pengen tau aja

Rabu, 11 Agustus 2010

Kerajaan Nagaradhipa

Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa)
Tim Wacana Nusantara
3 August 2010

Dalam perbincangan mengenai politik-kebudayaan masa klasik atau masa Hindu-Buddha di Nusantara, rupanya Pulau Kalimantan jarang mendapatkan tempat yang layak. Tidak seperti Pulau Jawa dan Sumatra di mana profil kerajaan-kerajaannya sering ditampilkan, Kalimantan sepertinya disisihkan karena dianggap “miskin” dalam hal perbendaharaan masa-masa Hindu-Buddha, kecuali memiliki sejarah Kerajaan Kutai pada abad ke-4 dan ke-5 yang terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Setelah era Kutai tamat, tak ada informasi yang memadai akan “kelanjutan” sejarah masa Hindu-Buddha di Kalimantan. Seolah ada rantai sejarah yang putus di pulau yang luasnya 743.330 km2, pulau terluas di Indonesia.

Kerajaan Nagaradhipa (ada pula yang menulisnya Negara Dipa atau Nagara Dipa) adalah kerajaan bercorak Hindu yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan ini merupakan kerajaan pertama di Kalimantan, yang terletak di Banua Hujung Tanah. Kerajaan ini dapat dikatakan “penerus” Kerajaan Negara Daha dan “pengganti” Kerajaan Kuripan. Kerajaan Negara Daha sendiri terbentuk setelah perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai yang terletak di hulu ke Muhara Hulak di hilir. Sejak masa pemerintahan Mangkubumi Lambung Mangkurat (dalam dialek Banjar) atau Lambu Mangkurat atau Lembu Mangkurat, wilayah Kerajaan Nagaradhipa terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting. Paul Michel Munos menandai bahwa kerajaan ini berdiri pada 1387 dan berakhir pada 1495. Kerajaan Nagaradhipa dikenal sebagai penghasil intan pada masanya.

Kerajaan sebelumnya, yakni Kuripan, berpusat di Candi Laras (kini termasuk wilayah Margasari). Candi Laras berada dekat hilir Sungai Bahan, tepatnya pada suatu anak Sungai Bahan. Dari Candi Laras, pusat atau ibukota berpindah ke hulu Sungai Bahan di Candi Agung (kini termasuk wilayah Amuntai). Kepindahan ini dilakukan oleh Ampu Jatmaka. Sungai Bahan (artinya Sungai Nagara) sendiri bercabang menjadi Sungai Tabalong dan Sungai Balangan dan Sungai Pamintangan. Maka dari itu, dalam legenda dan cerita lisan Banjar (“Tutur Candi”), Kerajaan Nagaradhipa kadang disebut Kerajaan Amuntai. Wilayah Kerajaan Nagaradhipa ini meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Ampu Jatmaka, Penggagas Nagaradhipa
Sebelum lahir Kerajaan Nagaradhipa, menurut Hikayat Banjar (yang oleh J.J. Ras, ahli yang pertama menerbitkannya lengkap dengan transkripsi Latinnya, dibagi ke dalam dua resensi, Resensi I dan Resendi II), di Kalimantan Selatan telah memerintah sebuah kerajaan yang bernama Kuripan atau Kahuripan. Kerajaan Kuripan (disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II) yang terletak di sebelah hilir negeri candi Agung (Amuntai Tengah), diperintah oleh Aria Mangkubumi, seorang pedagang kaya raya, bukan keturunan raja. Setelah meninggal, Kerajaan Kahuripan diserahkan kepada Ampu Jatmaka (Poesponegoro menulisnya Ampu Jatmika), anak angkatnya yang berasal dari Keling di Jawa, karena Mangkubumi tak punya keturunan. Ampu Jatmaka mengganti nama kerajaannya sebagai Kerajaan Nagaradhipa. Perlu dicatat bahwa bab terakhir Hikayat Banjar ditulis pada 1663.

