungkan kehebatan Nagaradhipa atas perintah raja Banjar untuk mengklaim hegemonitas di wilayah Kalimantan. Namun, terlepas dari keraguan itu, kita patut bersyukur bahwa Hikayat Banjar ada dan dapat dijadikan sumber historiografi dalam menelisik perkembangan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

Kepustakaan
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra.
Poesponegoro, M.D. dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Tanah, Banua Hujung. 2009. “Banua Hujung Tanah (Nagara Dipa)”. [online] http://banuahujungtanah.wordpress.com/2009/11/07/banua-hujung-tanah-nagara-dipa/ 31 Juli 2010.
“Hikayat Banjar”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Hikayat_Banjar. 29 Juli 2010.
“Kerajaan Kuripan”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kuripan. 29 Juli 2010.
“Kerajaan Negara Daha”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Daha. 2 Agustus 2010.
“Kerajaan Negara Dipa”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Dipa. 29 Juli 2010.
“Puteri Junjung Buih”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Puteri_Junjung_Buih. 2 Agustus 2010.
“Raden Sekar Sungsang”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Sekar_Sungsang. 2 Agustus 2010.

Chen Zuyi, Perompak Selat Malaka Abad ke-15

Chen Zuyi, Perompak Selat Malaka Abad ke-15
Tim Wacana Nusantara
7 July 2010

Chen Zuyi atau Chen Tsu I, merupakan seorang bajak laut alias lanun yang malang melintang di sekitar Selat Malaka, salah satu jalu sutra perdagangan yang ramai antara Semenanjung Malaka dengan Sumatra, pada awal abad ke-15. Pria yang berasal dari Kanton, Cina, ini bermarkas di Palembang, kota pantai di selatan Pulau Sumatra, tepat di bibir Selat Malaka. Chen Zuyi mungkin memilih Palembang sebagai basisnya karena di kota-air itu banyak terdapat komunitas Cina. Chen melihat peluang akan keberhasilannya sebagai perompak karena saat itu Kerajaan Sriwijaya telah melemah kekuatan lautnya. Muljana menyebut Kukang sebagai markas Chen Zuyi.

Tak diketahui pasti kapan Chen Zuyi lahir. Yang jelas, dilihat dari namanya, ia berasal dari marga Chen. Tak diketahui pasti pula sejak tahun berapa Chen Zuyi mulai melakukan perompakan di Selat Malaka dan tidak ada kepastian pula apakah ia dan anak-anak buahnya hanya beredar di sekitar selat itu. Namun, kita dapat memahami alasan Chen Zuyi memilih Selat Malaka sebagai ajang melancarkan kegiatannya: Selat Malaka merupakan jalur yang pasti dilalui oleh para pelaut dan pedagang dari India ke Cina maupun arah sebaliknya. Chen Zuyi menghadang hampir setiap konvoi kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka, termasuk menghadang kapal-kapal dari armada Cheng Ho (Zheng He).

Pada 1407, armada Cheng Ho tiba di sekitar Selat Malaka dan mengetahui iringan-iringan kapalnya dicegat oleh kapal-kapal Chen Zuyi yang dipersenjatai lengkap. Cheng Ho merupakan laksamana armada yang dikirim Kaisar Yongle dari Dinasti Ming untuk melakukan persahabatan dengan Negara-negara lain, dari mulai jawa hingga Afrika. Cheng Ho, yang aslinya bernama Ma He dan berasal dari Yunan di Mongol, mengawali perjalanannya dari Nanjing (sekarang Peking) pada Juli 1405. Armadanya tiba di Pulau Jawa untuk menemui raja Majapahit, lantas meneruskan perjalanan menuju Palembang, untuk kemudian menuju pelabuhan Malaka.

Begitu mengetahui armadanya dihadang Chen Zuyi yang terkenal keganasannya, Cheng Ho menyeru agar Chen Zuyi menyerahkan diri. Rupanya Cheng Ho telah mengetahui keberadaan Chen Zuyi yang sangat meresahkan kerajaan-kerajaan yang pedagangnya selalu dirampok oleh kelompok lanun Chen Zuyi. Melihat kemegahan kapal-kapak Cheng Ho, Chen Zuyi menyetujui seruan laksamana itu. Namun diam-diam Chen merencanakan serangan mendadak. Melalui informan handal, Cheng Ho mengetahui maksud licik Chen Zuyi, dan terjadilah pertempuran laut yang sengit. Sebanyak 5.000 bajak laut anak buah Chen Zuyi mati, armada Chen Zuyi hancur berantakan. Chen lantas ditangkap terus ditawan. Ia dibawa ke Nanjing oleh Cheng Ho, lalu dihukum gantung di di hadapan masyarakat Nanjing.