Menurut Hikayat Banjar, Ampu Jatmaka berasal dari Keling. Ia tiba di tanah Banjar bersama armada Prabayaksa, sekitar tahun 1355. Veerbek berpendapat bahwa Keling, yang termasuk kerajaan vasal dari Majapahit, terletak di barat daya Kadiri, bukan Kalingga di India,. Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia (401 dan 435), Ampu Jatmaka mendirikan Nagaradhipa pada tahun 1387 dan berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmaka menjabat sebagai mantri sakai di Nagaradhipa, bukan raja Nagaradhipa. Hal ini terjadi, seperti telah disinggung di atas, karena Ampu Jatmaka bukan keturunan bangsawan dan bukan pula keturunan raja Kuripan. Dengan begitu, Ampu Jatmaka hanya sebagai Penjabat Raja atau Pemangku Kerajaan.

Setelah menguasai negeri Candi Laras dan negeri Candi Agung, Ampu Jatmaka berhasil menguasai negeri Batung Batulis dan Baparada (Balangan)—nama Batung Tulis dan Baparada ini muncul dalam Hikayat Banjar Resensi II teks susunan A.A. Cense, ahli yang memuat dua versi hikayat ini). keempat wilayah inilah yang menjadi kekuasan awal Nagaradhipa. Lalu Ampu Jatmaka memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah melalui menaklukkan Batang Tabalong (Nagarakretagama menulisnya Tabalung), Batang Balangan, dan Batang Pitap. Ia juga memerintahkan Arya Megatsari menaklukkan Batang Alai, Batang Labuan Amas, dan Batang Amandit. Diduga, wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (sebutan abad ke-14 untuk wilayah Kalimantan - Filipina).

Diceritakan dalam Hikayat Banjar, bahwa setelah Aria Mangkubumi mangkat, Ampu Jatnika menyuruh rakyatnya membangun candi, keraton, balairung, ruang sidang, dan menara. Karena merasa bahwa dirinya bukan keturunan raja dan merasa belum berhak menjadi raja, Ampu Jatmaka memerintahkan rakyat membuat dua arca lelaki dan perempuan dari kayu cendana, lantas dua arca tersebut disimpan di candi dan segenap rakyat wajib menyembahnya dan menganggap kedua arca tersebut sebagai raja dan permaisuri Kerajaan, agar Ampu Jatmaka serta keturunannya kelak terhindar dari celaka dan marabahaya. Setelah melengkapi istana, membuat candi dan kedua arca untuk ditempatkan di dalam candi, batulah Ampu Jatmaka melengkapi aparat kerajaan dengan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan. Setiap Sabtu ia berkumpul dengan para pembesar lain untuk memperbincangkan masalah-masalah negara.

Ampu Jatmaka lantas mengangkat Aria Margatsari (Megatsari) menjadi patih kerajaan yang membawahi pula sejumlah menteri (Poesponegoro, M.D. dan Nugroho Notosusanto, 2008: 211). Dikisahkan bahwa Ampu Jatmaka ingin mengganti arca kayu cendana dengan arca dari gangsa (perunggu). Karena di negeri tak ada yang ahli dalam mengecor perunggu, ia mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Wiramartas (Poesponegoro, 2008: 246) ke negeri Cina untuk meminta ahli-ahli logam di negeri seberang itu membuat arca-arca tersebut. Wiramartas sendiri memperoleh bingkisan dari raja Cina berupa pakaian indah dan sebilah pedang Jepang. Alhasil, jadilah dua patung sebesar anak kecil dan di simpan dalam candi dan dijaga oleh 40 pendeta.

Lambung Mangkurat, Mangkubumi Nagaradhipa
Ketika Ampu Jatmaka wafat, timbul persoalan mengenai siapa yang berhak menduduki singgasana. Ampu Jatmaka pernah berpesan kepada dua putranya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat, agar takhta kerajaan harus diduduki oleh seseorang yang keturunan raja, bukan kepada putra-putranya tersebut. Lambung Mangkurat lantas bertapa di sebuah sungaiu besar. Ada pun Ampu Mandastana bertapa di Pegunungan Meratus.
Dikisahkan, ketika bertapa, Lambung Mangkurat menemukan sebuah buih besar yang di dalamnya terdengan suara seorang wanita. Suara wanita tersebut meminta Lambung Mangkurat untuk menyediakan kain sarung yang ditenun oleh 40 orang gadis dan perahu indah untuk menjemputnya. Perintah itu lantas dilaksanakan Lambung Mangkurat dengan baik. Ternyata, dari dalam buih itu keluar seorang gadis yang sangat cantik yang bernama Putri Junjung Buih (dalam Sejarah Nasional Indonesia III ditulis Putri Tunjungbuih). Mulanya Lambung Mangkurat hendak memperistri Putri Junjung Buih namun sang putri menolak karena telah ditakdirkan menikah dengan seorang pangeran keturunan Majapahit yang bernama Raden Putra, yang ternyata menderita penyakit kulit. Atas peran Lambung Mangkurat, akhirnya Putri Junjung Buih menikah dengan Raden Putra yang kini memiliki nama lain, yaitu Raden Suryanata, yang telah sembuh dari penyakit kulitnya setelah mengalahkan dua ekor naga putih ketika menyeberangi lautan untuk menuju Nagaradhipa dari Jawa. Raden Suryanata pun diangkat menjadi raja Nagaradhipa dengan Putri Junjung Buih sebagai permaisuri.

Lambung Mangkurat sendiri menjabat sebagai mangkubumi hingga akhir hayatnya. Dengan begitu, secara de jure, Raden Suryanata-lah yang menjadi raja pertama Nagaradhipa, sementara Ampu Jatmaka merupakan penggagas berdirinya kerajaan (meksi dalam Hikayat Banjar disebut dengan gelar Maharaja di Candi). Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan Suryanata-Junjung Buih inilah yang kelak menjadi raja-raja di Nagaradhipa hingga raja-raja Banjar dan Kotawaringin.

Lambung Mangkurat kemudian bergelar Ratu Kuripan. Sebagai Mangkubumi Nagaradhipa, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatan hingga Tanjung Puting, wilayah yang membentang dari Sungai Barito hingga Sungai Seruyan. Namanya kini diabadikan sebagai nama museum di Kalimantan Selatan.

Putri Junjung Buih dalam Legenda dan Sejarah
Dalam Hikayat Banjar diceritakan bahwa yang menjadi permaisuri pertama kerajaan adalah Putri Junjung Buih (buih berarti “bunga air”). Ia memiliki dua nama lain: Raden Galuh Ciptasari atau Putri Ratna Janggala Kadiri. Ia diakui oleh Lambung Mangkurat sebagai anak angkat. Ia merupakan gadis asal Kalimantan.

Dalam legenda Kalimantan Selatan diceritakan, Putri Junjung Buih sangat dicintai rakyat Nagaradhipa. Diam-diam ternyata Lambung Mangkurat memendam cinta pada sang Putri. Putri Junjung Buih sangat menyukai anak kembar dari Ampu Mandastana, yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Lambung Mangkurat, yang tak senang atas hal ini, dengan alasan membawa kedua kemenakannya, Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga, untuk mencari ikan, membawa keduanya untuk dibunuh dalam sebuah lubuk. Lubuk ini kini dikenal dengan Lubuk Badangsanak. Kedua orangtua mereka, Empu Mandastana dan istri yang mengetahui kejadian itu, kemudian bunuh diri di Candi Agung.