Sementara itu, Rinto Jiang dalam artikelnya menulis bahwa Cheng Ho menangkap Chen Zuyi saat kembali dari ekspedisi pertamanya. Memang ketika ekspedisi pertamanya, dari Jawa hendak ke Afrika, armada Cheng Ho melewati Selat Malaka dan terjadi kontak. Pada kontak pertama ini, Chen Zuyi tidak menyerang Cheng Ho, maka dari itu Cheng Ho tak menangkapnya. Barulah sepulang dari Guli dan singgah di Kukang (Palembang), Cheng Ho benar-benar menghadapi Chen Zuyi. Ini ditambah oleh keterangan dari Si Cin Kheng bahwa aktivitas Chen Zuyi sudah tak bisa ditolelir dan sangat membahayakan pelabuhan-pelabuhan sekitar. Chen Zuyi, begitu Jiang menulis, bila tak dibereskan oleh Cheng Ho pun, cepat atau lambat pasti akan ditanngani oleh balatentara Majapahit, karena setelah Chen Zuyi dibawa Cheng Ho tentara Majapahit menggempur Palembang. Atas pertimbangan politik itulah Cheng Ho tak lagi menginjakkan kaki di perairan Palembang karena tengah bergolak konflik antar Majapahit-Sriwijaya.

Kepustakaan
National Geographic Indonesia, edisi Juli 2005.
Jiang, Rinto. “Chen Zuyi dan Peringatan kepada Orang Hokkian: Apa Korelasinya?” diunggah pada 3 Oktober 2005, diunduh pada 7 Juli 2010 [tersedia online] http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg04009.html

HISTORIOGAFI

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HISTORIOGRAFI
Historiografi sering disebut sebagai rekongstruksi yang imaginative, Kemungkinan melalui masa lampau sebagai pengertian yang untuk mengerti dan memunculkan kembali. Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M. Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah.
Contoh Historiografi tradisional: Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
Historiografi tradisional , penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah . historiografi tradisional di dominasi oleh lingkungan keraton . para raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya .
Karya-karya yang termasuk dalam historiografi tradisional adalah babad dan hikayat. Hikayat dan babad pada dasarnya sama, tapi memiliki perbedaan dalam penyebutannya. Hikayat lebih dikenal di Melayu, sedangkan babad dikenal di Mataram.
Hikayat merupakan kesusastraan Melayu yang keseluruhan ceritanya didominasi oleh karya-karya yang berilhamkan Islam. Hikayat sebagaian besar berbahasa Melayu yang berbentuk prosa, walaupun diantara karya-karya itu ada yang berbentuk sajak. Hikayat memiliki dua bentuk penulisan yaitu, syair dan pantun. Kedua menggunakan empat baris kata, tetapi polanya berbeda (a-b-a-b dalam pantun, a-a-a-a dalam sajak). Perbedaan pokok di antara keduanya yaitu bahwa pantun menggunakan istilah eksplisit pada bait pertama dan kedua, untuk maksud dari penulisnya disampaikan pada bait ketiga dan keempat. Berbeda dengan sajak yang keseluruhan bait merupakan maksud dari penulisnya. Syair disajikan dalam bentuk yang panjang, dan memiliki banyak persoalan.
Di antara karya kesusastraan Jawa yang penting adalah babad. Babad merupakan kronik-kronik yang panjang dan terperinci yang ditulis dalam sajak yang sangat panjang dan terperinci yang diketemukan dalam bahasa Jawa baru dan tidak diketemukan dalam bahasa Jawa Kuno. Babad banyak menceritakan tentang sejarah kerajaan-kerajaan, pahlawan-pahlawan, atau kejadian-kejadian tertentu.

2.2 CIRI-CIRI HISTORIOGRAFI
Ciri-ciri historiografi antara lain:
1. penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa . menyangkut raja dan kehidupan istana.
2. memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan sesuai permintaan raja.
3. bersifat melegitimasi ( mensahkan ) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis ( tidak cocok dengan kenyataan ).
4. kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi ( silsilah ) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detail-detail biografis.
5. pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas.
6. sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
7. dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
8. cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menunjukkan kekayaan dan kekuasaan raja.
Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran sejarah, historiografi tradisional di dominasi oleh lingkungan kerajaan, para raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Historiografi tradisional bersifat etnosentris ( kedaerahan ), istanasentris (lingkungan kerajaan) dan magis religius ( dilandasi unsur magis dan kepercayaan ). Oleh sebab itu hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik dan lain-lain.
Historiografi bercerita dalam batasan atau kisaran istanasentris, tetapi keadaan sosial masyarakat tidak pernah disinggung dalam penulisannya. Masyarakat pada masa penulisan tersebut hanya sebatas menjadi milik raja atau hanya sebatas bagian dari raja, jika penulisan tersebut bersifat sejarah, hanya sebatas pada penulisan sejarah politik, dan dalam penulisan hal itu yang penting adalah terdapat adanya mitos dan peristiwa yang bercampuraduk antara fiktif dan faktual.
Sebagian besar historiografi tradisional tidak memuat tindakan-tindakan manusia melainkan tindakan-tindakan para dewa, jadi merupakan teogoni dan kosmogoni yang menerangkan kekuatan-kekuatan alan dan mempersonifikasikan sebagai dewa. Historiografi tradisional mempunyai fungsi sosial-psikologis untuk memberi masyarakat suatu kohesi, antara lain dengan memperkuat kedudukan dinasti yang menjadi puast kekuatannya.
Tokoh yang berperan dalam penulisan historiografi tradisional Indonesia adalah para pujangga kerajaan. Karena karya-karya yang masuk dalam kategori historiografi tradisional Indonesia merupakan karya-karya yang banyak dibuat pada zaman kerajaan. Pujangga memiliki peranan penting dalam hal ini, mereka menulis sebuah peristiwa. Mereka dapat dikatakan sebagai sejarawan awal Indonesia, walaupun dlam tulisannya banyak kejadian yang ditulis dalam konteks fiktif dan faktual. Dalam hal ini pujangga memiliki maksud politik untuk memperkuat kedudukan sang raja.