Selain di Nagaradhipa, keberadaan Putri Junjung Buih diakui oleh masyarakat Kalimantan Barat di mana mereka merupakan keturunannya. Dalam tradisi Kerajaan Kutai Kartanegara, Putri Junjung Buih merupakan istri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti, raja pertama Kutai Raja Kutai Kartanegara. Drg Marthin Bayer beranggapan, bahwa Puteri Junjung Buih identik dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam tradisi masyarakat Dayak. Bahkan menurut legenda suku Kedayan, Putri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (1524), yakni permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei, dipercaya berasal dari buih lautan—mirip kisah Putri Junjung Buih.

Ada yang menyamakan bahwa Junjung Buih tak lain putri dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura dalam Pararaton. Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini ini berkuasa dari tahun 1429-1464, dan merupakan putri Bhre Tumapel II (kakak dari Suhita) dari istrinya yang bermama Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura (Bhre Kalimantan) dan Bhre Pajang III Sureswari (1429-1450, adik bungsu Bhre Tanjungpura Manggalawardhani) keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III (1400-1440, ayah Sripura), namun perkawinan ini menurut Pararaton tidak memiliki keturunan. Diduga keras Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Bila mengacu kepada Prasasti Trailokyapuri, maka Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI (1464-1474), yang tak lain ibunda Ranawijaya, janda Sang Sinagara.

Raden Putra
Ada pun suami Junjung Buih, yakni Rahadyan (Raden) Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa, setelah jadi raja Nagaradhipa bergelar anumerta Maharaja Suryanata, yang berarti “perwujudan Dewa Matahari”. Ia berhasil menaklukkan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, penguasa Batang Lawai (kini Sungai Kapuas), penguasa Kotawaringin, penguasa Pasir, raja Kutai, penguasa Berau, dan raja Karasikan.

Nama Rajasa pada Suryanata kemungkinan merupakan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yang tak lain putra sulung Bhre Tumapel III III yakni Dyah Kertawijaya (1429-47), yang tertulis dalam Pararaton. Sementara itu, Dyah Wijayakumara (Bhre Kahuripan VI) memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak: Samarawijaya (Bhre Kahuripan VII), Wijayakarana (Bhre Mataram V), Wijayakusuma (Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya alias Bhre Kertabhumi (Kartapura? atau Tanjungpura?).

Menurut Hikayat Banjar Resensi II, perkawinannya dengan Junjung Buih membuahkan tiga orang putra: Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa, dan Pangeran Aria Dewangsa. Pangeran Suryawangsa memerintah di Undan Besar dan Undan Kuning, pangeran Suryaganggawangsa di Undan Kulon dan Undan Kecil, Pangeran Dewangsa di Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis, dan Baparada serta Kuripan. Setelah lama memerintah, Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putra-putranya pada 1464 (?).

Pangeran Suryaganggawangsa dan Aria Dewangsa
Menurut versi Tutur Candi (Hikayat Banjar Versi II), yang menjadi raja Nagaradhipa selanjutnya adalah Aria Dewangsa (kadang ditulis Dewangga),putra bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata. Ia menikah dengan Putri Kalungsu alias Putri Mandusari alias Putri Huripan (yang ditinggal ibunya ketika melahirkannya) yang bergelar Putri Kabu Waringin. Dinamai demikain karena setelah ibunya meninggal, putri ini minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin. Putri ini adalah anak Lambung Mangkurat dengan Dayang Diparaja. Pasangan Aria Dewangsa dan Putri Kabu Waringin memiliki putra bernama Raden Sakar Sungsang (Sekar Sungsang). Hikayat Banjar Versi I menceritakan bahwa yang menggantikan Suryanata adalah Pangeran Suryaganggawangsa, kakak Aria Dewangsa. Ia pun menikah dengan Putri Huripan. Anak gadis dari Suryaganggawangsa dengan Putri Huripan, lalu dinikahkan dengan Pangeran Suryawangsa, saudara Suryaganggawangsa dan Aria Dewangsa. Di antara dua versi ini, entah mana yang paling benar.

Raden Sakar Sungsang dan Putri Kalungsu
Hikayat Banjar Resensi (Versi) II menuturkan bahwa Raden Sakar Sungsang merupakan cucu Putri Junjung Buih sekaligus juga cucu Lambung Mangkurat. Ia disebut pula sebagai Ki Mas Lalana dalam Hikayat Banjar. Akan tetapi, menurut Hikayat Banjar Resensi I, ia adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut Versi II, Raden Sakar Sungsang (Panji Agung Rama Nata) pernah merantau ke Jawa (dan karena itu diduga sudah memeluk Islam) dan diberi nama baru oleh juragan Balaba di Surabaya: Ki Mas Lalana.
Dalam Hikayat Banjar Versi I diceritakan, Raden Sakar Sungsang berumur tujuh tahun ketika ayahnya, Raden Carang Lalean, kembali ke tempat asalnya. Ia bersama ibunya, Putri Kalungsu membuat jawadah nanuman. Suatu hari, belum lagi jawadah masak dan sedang diaduk di dalam wajan, Raden Sakar Sungsang sudah meminta jawadah itu. Ibunya mengatakan, sabar. Namun larangan ibunya tidak diindahkan Sakar Sungsang, terus merengek minta jawadah. Karena tidak sabar, dicoleknya oleh Sakar Sungsang jawadah itu dengan bilah. Sang ibu pun marah dan memukulnya dengan wancuh gangsa sehingga kepala anaknya itu terluka. Sakar Sungsang menangis lalu lari meninggalkan ibunya. Ia ditemukan oleh pelaut bernama Balaba dari Surabaya. Sakar Sungsang lalu diajak berlayar ke Jawa dan diberi nama baru, Ki Mas Lalana, karena Sakar Sungsang tak bisa mengingat kejadian sebelumnya sebagai akibat luka di kepalanya. Di Surabaya, semakin hari, semakin kaya Ki Mas Lalana. Banyak gadis tergila-gila padanya, termasuk janda, dan orang besar yang ingin menjadikannya menantu. Setelah juragan Balaba meninggal, Ki Mas Lalana pamit kepada istri juragan Balaba untuk berlayar ke Nagaradhipa.

Sementara itu, Lambu Mangkurat ingin agar Putri Kalungsu bersuami lagi. Ia memberitahukan bahwa ada orang keturunan anak cucu ratu Majapahit bernama Ki Mas Lalana yang cocok bagi calon suami Putri Kalungsu. Semula sang Putri ragu, namunsetelah saling bertemu dan suka sama suka maka dikawinkanlah Putri Kalungsu dengan Ki Mas Lalana dengan upacara perkawinan selama tujuh hari tujuh malam. Mereka tak tahu bahwa keduanya merupakan ibu dan anak (seperti kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang di Jawa Barat). Setelah tujuh hari menikah, Ki Mas Lalana minta dicarikan kutu di kepalanya. Betapa terkejutnya sang Putri melihat bekas luka di kepala Ki Mas Lalana. Bertanyalah ia mengapa ada bekas luka itu. Karena didesak terus akhirnya mengakulah Ki Mas Lalana. Putri pun terkejut. Ia menagis dan malu serta menolak kepada anaknya dari pangkuannya dan berkata: “kalau demikian, engkau itu anakku yang hilang dahulu bernama Sakar Sungsang.” Maka Sakar Sungsang pun menangis serta sujud minta ampun. Peristiwa ini disampaikan kepada Lambung Mangkurat untuk dipecahkan, namun Lambung Mangkurat menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Putri Kalungsu. Putri Kalungsu lantas bersumpah kepada Sakar Sungsang atau Ki Mas Lelana: “Hai anakku, Sakar Sungsang, sejak hari ini kita berpisah. Jika aku mati jangan engkau melihat, jika engkau mati tiada aku melihat dan kuubah namamu menjadi Raden Sari Kaburungan. Raden Sari Kaburungan kemudian menjadi raja di kampung lain dan setelah setahun ia pindah dan membuat negeri baru di hilir bernama Muhara Hulaka, sementara Putri Kalungsu berdiam di Nagaradhipa dan menjadi “ratu” Nagaradhipa. Muhara Hulak kemudian dinamakan Negara Daha. Tak lama, Putri Kalungsu dan Lambung Mangkurat pun kembali ke tempat asalnya.