2.3 Corak Historiografi Tradisional
1. Mitos
Bentuk ini pada dasarnya merupakan suatu proses internalisasi dari pengalaman spiritual manusia tentang kenyataan lalu di ungkapkan melalui kisah sejarah
2. Genealogis
Bentuk ini merupakan gambaran mengenai pertautan antara individu dengan yang lain atau suatu generasi dengan generasi berikutnya. Sil silah sangat penting untuk melegitimasikan kedudukan mereka.
3. Kronik.
Dalam penulisan ini sudah ada penulisan kesadaran tentang waktu, Namun demikian juga masih di lingkungan kepercayaan yang bersifat kosmosmagis
4. Annals.
Sebenarnya bentuk ini merupakan cabang dari kronik hanya saja bentuk annals ini sudah lebih maju dan lebih jelas, Sudah berusaha membeberkan kisah dalam uraian waktu.
5.Logis
Kisah yang di ungkapkan mengamdungh mitos, legenda, dongeng, asal usul suatu bangsa, kisah disini merupakan merupakan kisah yang merupakan suatu pembenaran berdasar emosi dan kepercayaan.
6. Supranatural
Dalam hal ini kekuatan kekuatan gaib yang tidak bias diterima dengan akal sehat sering terdapat di dalamnya.
7. Moral tradition
Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.
8. Anakronistik
Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnya penggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll.
9. Etnosentris
Penulisan selalu bersifat kedaerahan, Hanya terpaut pada suku bangsa tertentu. Dan sangat berpusat pada kedaerahan.

2.4 HISTORIOGRAFI TRADISIONAL KUNO

Pada Historiografi kuno cirinya:
a. adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha yang tersimpul pada bidang kehidupan kebudayaan, agama dan politik ketatanegaraan, contohnya : Mahabarata, Pararaton, Negarakertagama, Babad Lombok. Dalam Babad Lombok Dalam babad Lombok termasuk dalam Historiografi Tradisional Kuno karena pada Babad Lombok dimulai dari awal Agama rakyat pada waktu itu yaitu agama Wratsari ajaran Pendeta Gurendrah dari Keling India sehingga pada waktu itu belum mengenal agamanya Islam.
b. Masyarakat hidup dalam situasi sakral magis. Kegiatan masyarakt berupa kegiatan kebaktian terhadap raja yang berkuasa, upacara ritual, pemujaan rih nenek moyang dan raja yang telah meninggal.
c. Kenangan masa lampau yang digoreskan pada prasasti, naskah bersifat resmi.
d. Agama Hindu dan Budha mengajarkan bahwa alam gaib terletak pada alam dewa-dewo, percaya pada paham reinkarnasi, paham ini diterapkan pada alam nurani kesaktian terhadap Sang Hyang Agung yaitu dewa-dewa.
e. Raja sebagai pusat negara haruslah bukan manusia biasa, tetapi dia adalah anak atau bahkan jelmaan dari dewa.
f. Penulisanya buan sejarawan tetapi empu yang bertindak sebagai pendeta, penasehat raja dalam hal kemasyarakatan maupun dalam hal rohani.
g. Tujuan penulisannya adalah meninggikan para Resi, Raja, penyebaran dan pengukuhan pengaruh Hindu.
h. Dijiwai oleh semangatalam nurani kesaktian sesuai dengan pandangan masyrakat pada waktu itu. Sifat historigrafinya siklis.
Dalam histroriografi Tradisional agama Hindu Budha berpengaruh besar terhadap cara berfikir dan cara merasa orang-orang Indonesia. Hal ini terpencar pada karya sastra: Mahabaraa, Ramayana,Weda, Purana dsb. Selain itu penganut Budhisme juga membawa kitab-kitab berisi ajaran agama Budha: Pitaka, Yataka, Dharma dan sebagainya. Selain sebagai hasil sastra, ktab-kitab tersebut adalah kitab keagamaan.
Pada fase permulaan, kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu mencontoh struktur birokrasi kerjaan di India. Misalnya: Raja merupakan pusat masyarakt dan negara; gelarnya: Sri Maharaja, Sri Bathara atau Bathara Prabu yang dianggap inkranasi Dewa. Ia dikelilingi oleh pejabat-pejabat tinggi kerajaan, pendeta dan empu ahlisastra dan senjata. Kadang-kadang pendeta berkedudukan di atas tingkat kedudukan raja, dan mereka sebagai penasehat raja.
Masyarakat hidup dalam situasi sakral magis. Kegiatan masyarakat berupa kegiatan kebaktian terhadap raja yang berkuasa, upacara ritual, pemujaan roh nenek moyang dan raja yang telah meninggal. Agama Hindu dan Budha mengajarkan bahwa alam gain terletak pada alam dewa-dewi, percaya pada paham reinkarnasi, Paham ini diterapkan pada alam nurani kesaktian terhadap Sang Hyang Agung. Raja sebagai pusat negara bahkan jelmaan dari Dewa. Kenyataan ini terbukti pada gelar raja-raja Hindu di Indonesia missal: Ken Arok bergelar Amurwabhumi jelmaan dari Dewa Siwa (dalam kitan Lubdhaka); kertanegara dan raja-raja Mahapahit sebagai jelmaan para dewa. Kesadaran sejarah dipengaruhi oleh pandangan dunia sacral magis.
Dalam historiografi kuno, theogoni, dan kosmogoni yang menerangkan kekuatan alam dipersonifikasikan dengan Dewa-dewi, dan dewa dijelaskan pada diri Raja. Raja adalah pusat alam dan dunia.
Penulis historiografi tradisional kuno bukan sejarawan tetapi empu yang bertindaka sebagai pendeta. Tugas dualistic ini dilakukan dengan sebaiknya-baiknya. Mereka tidak perlu mencari pedoman lain, cukup berpedoman pada karya-karya sastra orang India (terutama Mahabarata dan Ramayana yang di dalamnya terkandung inkarnasi), anggaplah ini merupakan peniruan atau penyalinan.
Para empu menulis bukan untuk sejarah, tetapi untuk tujuan tertentu misalnya meninggikan para Resi, Raja, penyebaran dan pengukuhan pengaruh Hindu. Pandangan dunia adalah makrokosmos dan mikrokosmos dan hubungan antara keduanya. keduanya mempunyai unsur sama yaitu bumi, air, api, angin dan suasana. Penulis memberi pengaruh faha,-faham kepercayaan melalui tokoh-tokoh cerita tentang: bagaimana sifat-sifata raja yang baik, tentang kepahlawanan, pendidikan, emntal, agama. Maka dalam penulisannya sering disebut-disebut tokoh Dewa-dewa yang dianggap pelindung umat manusia. Inilah isis kebudayaan pada masa itu.
Pada akhir periode jaman ini munculah kitab Negrakertagama dan Pararaton. Meskipun Prapanca tidak bermaksud untuk menulis sejarah namun buku Negarakertagama menunjukan bentuk Naturalisme yang sangat bagus. Prapanca sebagai seorang pegawai kraton, pandangannya telah jauh melampaui batas bidang politik dan mencakup berbagai aspek masyarakat dan kebudayaan Majapahit pada masa itu.