Ada pun dalam Versi II dikisahkan, di Jawa Sakar Sungsang mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putra bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar. Raden Panji Sekar ini kemudian bergelar Sunan Serabut setelah menikahi putri Raja Giri Kedaton. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari, gelar Ratu Lamak, putri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja. Ratu Lamak lalu digantikan adiknya oleh Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.

Hikayat Banjar Resensi I menyebutkan, ibunda Raden Sakar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (Aria Dewangsa?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya. Sampai di sini ada data yang menarik mengenai kepulangan Carang Lalean ke Jawa, di mana jika benar ia merupakan putra Manggalawardhani maka kemungkinan besar kepulangannya ke tempat asal (Majapahit) adalah untuk membantu kakaknya, Samarawijaya, berperang melawan pamannya Raja Majapahit. Sebelum pergi ke Jawa, Maharaja Carang Lalean melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.

Keruntuhan
Raden Sakar Sungsang dinobatkan menjadi raja dan bergelar Maharaja Sari Kaburungan setelah menikahi Putri Kalungsu—yang sebenarnya ibunya sendiri namun tak disadari. Namun, yang memegang pemerintahan tetap Lambung Mangkurat, karena Sakar Sungsang tetap saja bukan merupakan anak raja. Anaknya dari Putri Kalungsu-lah yang kelak akan menjadi raja sesungguhnya di Nagaradhipa. Setelah diketahui bahwa Sakar Sungsang merupakan anak Putri Kalungsu maka Sakar Sungsang pindah dari Candi Agung (Amuntai) ke arah hilir pada pertemuan anak Sungai Bahan yaitu Muhara Hulak. Di sini ia mendirikan kerajaan baru, yakni Nagara Daha (kini bernama Kecamatan Daha Selatan). Nama Sungai Bahan kini berganti nama menjadi Sungai Negara. Kepindahan ini terjadi karena Candi Agung dianggap sudah kehilangan tuahnya. Kelak, Kerajaan Daha digantikan oleh Kerajaan Banjar yang bercorak Islam. Sementara itu, sejumlah tumenggung melarikan diri ke negeri Paser (Pasir) di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka lalu mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah perbatasan tersebut. Paul Michael Munos menulis bahwa eksistensi nagaradhipa berakhir pada 1495. Ini dapat dikaitkan dengan kepulangan Putri Kalungsu dan Lambung Mangkurat ke “daerah asalnya”, bukan atas tarikh kepindahan Maharaja Sari Kaburungan ke Muhara Hulak.

Mengenai identifikasi tokoh-tokoh Nagaradhipa di atas tadi, perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Dua naskah yang dihubungkan tersebut (Hikayat Banjar dan Pararaton) masih dirasa masih kurang memuaskan untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai tokoh-tokoh bersangkutan.

Sistem Administrasi
Pembentukan negara dan cara pemerintahan di Nagaradhipa mengikuti adat dari Kerajaan Majapahit. Pakaian dan kebiasaan pun meniru pakaian adat dan kebiasaan Jawa; raja bahkan tidak lagi menghendaki rakyatnya berpakaian secara Keling (India) atau Melayu.

Kerajaan Nagaradhipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut sakai. Sakai ini masing-masing dipimpin oleh seorang mantri sakai. Sebuah pemerintahan sakai kira-kira sejajar dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa wilayah Nagaradhipa awalnya merupakan bawahan atau sakai dari Kerajaan Kuripan.