2.5 HISTORIOGRAFI TRADISIONAL TENGAH
Pada Historiografi Tengah cirinya:
a. Sudah terlihat ada pengaruh Islam akan tetapi pengaruh agama Hindu masih terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat di dalam Babad Selaparang.
b. Perilaku manusia atau cerita tokoh-tokoh dalam lingkup istana
c. Cerita yang disusun atas kehendak yang berkuasa, contohnya: kalau selingkuh tidak akan dikatakan atau di tulis selingkuh.
d. Pujangga wajib melanjutkan misi penguasa maka dalam penulisannya bukan apa adanya tetapi apa yang sebaiknya atau seharusnya.
e. Global maksudnya cerita merupakan satu kesatuan belum ada periodesasinya karena merasa tidak emerlukan karena kekuasaannya merupakan kekuasaan yang kongkret pribadi.
f. Penulis kebanykan memadukan tradisi asli dengan metodologi Hindu.

Pada Historiografi Tradisional Tengah mereka mengenal kebudayan baru yaitu Islam namun pengaruh Hinduh-Budha masih terlihat jelas. Budaya ini menyadarkan umat manusai terhadap dunia. kesadaran kan kejadian-kejadian mala lampau yang menyadarkan bahwa raja adalah manusia biasa, bukan penjelmaan Dewa. Penulis sejarah tidak lagi mengikuti jejak Empu Sedah, empu Kanwa maupun empu Panuluh yang lebih memprogandakan agamanya.
Mereka mulai berusaha untuk mempersatukan antara mitologi Hindu dengan tradisi asli. Ini nampak pada kidung Panji dan kidung Pararataon. Fakta-fakta sejarah mulai diselipkan ke dalam cerita. Historiografi tidak lagi bersifat bulat, kosmogoni semata, tetapi mengandung usnur kronologis tentang fakta-fakta. Kidung adalah bentuk roman sejarah asli ciptaan Jawa. Ia lahir berdasarkan rangkaian sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Praraton dan Negarakertagama. Pararaton yang ada sekarang bentuk prosa digubah bersarkan kidung Praraton yang naskah aslinya lebih tua. Histroigrafi ini benar-benar berdasarkan persitiwa dan fakta sejarah. Penulis ceritera kurang menekankan kekuasaan dewa-dewi, inkranasi tetapi manusia itu sendiri yang harus menguasai alam.
Kidung biasanya berisi biografi tokoh-tokoh terkenal dalam sejarah. Contoh kidung Ronggolawe, kidung Sorandaka, Harsawijaya, Dipenogoro, Sora, Nambi, Hayam Wuruk, Gajah Mada. Mereka melukiskan dan menceriterakan persitiwa-peristiwa sejarah jaman Majapahit. Disinliah terlihat sekularisasi di dalam ceritera-ceritera sejarah,
Kesadaran sejarah mereka menghasilkan historiografi yang tidak lagi bersifat kosmogoni, mitologis yang mereka anggap sebagai penyelamat dari penindasan golongan kerajaan. Dengan demikian kidung berisfat ethosentrisme. Propaganda agama diganti dengan kenyataan dan semangat menguasai alam sekitar dan jiwa kepahlawanan. Historigrafinya bersifat naratif konspual berdasarkan fakta-fakta sejarah. Tulisan atau kenangan tertulis tidak bersifat resmi, untuk memberikan pengertian kepada masyarakat akan norma-norma kebaikan dan kepahlawanan.
Historiograi tradisional tengah tumbuh di luar kraton, bersifat non-ofisial (tidak resmi) yang mula-mula berupa foklore (cerita rakyat).

2.6 HISTORIOGRAFI TRADISIONAL BARU

Pada Historiografi Baru cirinya:
a. Pada historiografi tradisional baru sudah menganut agama Islam terlihat dalam isi Lontarak Luwu sudah ada penjelasan mengenai nilai-nilai Islam yang harus dilestarikan dan dilaksanakan oleh para keturunan (anak cucu) mereka.
b. Dalam historiografi tradisional baru raja digambarkan mendapat wahyu contohnya Hayam Wuruk.
c. Adanya kronologi yang jelas.
d. Unsur etnosentrisme, historiografi berpusat pada bangsa Jawa, bangsa di luar Jawa tidak diceriterakan mereka dianggap bangsa barbar (bangsa sebarang). Semua persitiwa berkisar sekitar kerajaan, peristiwa di luar kerajaan jarang disinggung.
Proses akluturasi kebudayaan antara Hinduisme, Islamisme dan Asli menjadi matang pada jaman Mataram Islam. Unsur-unsur historiografi kuno setelah mengalami pematangan pada jaman tengah, muncul kembali pada historiografi tradisional baru, hanya dalam bentuk baru: gaya Islam Jawa. Ketika periode mencapai keseimbangan pertumbuhan kebudayaan, masyarakat mengangan-angankan kembali kosmomistis. Sehingga penggerak sejarah dilihatnya sebagai mitologis akan menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu itu terjadi. Semua tulisan akan mengandung unsur-unsur mitologi, kronologi. Ini terbukti pada kitab babad, kronik dan silsilah.
Unsur kronologis terdapat pada Babad Tanah Jawi dan Serat Jangka yang menunjukan urustan kerajaan dan periode berdirinya kerajaan-kerajaan itu. Oleh karena itu kronologi tidak membicarakan sebab musabab, maka tidak ada ceritera yang bersambung. Tetapi dengan adanya kronologi disusun berdasarkan pembagian jaman atas dinasti-dinasti dan makin lama makin jelas.
Unsur metologis yang semula sangat kuat, makin lama makin mengendur dan dibaurkan ke dalam peristiwa sejarah. Agama Islam tidak mengenal adanya kekuataan alam yang dipersonifikasikan dengan Dewa/Dewi, tetapi Islam mengenal Wahyu. Unsur Dewa diganti dengan Wahyu. Untuk memperkuat kedudukan raja tidak dihubungkan dengan dewa tetapi dengan Wahyu, Pulung, Ndaru, Cahyanurbuwat. Seorang raja yang tidak diketahui asal usulnya dengan jelas, dapat menjadi raja karena mendapat wahyu. Misalnya: sutawijaya, Jaka Tingkir dan Raden Mas Said. Di sini terkandung unsur hukum fatalistis, ketentuan akan nasib (Takdir) atau Pepesthening Hyang Widhi. Kepastian atau keharusan terjadinya sesuatu peristiwa ditentukan oleh takdir: sebagai raja sebagai hamba, sebagai rakyat.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M.
Pada historiografi tradisional kuno adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha yang tersimpul pada bidang kehidupan kebudayaan, agama dan politik ketatanegaraan, contohnya : Mahabarata, Pararaton, Negarakertagama, Babad Lombok. Dalam Babad Lombok Dalam babad Lombok termasuk dalam Historiografi Tradisional Kuno karena pada Babad Lombok dimulai dari awal Agama rakyat pada waktu itu yaitu agama Wratsari ajaran Pendeta Gurendrah dari Keling India sehingga pada waktu itu belum mengenal agamanya Islam.
Dan pada historigrafi tradsional tengah Sudah terlihat ada pengaruh Islam akan tetapi pengaruh agama Hindu masih terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat di dalam Babad Selaparang.
Sedangkan pada historiografi tradisional baru sudah menganut agama Islam terlihat dalam isi Lontarak Luwu sudah ada penjelasan mengenai nilai-nilai Islam yang harus dilestarikan dan dilaksanakan oleh para keturunan (anak cucu) mereka


DAFTAR PUSTAKA

Anggar Kaswati.1998.Metodelogi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta : Beta Offset.
Kartodirjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Histografi suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Sartono Kartodirdjo. 1968. Jurnal Lembaran Sejarah: Beberapa Vasal dari Historiografi Indonesia. Jogjakarta : Kanisius.
Soedjatmiko, dkk. 1995. Histiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/historiografi

http://sejarawan.wordpress.com/2007/12/06/memahami-historiografi-tradisional/

Ditulis dalam HISOTORIOGRAFI

Tradisi Sejarah Pada Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan

I. Tradisi Sejarah Pada Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan
Cara Masyarakat Yang Belum Mengenal Tulisan Mewariskan Masa Lalunya.
Kemampuan manusia dalam berbicara menggunakian bahasa lisan dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk merekam dan mewariskan pengalaman masalalunya. Dengan potensi adalah tradisi lisanlah mereka merekam dan mewariskan masa lalunya.