Ada pun jabatan mangkubumi, setara dengan patih, yang dipegang oleh Lambung Mangkurat, bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum, baik di dalam atau di luar istana. Jabatan tertinggi di bawah mangkubumi adalah panganan, yang pada masa Lambung Mangkurat dipegang oleh Aria Margatsari; lalu pangiwa yang dipegang oleh Tumenggung Tatahjiwa. Baik panganan (dari kata kanan) maupun pangiwa (dari kata kiwa atau kiri) berhubungan langsung dengan administrasi istana. Di bawah jabatan panganan dan pangiwa terdapat jabatan mantri ampat yang bertugas sebagai jaksa yang diserahkan kepada patih laras, patih pasir, patih luhur, dan patih dulu. Lalu terdapat jabatan mantri bumi, yakni jabatan yang berhubungan dengan kegiatan kemasyarakatan sehari-hari yang terdiri atas sang panimba sagara, sang pangarantasmanan, sang pambalankatan, dan sang jampangsasak. Jabatan terendah setelah jabatan-jabatan di atas tadi adalah mantri ampat puluh yang masing-masing membawahi pengawai sebanyak seratus orang.

Hasil Bumi
Hikayat Banjar banyak menuturkan peristiwa yang di dalamnya disebutkan hasil-hasil bumi Nagaradhipa. Hal ini dapat kita periksa ketika rombongan Wiramartas berangkat ke Cina dengan membawa intan sepuluh, 40 mutiara, 40 pikul lilin, 1.000 kindai damar, 1.000 galung pekat, 100 gantang air madu, 10 ekor orangutan. Persembahan untuk raja Cina ini memperlihatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh Nagaradhipa, terutama hasil hutannya (hingga kini hutan Kalimantan terkenal sebagai lahan yang sangat luas). Penggunaan kayu cendana untuk bahan membuat arca memperlihatkan pula bahwa Nagaradhipa kaya akan kayu jenis tersebut. Hasil bumi diangkut melalui sungai dan anak sungai yang banyak mengalir di Kalimantan Selatan (Banua Hujung Tanah).
Mengenai tanaman lada, raja memperingatkan rakyatnya, agar tidak menanam lada untuk perdagangan, sebab di tempat tumbuhnya lada akan terdapat kekurangan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan seperti lada tidak akan tumbuh subur di daerah yang berhawa panas. Jika pun orang ingin menanam lada, hendaknya jangan lebih dari empat sampai lima rumpun, yakni sekadar cukup untuk keperluan sendiri. Pelabuhan yang menjadi kekuatan ekonomi Nagaradhipa adalah Bandar Muara Rampiau.

Kepercayaan
Secara umum, agama apa yang dianut oleh penguasa kerajaan ini adalah Hindu. Hal ini kita saksikan melalui adanya sejumlah pendeta yang menjaga candi serta pembuatan berhala dari cendana dan perunggu, walau tak terlalu jelas arca apa yang dibuat itu, apa arca dewa-dewi dalam agama Hindu atau bukan. Adanya nama tempat Candi Laras dan Candi Agung dan juga penemuan sejumlah arca di daerah ini menunjukkan adanya kegiatan keberagamaan bercorak Hindu di wilayah Nagaradhipa.

Sementara, diperkirakan bahwa rakyat Nagaradhipa memeluk kepercayaan asli Dayak (dayak artinya “hulu sungai”, maksudnya pedalaman), yaitu Kaharingan, yang memuja arwah leluhur yang sebelumnya dikubur dalam tanah.