Tradisi lisan dapat di artikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat yang direkam dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Dalam tradisi lisan terkandung kejadian – kejadian sejarah, adat istiadat, cerita, dongeng, pribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan.

Dalam tradisi lisan, peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai jejak – jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian dari sebuah folklore.

Cara Masyarakat yang Belum Mengenal Tulisan Mengembangkan Tradisi Sejarah
Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan yang dimaksud dengan tradisi sejarah adalah dalam bentuk mempertahankan adapt istiadat, petuah leluhur dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Cara mereka mengembangkan tradisi sejarah adalah dengan mewariskannya secara lisan melelui ingatan kolektif anggota masyarakatnya.
Cara lain adalah dalam bentuk dibuatnya sebuah karya seperti lukisan, monumen, tugu,dan peralatan hidup. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari pengembangan tradisi sejarah untuk diwariskan kepada generasi berikutnya yang melihat karya itu. contohnya dalam bentuk lukisan di dinding gua, tugu, dan monumen yang berhubungan dengan kepercayaan animisme, perkakas yang terbuat dari batu maupun logam dan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang.

Jejak Sejarah Dalam Foklore (Mitos, Legenda, Dongeng, Lagu Rakyat dan Upacara Adat).
Folklore diartikan sebagai sekelompok orang (komunitas) yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut, warna kulit), sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Ciri-ciri folklore adalah sebagai berikut: penyebaran dan pewarisannya lebih banyak secara lisan, bersifat tradisional, bersifat anonym (pembuatannya tidak diketahui), kolektif (menjadi milik bersama dari sebuah kelompok masyarakat ), mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.

Menurut Harold Brunvan (USA), folklore terbagi kedalam tiga tipe yang meliputi :

1. folklore lisan merupakan fata mental (mentifact) diantaranya : logat bahyasa (dialek)
dan bahasa tabu, ungkapan tradisional dalam bentuk pribahasa dan sindiran, puisi
rakyat yang meliputi mitos legenda, dongeng .

2. folklore sebagai lisan merupakan fakta social (sosiofact) diantaranya dalam bentuk
kepercayaan dan takhayul, permainan rakyat, tarian rakyat, teater rakyat, dan upacara
tradisional.

3. folklore bukan lisan merupakan artefak (artifact), diantaranya dalam bentuk : arsitektur
bangunan rumah adat (tradisional), seni kerajinan tradisional, pakaian tradisional,
obat-obatan tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional, makanan
tradisional.

Mitos
Dalam prosa rakyat dikenal dengan yang namanya mitos, legenda dan dongeng . mitos adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh masyarakatnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang dewa, penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan awal. Beberapa contoh mitos adalah : Leak di Bali, Rorokidul di Jawa, Dewi Sri (dewi padi), dll.

Legenda
Legenda biasanya diartikan cerita rakyat yang berisi tentang terbentuknya (terjadinya ) suatu wilayah. Menurut Halrod Brunvand ada 4 macam :

1. legenda keagamaan berisi tentang cerita orang-orang yang dianggap suci atau saleh
dengan tambahan segala macam keajaiban, kesaktian dan benda-benda keramat,
contoh : Wali Sanga, Sunan Kali Jaga, Syekh Siti Jenar, dll.
2. legenda alam gaib adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan dan
takhayul yang berhubungan dengan keghaiban. Biasanya menceritakan tentang
hantu, genderewo, sundel bolong atau mahluk jadi-jadian. Contohnya cerita Si Manis
Jembatan Ancol (Betawi), Kisah Harimau menjelma Raja Siliwangi (Sunda), kisah
orang Bunian (Sumatera), kuntilanak, dll.
3. legenda lokal adalah cerita tentang asal mula terjadinya (terbentuknya) nama suatu
tempat , danau, gunung,bangunan dll. Contohnya : cerita terbentuknya Danau Toba
(Sumut) , kisah Sangkuriang (Sunda), Roro Jongrang (Jateng), terbentuknya gunung
Batok dan nama Tengger (Jawa),dll.
4. legenda perseorangan adalah cerita rakyat tentang tokoh-tokoh yang dianggap dan
diyakini oleh suatu masyarakat pernah ada. Pada umumnya mengisahkan tentang
kepahlawanan, kesaktian atau kisah cinta dari tokoh tersebut. Contohnya : kisah Si
Pitung, Nyai Dasima (Betawi), Sabai Nan Aluih, Si Pahit Lidah (Sumbar), cerita Panji
Warok Suro Menggolo (Jatim), Joko Tingkir, Roro Mendut (Jateng), Lutung Kasarung,
Mundinglaya di Kusuma (Jabar), Jayaprana dan Layon Sari (Bali).

Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang bersifat khayal, sama sekali tidak pernah terjadi dan hanya bersifat hiburan tetapi di dalamnya mengandung pesan moral, petuah dan sindiran. Dongeng dapat digolongkan ke dalam bentuk dongeng binatang, dongeng manusia dan dongeng jenaka.

Pada umumnya dongeng binatang disebut Fabel, di Jawa dan Bali dinamakan Tantri . di Indonesia tokoh binatang yang paling terkenal adalah kancil yang digambarkan sebagai binatang yang cerdik dan banyak akal. Selain itu adalah tokoh kera, kura-kura, buaya, harimau, keong, kerbau, anjing, kucing, tikus, dll.

Dongeng manusia biasanya menceritakan tokoh manusia dengan segala macam kisah suka dukanya. Di beberapa daerah dongeng manusia kadang-kadang bertema sama yang membedakan hanya nama dan lokasinya saja. Dongeng dengan tema seorang pemuda mencuri pakaian bidadari yang sedang mandi adalah Jaka Tarup (Jatim). Pasir Kujang (Jabar), Raja Pala (Bali). Dongeng tentang penderitaan anak gadis karena ulah saudara dan ibu tirinya adalah bawang merah bawang putih (Betawi).

Dongeng jenaka adalah dongeng yang tokohnya bersifat bodoh, lugu, pander, jenaka tapi banyak akalnya. Tokoh dongeng jenaka adalah : Si Kabayan (Sunda), Lebai Malang, Pak Belalang (Melayu).

Nyanyian (Lagu) Rakyat
Nyanyian rakyat (folksong) adalah bentuk puisi yang dinyanyikan sehingga kata syair dan lagu nada merupakan satu kesatuan. Menurut materinya lagu rakyat di bedakan atas lagu anak, lagu umum, lagu religius. Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi : lagu mengiringi tarian, lagu untuk mengiringi permainan dan lagu untuk dinyanyikan.
Lagu anak banyak pula yang digunakan untuk mengiringi tarian atau permainan, contoh : cublak-cublak suweng, cingcangkeling, pokame-ame, dll. Lagu umum ada pula yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian atau dinyanyikan biasa seperti kicir-kicir, jail-jali (Betawi) ampar pisang (Kalimantan). Lagu religius umumnya berisi pujian terhadap tuhan , dinyanyikan pada upacara yang berhubungan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, panen, dll. Ada pula yang dipakai untuk mengiringi tarian seperti tari saman dan seudati (Aceh).

Di Jawa Tengah dan Timur salah satu bentuk nyanyian rakyat dikenal dengan nama gending seperti sinom, pucung, asmarandana, dll. Sedangkan di Jawa Barat yang seperti itu dinamakan dengan pupuh.

Adat Kebiasaan
Upacara adat biasanya didasari oleh sebuah kepercayaan, upacara yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan sebuah kebaikan atau menghindarkan diri dari malapetaka dalam kehidupan masyarakat yang melakukannya. Contohnya upacara larung samudro di pantai selatan Jawa, pesta laut di pantai utara Jawa, kasodo di Tengger (Gunung Bromo), Seketan, Grebeg (Yogyakarta dan Surakarta) panjang jimat (Cirebon).

Selain yang berhubungan dengan mitos dan legenda, banyak pula upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan mulai dari masa kehamilan, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan Kematian.


II. Tradisi Sejarah pada Masyarakat yang Telah Mengenal Tulisan

1. Tradisi Sejarah Masyarakat di Indonesia

Pengaruh Tulisan dan Karya Lontar
Sejak masyarakat Indonesia mengenal tulisan (memasuki jaman sejarah ) sebenarnya tradisi sejarah pada masyarakat Indonesia telah terbentuk melalui berbagai prasasti yang ada. Perkembangannya kemudian diperluas dengan kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dan perkembangan bahasa di Indonesia. Bahkan kemudian muncul golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mengubah atau menulis berbagai karya sastra. Naskah-naskah karya sastra kuno tersebut di tulis pada daun lontar sehingga lebih dikenal dengan istilah kitab lontar.

Contoh prasasti di beberapa daerah di Indonesia: prasasti kutai berbahasa sansakerta dan tulisan palawa (dari kerajaan kutai), prasasti dari kerajaan trauma yang berbahasa sansakerta dan tulisan pallawa, prasasti dari kerajaan Sriwijaya pada umumnya memakai bahasa melayu dan tulisan sansakerta, prasasti dari Mataram kuno pada umumnya ditulis dengan huruf pallawa bahasa sansakerta tetapi telah mulai ada tulisan dan bahasa Jawa kuno.

Selain tulisan dan bahasa tradisi sejarah di Indonesia dipengaruhi pula oleh perkembangan karya sastra, contohnya kitab Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India diubah dalam bahasa jawa kuno (dari jaman mataram kuno). Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Samaradhahana karya Mpu Dharmaja, Hariwangsa, Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh (dari jaman Kediri). Kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma, Arjuna wijaya karya Mpu Tantular, Kutaramanawa karya Gajah Mada, Pararaton, Sundayana (dari jaman Majapahit).

Tradisi Sejarah dalam Lingkungan Istana
Pada umumnya tradisi sejarah di Indonesia berada dalam lingkungan keraton (istana sentries) dimana hasilnya dikenal dengansejarah tradisional (historiografi tradisional). Dalam lingkungan keraton terdapat orang yang ahli menuliskan tradisi sejarah disebut pujangga. Para pujangga menuliskan silsilah keluarga raja, kebijaksanaan raja, hukum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya biasanya para pujangga menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya, sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan penguasa sebelumnya
Contoh karya historiografi tradisional : Kitab Pararaton, Sundayana, Pustaka Wangsakerta, Carita Parahyangan, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, sejarah melayu, kronik Wajo, kronik Kutai, Negarakertagama, Sutasoma, dll.
Tradisi Sejarah Lokal

Selain tradisi sejarah dalam lingkungan istana, tradisi sejarah berkembang pula beberapa daerah, wilayah (lokal) tertentu. Sejarah lokal dapat diartikan sebagai sejarah dari kelompok masyarakat yang berbeda dalam daerah dan geografis tertentu, walaupun sebenarnya sulit untuk menentukan batas-batas geografisnya. Contoh sejarah lokal adalah buku "Pemberontakan Petani Banten 1888" karangan Hartono Kartodirdjo, sejarah Jawa Barat dll.

III, Penulisan Sejarah di Indonesia
Historiografi adalah tahap akhir dari metode penelitian sejarah, yang dituliskan dalam sejarah merupakan cara untuk mengetahui dan memahami jejak masa lampau manusia. Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia terbagi atas tiga corak yaitu : tradisional, colonial, nasional.

Ketiga historiografi tersebut tidak didasari oleh pendekatan ilmiah, tetapi hanya untuk legitimasi penguasa dan kekuasaan, bersifat politis dan berisi pembenaran terhadap identitas dan menunjukan kejayaan dari penguasa.

Historiografi Tradisional
Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah. Historiografi tradisional didominasi oleh lingkungan keraton. Para Raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Historiografi tradisional bersifat ento sentries (kedaerahan), istana sentries (lingkungan keraton) dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan), makanya hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik, dll.

Dalam historiografi tradisional tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh popular jaman dahulu bahkan dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda . hal ini di maksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan, identitas dari tokoh tersebut serta untuk mendapatkan pulung (charisma) yang diwariskan dari tokoh-tokoh sebelumnya.

Contoh dalam kitab Negarakertagama , Ken Arok (Raja Singosari pertama) dianggap sebagai anak Dewa Brahma dan titisan Dewa Wisnu, dalam babad tanah jawi disebutkan bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para nabi , tokoh wayang dalam Mahabharata, Iskandar Agung dari Macedonia, raja-raja Jawa bahkan punya hubungan dengan Nyai Roro Kidul penguasa pantai selatan.

Historiografi Kolonial
Historiografi colonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa colonial dalam melanggengkan imperialismenya di Indonesia. Kepentingan itu termasuk interpretasi mereka terhadap fakta sejarah. Contohnya: berbagai perlawanan yang terjadi pada masa kolonial seperti perang Aceh, Diponogoro, Padri, dll. Dalam pandangan historiografi kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis, pemberontakan yang harus ditumpas karena dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan menurut sejarah nasional dianggap sebagai pejuang dan pahlawan yang bertujuan mengusir kolonial.

Dalam historiografi kolonial yang bersifat neerlando sentries, VOC merupakan pemersatu, demikian juga dengan kemerdekaan Indonesia, yang menurut versi Belanda adalah 27 desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan sebagai realisasi dari KMB, sedangkan bangsa Indonesia mengakui kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945.

Historiografi Nasional
Perkembangan historiografi Indonesia (nasional) pertama kali muncul justru pada saat kondisi didominasi historiografi kolonial . momentum tersebut muncul ketika pada 1913, Husein Djayadiningrat menerbitkan buku hasil desertasinya yang berjudul tinjauan kritis sejarah banten. Buku tersebut bahkan memenuhi kriteria sebagai sejarah modern (ilmiah ) karena memuat uraian dari berbagai aspek(politik, sosial, ekonomi, dan fisiologi).

Upaya perintisan historiografi nasional (penulisan sejarah nasional) muncul kembali setelah memasuki jaman kemerdekaan. Hal itu dirasa perlu karena penulisan sejarah yang ada adalah warisan kolonial yng bersifat neerlando sentries, dimana Indonesia dilihat dari sudut pandang dan kepentingan kolonial Belanda.

Sebagai Negara yang baru merdeka mutlak di perlukan sebuah historiografi nasional sebagai identitas yang akan menunjukan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Pemerintah yang baru terbentuk juga menghendaki legitimasi kekuasaan bukan hanya dari rakyat , yang lebih penting adalah pengakuan internasional terhadap keberadaan bangsa dan Negara Indonesia yng merdeka.

Seminar sejarah nasional di Yogjakarta 1957, menjadi titik tolak kebangkitan historiografi nasional. Hal yang paling penting dari seminar tersebut adalah: pencarian identitas nasional, rekonstruksi penulisan sejarah nasional dari kolonial sentries menjadi Indonesia sentries sehingga sejarah nasional dapat menjadi alat pemersatu bangsa.



Sumber tulisan:

http://sejarahundonesiamerdeka.blogspot.com/2008/07/tradisi-sejarah-dalam-masyarakat.html