Wilayah Kekuasaan
Bila membaca Hikayat Banjar, maka kekuasaan kerajaan ini hampir mencakup seluruh Kalimantan. Kerajaan-kerajaan yang hidup sezaman dengannya hampir semua dapat ditundukkan oleh Nagaradhipa. Disebutkan, bahwa wilayah Kotawaringin di Kalimantan Tengah dan Sukadana (Tanjung Pura) di Kalimantan Barat ditaklukkan oleh Nagaradhipa pada masa Suryanata. Begitu pula Kerajaan Paser (Sadurangas) yang masih terletak di Kalimantan Selatan, tepatnya di Balikpapan, dan Kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, berhasil ditaklukkan oleh Suryanata. Semua daerah taklukan itu disebut “tanah yang di atas angin” oleh Hikayat Banjar dan mereka diwajibkan menyerahkan upeti kepada Nagaradhipa. Orang-orang di wilayah Karasikan (sebutan untuk Kerajaan Tidung/Kerajaan Tarakan di Kalimantan Timur oleh orang Banjar), Berau (di Kalimantan Timur), Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Lawai, Takisung, Tambangan Laut, Kitap, Asam-asam, Laut Pulau, dan Pamukan pun takluk kepada Maharaja Suryanata dan setiap “musim barat” orang-orang dari wilayah-wilayah tersebut diwajibkan mendatangi Maharaja Suryanata untuk mempersembahkan upeti.

Berikut cuplikan Hikayat Banjar mengenai wilayah-wilayah yang tunduk kepada Maharaja Suryanata atas peran Mangkubumi Lambung Mangkurat:

Hatta berapa lamanya maka raja perempuan (Putri Junjung Buih) itu hamil pula. Sudah genap bulannya genap harinya maka beranak laki-laki pula. Maka tahta kerajaan, beranak itu seperti demikian jua, dinamai Raden Suryawangsa. Kemudian daripada itu, Raden Suryaganggawangsa itu sudah taruna, Raden Suryawangsa itu baharu kepinggahan (tumbuh gigi) itu, maka seperti raja Sukadana, seperti raja Sambas, seperti orang besar-besar Batang Lawai, seperti orang besar di Kota Waringin, seperti raja Pasir, seperti Kutai, seperti Karasikan, seperti orang besar di Berau, sekaliannya itu sama takluk pada Maharaja Suryanata di Negara-Dipa itu. Majapahit pun, sungguh negeri besar serta menaklukkan segala negeri jua itu, adalah raja Majapahit itu takut pada Maharaja Suryanata itu. Karena bukannya raja seperti raja negeri lain-lain itu asalnya kedua laki-isteri itu maka raja Majapahit hebat itu; lagi pula Lambu Mangkurat itu yang ditakutinya oleh raja Majapahit dan segala menteri Majapahit itu sama hebatnya pada Lambu Mangkurat itu. Maka banyak tiada tersebutkan.

Kita belum bisa memercayai sepenuhnya atas apa yang tertera dalam Hikayat Banjar dalam hal wilayah-wilayah vasal Nagaradhipa. Seperti diketahui bahwa hikayat ini dibuat pada masa Kerajaan Banjar, yang merupakan “lanjutan” dari Nagaradhipa, dan berdiri pada 1520. Bisa saja penulis hikayat ini terlalu mengagungkan kehebatan Nagaradhipa atas perintah raja Banjar untuk mengklaim hegemonitas di wilayah Kalimantan. Namun, terlepas dari keraguan itu, kita patut bersyukur bahwa Hikayat Banjar ada dan dapat dijadikan sumber historiografi dalam menelisik perkembangan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

Kepustakaan
Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra.
Poesponegoro, M.D. dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Tanah, Banua Hujung. 2009. “Banua Hujung Tanah (Nagara Dipa)”. [online] http://banuahujungtanah.wordpress.com/2009/11/07/banua-hujung-tanah-nagara-dipa/ 31 Juli 2010.
“Hikayat Banjar”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Hikayat_Banjar. 29 Juli 2010.
“Kerajaan Kuripan”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kuripan. 29 Juli 2010.
“Kerajaan Negara Daha”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Daha. 2 Agustus 2010.
“Kerajaan Negara Dipa”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Negara_Dipa. 29 Juli 2010.
“Puteri Junjung Buih”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Puteri_Junjung_Buih. 2 Agustus 2010.
“Raden Sekar Sungsang”. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Sekar_Sungsang. 2 Agustus 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar