pengen tau aja

Rabu, 11 Agustus 2010

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M

Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17 M
Suryadi
15 July 2010

Pendahuluan
Dalam studi pernaskahan Nusantara, genre surat sudah menjadi objek kajian tersendiri yang telah menarik para peneliti untuk membahas kandungan isi, iluminasi, bahasa dan aksara, mohor/cap, serta aspek historisnya. Umumnya surat-surat Melayu dari abad ke-17 yang sekarang masih tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia dianggap cukup tua, meskipun tercatat ada dua pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Ternate yang masih kecil, Bayan Sirullah, kepada Raja Portugal, John III, masing-masing bertarikh 1521 dan 1522 yang menurut C.O. Blagden [1] dan Annbel Teh Gallop [2] (1994:120, 123) adalah naskah Melayu yang tertua di dunia. [3] Kedua pucuk surat itu sekarang tersimpan di Arquivos Nacionais Torre do Tombo, Cidade Universitaria, Lisabon, Portugal.

Dalam artikel ini saya membahas sepucuk surat berusia hampir 350 tahun dari Kerajaan Buton yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden/Universiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), Belanda, dengan kode K.Ak.98 (4). [4] Surat tersebut, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu [Jawi]), sudah pernah dibicarakan oleh W.G. Shellabear kurang dari 170 tahun yang lalu bersama sejumlah naskah Melayu lainnya dari abad ke-16 dan 17 yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Inggris dan Belanda, [5] namun mungkin tak banyak diketahui di Indonesia.

Sejauh yang saya ketahui, K.Ak.98 (4) adalah surat dari Kerajaan Buton yang tertua yang masih terselamatkan sampai sekarang. Dari kodenya dapat diketahui bahwa surat itu tidak termasuk koleksi naskah-naskah Nusantara yang dihadiahkan oleh para pemilik naskah semula—seperti Van der Tuuk, C. Snouck Hurgronje, dll.—yang biasanya dalam koleksi khusus (bijzonder collecties) UB Leiden dicatat dengan kode Or (singkatan dari Orientalis). Rupanya K.Ak.98 termasuk dalam koleksi naskah-naskah milik beberapa orang kolektor yang sudah meninggal atau suatu lembaga yang statusnya dipinjamkan atau dititipkan di UB Leiden (loan-collections). Dua di antara loan collections itu adalah naskah-naskah milik De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (disingkat KNAW) yang diberi kode K.Ak.) yang ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1856 dan koleksi milik Het Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) [6] . Jelas bahwa K.Ak.98 (4) berasal dari koleksi KNAW (yang dikenali dari kata `Acad` pada naskah-naskahnya).

Menurut informasi sebuah katalog, K.Ak.98 (4) adalah:

Epistola Malaïca (2 [7] ) praetoris navalis Boetonensis, Laut, mense Oct. a. 1669 ad eumdem missa.
Excusat se, quod, bello finito, Bataviae non comparuit, quippe morte Radjae Boetoni impeditus. [8]

Terjemahannya:

Surat dalam bahasa Melayu oleh Komandan Laut [Kapitalao] Buton, Laut, bulan Oktober 1669, dikirimkan kepada orang yang sama [Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Ia [Kapitalao] sendiri mohon maaf atas ketidakhadirannya di Batavia setelah perang [antara VOC dan Gowa] berakhir karena ia dicegah untuk pergi [ke Batavia] disebabkan oleh wafatnya Raja Buton.

Rupanya ada sepucuk surat lagi dari Buton dalam bundel K.Ak.98, yaitu nomor 5, tapi hanya terjemahan Belandanya saja yang tersedia, sedangkan surat aslinya tidak ditemukan lagi. Menurut P. de Jong, K.Ak.98 (5) adalah:

Versio Belgica epistole Malaïcae a Sultano Boetoni, ao 1670 scriptae ad eumdem. Sultanus queritur de tumultu, in urbe Boeton exorto, et a Gubernatore auxilium petit. [9]

Terjemahannya:

Terjemahan bahasa Belanda atas surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Buton, ditulis pada tahun 1670 kepada orang yang sama [maksudnya: Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Sultan mengeluh tentang kerusuhan yang pecah di kota Buton [Bau-Bau] and memohon bantuan kepada Gubernur [Jenderal untuk mengatasinya].

Artikel ini tidak membahas K.Ak.98 (5) karena saya masih memerlukan waktu dan bantuan banyak pihak untuk membaca terjemahan surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Belanda abad-17 yang orang Belanda masa kini saja banyak yang tidak mampu membacanya. Dengan demikian fokus pembicaraan saya dalam artikel ini hanyalah surat yang pertama saja: K.Ak.98 (4).

Walaupun W.G. Shellabear (1898) telah menyajikan versi ketik ulang K.Ak.98 (4) dalam aksara Jawi, transliterasi Latinnya (dengan memakai sistem pelafalan menurut dielek Melayu Semenanjung Malaysia) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, saya kira tetap ada manfaatnya menyajikan kembali transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini. Saya menyajikan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam bahasa Indonesia, mengikut kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan melengkapinya dengan foto digital naskah aslinya serta pembicaraan yang lebih rinci mengenai konteks sosio-historis surat itu yang tidak dibahas secara mendalam oleh Shellabear. Lagipula, publikasi Shellabear yang sudah klasik itu, dan ditulis dalam bahasa Inggris, mungkin cukup sulit ditemukan di Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan pula bagi saya untuk memperkenalkan kembali naskah asli dan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini, dengan tujuan utama pembaca di Indonesia.

Berikut adalah transliterasi (alih aksara) K.Ak.98 (4).

Transliterasi K.Ak.98 (4)

/1/ [10] Bahwa surat ini pada menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Sahabat Kaicil Jitangkalawu [11] , Kapiten /2/ Laut Buton, menyampaikan tabe banyak2 datang kepada Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jenral Yohan /3/ Metsyaker [12] yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawih, akan memerintahkan segala pekerjaan Kompanyi /4/ serta dengan segala sahabatnya raja2 dari bawah angin. Maka dianugrahkan Allah Subhanahu wataala bertambah2 /5/ kebajikan dalam dunia dan yang diterangkan hatinya, maka kharijlah segala akal budi bicaranya /6/ yang baik dan menolong daripada orang yang kena kesukaran dan yang mengetahui daripada hati orang, /7/ maka termasyhurlah dari atas angin dan di bawah angin yang memujikan harapnya lagi budiman /8/ serta dengan bijaksanaannya dan ialah meneguhkan setianya perjanjian pada segala raja2, tiada akan /9/ berubah2 lagi demikian itu, maka dipanjangkan Allah umur dan selamat dan berkat supaya kita /10/ bersahabat, Ternate serta Buton dan Kompanyi, agar jangan bercerai-cerai selama-lamanya.

Adapun kemudian /11/ dari itu bahwa sahabat Kapiten Laut memeri maklum kepada Gurnadur Jenral tatkala disuruh oleh /12/ sahabat Raja Buton, kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada Amiral /13/ Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita, hanya maklumlah Kapiten /14/ Laut apabila kuasa Kompanyi serta dengan kuasa Allah akan menyudahi daripada pekerjaan kita hendaklah /15/ Kapiten Laut menunjukkan muka pada Heer Gurnadur Jenral juga supaya puaskan hati. Tetapi /16/ pada sekarang ini Admiral pulang ke Jakatra, hanya Tuan kami Raja Ternate lagi duduk dari Mengkasar, maka /17/ sahabat Kapiten Laut pun duduk sama2 dengan Tuan kami Raja Ternate.

Seperkara pula, ada raja /18/ Buton pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke Negeri /19/ akhirat, sebab itulah maka sahabat Kapiten Laut tiada jadi pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada /20/ Heer Gurnadur Jenral di Betawi, karena adat kami demikian itu apabila raja yang mati /21/ upama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri itu. Oleh pada pikir /22/ Sahabat Kapiten Laut baiklah kami sama2 dengan r [14] Tuan Raja Ternate duduk lagi di Mengkasar. /23/ Ampun2 seribu ampun kepada Sahabat Heer Gurnadur Jenral juga, tiada ada cendera mata /24/ pada sesuatu kepada Heer Jenral melainkan budak laki dua orang akan tanda tulus dan ikhlas /25/ juga, upamanya seperti dua biji sawi, jangan diaibkan. Karena Sahabat Kapiten Laut /26/ orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan surat ini, maka jikalau ada salah pun melainkan /27/ maaf juga kepada Heer Gurnadur Jenral. Tamat.

Tertulis dalam Benteng Parinringa yang bedekatan dengan kota Rotterdam dualapan [15] sembilan [16] likur hari dari bulan Jumadilawal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wasalam seribu dualapan puluh genap. [17]

Bahasa K.Ak.98 (4): Catatan ringkas

Ketuaan K.Ak.98 (4) dapat dikesan dari beberapa kata yang memang jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu pada masa yang lebih kemudian. Kata `Kompanyi` (maksudnya VOC, Verenigde Oost-Indische Compagnie) jelas menunjukkan ketuaan surat ini. Ini adalah bentuk yang lebih arkais dari kata `Kompeni` yang lebih banyak dipakai dalam surat-surat Melayu yang berasal dari abad yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19).

Setidaknya ada beberapa kata lagi yang menunjukkan ketuaan surat ini. Kata `jenral` pada `Gurnadur Jenral` juga sering dipakai dalam surat-surat Melayu dari abad ke-17, tetapi cenderung berubah menjadi `jendral` (atau `jenderal`) dalam surat-surat Melayu dari abad-abad sesudahnya (abad ke-18 dan 19); demikian juga kata `amiral` (pangkat kemiliteran; dalam konteks surat ini disebut nama `Amiral Speelman`) yang dari abad-abad sesudahnya sering ditulis `admiral`. Kata `Jakatra`—nama lain untuk Betawi (Batavia) yang sekarang bernama Jakarta—amat jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu abad ke-18 dan 19; kata itu justru muncul dalam beberapa surat Melayu dari periode yang lebih awal, seperti dalam K.Ak.98 (4) ini.

Kata `memeri` (untuk bentuk dasar `beri`) cukup terkesan arkais juga, walaupun sebenarnya dalam periode yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19) bentuk ini masih dipakai dalam naskah-naskah Melayu, termasuk surat-surat, dari wilayah tertentu di Nusantara. Tentu saja cukup mengherankan pula bahwa kota yang sekarang disebut `Makassar` dalam surat-surat raja-raja lokal dari Indonesia timur pada abad ke-16 sampai awal abad ke-20 selalu ditulis `Mengkasar`. Saya belum tahu kapan terjadi perubahan pelafalan ini dan apa penyebabnya. Namun, menurut dugaan saya, pelafalan `Makassar` seperti dikenal sekarang mungkin didasarkan atas dokumen-dokumen Belanda dari zaman kolonial, bukan berdasarkan penulisan yang ditemukan dalam dokumen-dokumen pribumi seperti surat-surat Melayu dari raja-raja lokal tersebut.
art-mei-25-suryadi
K.Ak.98 (4)
Sumber: Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden

Konteks Kesejarahan K.Ak.98 (4)

Setelah membaca alih aksara K.Ak.98 (4) yang tersaji di atas, dapat diketahui bahwa penulis surat ini menyebut dirinya “Paduka Sahabat Kaicil Jitanggalawu, Kapiten Laut Buton”. Surat ini ditujukan kepada “Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jen[d]ral Yohan Metsyaker yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawi(h)”. Jelas maksudnya adalah Gubernur Jenderal VOC ke-12, Joan Maetsuycker (1653-1678; lihat catatan 12).

Jelas bahwa K.Ak.98 (4) ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman. [18] Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton.

Isi K.Ak.98 (4) antara lain menyebutkan: “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”.

Jadi, Kapiten Laut (Kapitalao) Buton itu mewakili Sultan Buton, rajanya, yang tampaknya tidak bisa datang ke Makassar untuk bertemu dengan Cornelis Speelman, Admiral VOC yang telah berhasil menaklukkan Gowa dan menjadikan kekuatan politik VOC bercokol lebih kuat di Indonesia timur.
Sejarah mencatat bahwa setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Buton menjadi bebas dari tekanan Gowa dan jadi dekat dengan Ternate yang menjadi saingan Gowa. Tetapi sebagai imbalannya “hendaklah Kapiten Laut [Jitanggalawu] menunjukkan muka [ke]pada Heer Gurnadur Jen[d]ral juga supaya puaskan hati” Gubernur VOC itu. Walaupun pengancam regional, Gowa, sudah dikalahkan oleh VOC, hubungan antara Ternate dan Buton tidak selalu baik.

Selanjutnya K.Ak.98 (4) menceritakan bahwa Admiral Speelman kembali ke Jakatra (nama yang lebih awal untuk kota Batavia, biasa ditulis `Jacatra` dalam dokumen-dokumen Belanda dari abad ke-16 dan 17), sementara “Sahabat Kapiten Laut [Jitanggalawu] pun duduk sama2 dengan Tuan […] Raja Ternate” di Makassar. Tidak disebutkan nama Raja Ternate itu, tapi kemungkinan besar adalah Sultan Mandarsyah (1645-1675) [19] .

Penyebab batalnya Kapitalao Jitanggalawu pergi ke Batavia jadi jelas menjelang akhir surat ini: karena “Raja Buton [...] pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke negeri akhirat”, sebab itulah ia urung “pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada Heer Gurnadur Jen[d]ral di Betawi”, karena dalam adat Buton “apabila raja yang mati u[m]pama seperti datang
hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri.”

Jadi, tampaknya Kapitalao Jitanggalawu tidak berani pergi jauh ke Batavia/Jakatra karena Rajanya baru saja mangkat. Kutipan di atas juga menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat Buton masa lampau jika raja mereka meninggal: seluruh lapisan masyarakat berkabung dan hari mereka berada dalam kesedihan yang mendalam. Abdullah bin Muhammad al-Misri dalam karyanya, Hikayat Raja-Raja Siam (1823 atau 1824) menggambarkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada masa lampau apabila seorang raja mangkat:

Sebermula adapun raja-raja di tanah Bugis dan Ternate dan tanah sebelah timur, apabila ada raja-raja itu mati, maka berkeliling segala perempuan yang baik rupanya dan suaranya memegang kipas, maka bersyair menembang itu berpuluh-puluh hari, maka baru ditanam, dan tetapi tiada dibakar seperti [di] Siam dan Bali, maka inilah dikata ada lagi agama Hindu kepada segala negeri bawah angin ini dan banyak lagi orang yang menyembah yang lain daripada Allah taala. [20]

Catatan Abdullah bin Muhammad al-Misri di atas merefleksikan pengamalan unsur kepercayaan pra-Islam di kalangan penduduk kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, termasuk Buton. Dalam kebudayaan masyarakat Buton masa lampau, bahkan sampai pada periode yang belum lama berselang, sinkretisme antara kepercayaan yang lebih kuno dengan Islam yang datang kemudian begitu kuat. [21]

Siapakah gerangan Raja Buton yang mangkat yang disebutkan dalam K.Ak.98 (4)? Sebelum membahas itu, baiklah saya kutip alih aksara kolofon surat tersebut: “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.

Jadi, K.Ak.98 (4) ditulis di Benteng Parinringa, dekat Benteng Rotterdam di Makassar, pada 8 (atau 9) Jumadilawal 1080 H”. Jika dikonversikan ke tahun Masehi: 8 Jumadilawal 1080 H = 4 Oktober 1669; 9 Jumadilawal 1080 H = 5 Oktober 1669. Kata “sembilan” disisipkan belakangan, tampaknya ada kesalahan penulisan tanggal, lalu dibetulkan. Jadi, sangat mungkin tanggal penulisan surat ini adalah 5 Oktober 1669 (lihat catatan 17).

Dengan demikian, sangat mungkin Raja Buton yang diberitakan mangkat oleh Kapitalao Jitanggalawu dalam suratnya itu adalah La Simbata atau Sultan Adilil Rakhiya (1664-1669), Sultan Buton ke-10. Nama lain beliau adalah Mosabuna I Lea-Lea. Beliau turun tahta karena melepaskannya, bukan meninggal atau dikudeta. Sultan Adilil Rakhiya digantikan oleh Sultan Kaimuddin atau La Tangkaraja (1669-1680). [22]
Sultan Adilil Rakhiya mangkat di tahun-tahun awal kekuasaan Sultan Kaimuddin, penggantinya, tidak lama setelah kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton. [23] Jika kita merujuk lagi kepada kolofon K.Ak.98 (4), maka dapat diperkirakan bahwa Sultan Adilil Rakhiya (La Limbata) mangkat sebelum bulan Oktober 1669.

Sampai batas tertentu, kolofon K.Ak.98 (4) juga memberi petunjuk tentang wewenang dan kekuasaan seorang kapitalao Buton. Rupanya dalam keadaan darurat, kapitalao boleh menulis surat dari tempat yang jauh dari Istana Buton. Kapitalao, bersama dengan jurubahasa (jurubasa) sering mewakili sultan apabila hendak berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti Belanda dan Inggris. [24]

Surat Kapitalao Jatinggalawu (K.Ak.98 (4)) diakhiri dengan penutup yang menyebut hadiah dua orang budak laki-laki yang dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ungkapan “upamanya seperti dua biji sawi” (baris 25) yang dipakai dalam surat itu, yang mengandung nada merendah, adalah salah satu ciri khas surat-surat Melayu lama. Namun, ungkapan merendah ini berbeda-beda redaksinya antara satu surat dan surat lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara. [25]

Demikianlah sedikit ulasan mengenai teks dan konteks K.Ak.98 (4). Diharapkan apa yang telah diuraikan dalam artikel ini dapat menambah informasi mengenai masa lampau negeri Buton. Menurut saya, alangkah bagusnya kalau surat Buton yang cukup tua ini direproduksi dan hasil repronya dapat disimpan di salah satu museum di Bau-Bau atau di Museum Propinsi Sulawesi Tenggara.




Penulis adalah dosen dan peneliti pada:

Faculteit Geesteswetenschappen,

Universiteit Leiden, Belanda

(e-mail: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl)


Kepustakaan:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Bladgden, C.O. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London: University of London 6 (1930-1932), hlm. 87-100.
Chambert-Loir, Henri, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient.
De Jong, P., Catalogus Codicum Orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium, Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862.
Gallop, Annabel The, The Legacy of Malay Letter; Warisan Warkah Melayu, London: The British Library, 1994.
Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient.
Muridan Widjojo, “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistence in Maluku During the Revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, PhD Dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262.
Proudfoot, Ian, Old Muslim calendar of Southeast Asia, Leiden-Boston: Brill, 2006.
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jakarta: Djambatan, 2003.
Shellabear, W.G., “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31, 1898, hlm. 107-151.
Skinner, C. (ed.), Syair Perang Mengkasar; Sebuah Reportase Sastrawi Bergaya Melayu dari Jurutulis Sultan Hasanuddin tentang Kejatuhan Salah Satu Kerajaan Besar di Abad XVII, a.b: Abdul Rahman Abu, Makassar: Ininawa-KITLV, Jakarta, 2008.
Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Makalah dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI, Bima-Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007.
_______, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, hlm. 284-285.
_______, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25, 2007, hlm. 189.
Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006.
van Putten, L.P., Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796, Rotterdam: ILCO-Productions, 2002.

__________
Sumber Foto:
[1] Lihat C.O. Bladgden, “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, Bulletin of the School of Oriental Studies, University of London 6 (1930-1932): 87-100.
[2] Annabel Teh Gallop, The legacy of Malay letter; warisan warkah Melayu [with an essay by E. Ulrich Kratz) (London: The British Library, 1994), hlm. 122, 196.
[3] Walau bagaimanapun pendapat ini tentu tidak berlaku lagi setelah Uli Kozok menemukan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14 atau awal abad ke-15. Lihat Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: naskah Melayu yang tertua (Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006).
[4] Ketika saya mengadakan penelitian mengenai surat-surat Sultan Buton Mahyuddin Abdul Gafur (1791-1799), Dayyan Asraruddin (1799-1822), dan Kaimuddin 1 (1824?-1851) yang tersimpan di UB Leiden, keberadaan K.Ak.98 (4) sudah saya informasikan selintas. Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25 (2007): 189; Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3 (Oktober 2007): 284-85.
[5] W.G. Shellabear, “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31 (1898): 107-151.
[6] Ada dua kelompok koleksi NBG yang ditempatkan di UB Leiden: koleksi NBG yang berisi naskah Jawa dan Sunda ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1905; koleksi yang disebut NBG-Klinkert (umumnya berisi naskah-naskah Melayu) ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1915.
[7] Nomor ini dalam Katalog Jong ( 1862; lihat catatan 8 ) merujuk kepada naskah-naskah (termasuk surat-surat) yang berbahasa Melayu dan beraksara Jawi.
[8] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium. (Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862, hlm. 291-2). Naskah-naskah koleksi KNAW yang dititipkan di UB Leiden umumnya berbahasa Arab, dan hanya sedikit di antaranya berbahasa Melayu, seperti beberapa surat yang terdapat dalam bundel K.Ak.98.
[9] P. de Jong, Catalogus codicum orientalium, hlm. 292. Selain dua surat dari Buton yang telah saya sebutkan di atas, dalam bundel K.Ak.98 ini terdapat sejumlah surat lainnya dari Nusantara, antara lain dari Bima, Indrapura (pantai barat Sumatra),Ternate, Mataram, dan Jambi (beberapa di antaranya hanya terjemahan bahasa Belandanya saja yang tersedia). Lihat P. de Jong (ibid.), hlm.291-93. Dua di antaranya, yaitu K.Ak.98 (11 & 12), pernah dialihkasarakan oleh Annabel Teh Gallop, tapi tampaknya belum pernah dipubliksikan. (Terima kasih kepada Annabel yang telah memberitahu saya meengenai hal ini melalui beberapa email dan mengirimi saya hasil transliterasi kedua surat tersebut).
[10] Angka yang diapit oleh tanda / / merujuk kepada urutan baris pada surat aslinya (lihat gambar).
[11] Shellabear (1898:132; lihat catatan 5) mentransliterasikannya `Jinggalawu`, dan `Jipalawu` menurut filolog Buton, Hasaruddin, (komunikasi pribadi, 27 April 2009). Namun menurut saya, kata itu harus dibaca `Jitangkalawu`, jika tidak `Jitangdaawu`. Persoalannya adalah keragu-raguan untuk memastikan huruf kelima pada kata itu: apakah k, g, atau d? Namun tampaknya dalam surat ini antara huruf k dan g dibedakan, dimana yang terakhir dilambangkan dengan huruf kaf yang diberi titik di bawahnya. Namun, saya juga ragu bahwa huruf kelima itu adalah d yang diberi pemarkah `—` di atasnya (kelihatannya memang tidak bersambung). Ini beralasan karena bentuknya mirip dengan huruf d di baris-baris lain. Jika demikian halnya, maka kata itu juga bisa dibaca `Jitangdaawu`. Sayangnya, nama ini hanya disebut sekali saja dalam surat ini, sementara saya belum menemukan sumber-sumber lain yang menyebut nama ini, sehingga sulit untuk mencari perbandingan.
[12] Yang dimaksud adalah Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal VOC ke-12 (1653-1678). Lebih jauh mengenai Joan Maetsuycker, lihat L.P. van Putten, Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796 (Rotterdam: ILCO-Productions, 2002), hlm. 80-5.
[13] `Pun` tersalah letak: diletakkan setelah kata `Buton` di awal baris 18, namun kemudian diberi tanda pembetulan.
[14] Sesuai dengan surat aslinya: sepertinya ada huruf r yang salah tulis (lihat gambar).
[15] `Dualapan` dalam konteks ini berarti `delapan` (8), bukan `duapuluh delapan` (28). Lihat juga bilangan tahun di akhir kolofon ini. Lihat penjelasan lebih lengkap pada pembicaraan tentang konteks kesejarahan K.Ak.98 (4). Penulisan `dualapan` untuk `delapan` dalam naskah-naskah Melayu lama dari Indonesia timur adalah khas dan hal itu dipengaruhi oleh basa ibu (mother tongue) si penulis atau si penyalin. Demikian juga halnya, “[d]alam beberapa bahasa Austronesia yang lain, bilangan sebelas s[ampai] d[dengan] sembilan belas tidak dibentuk seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan berupa bilangan sepuluh disusul bilangan satuan, [seperti] sepuluh tujuh, bukan tujuh belas” (Henri Chambert-Loir, Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient, hlm. 40).
[16] Kata yang disisipkan (lihat gambar).
[17] Tampaknya ada kesilapan dalam menuliskan tanggal pada kolofon ini: pertama ditulis `dualapan [8] Jumadilawal`, kemudian diubah menjadi `sembilan [9] Jumadilawal`. Karena kata `sembilan` disisipkan (berarti ditambahkan kemudian), maka logikanya mungkin `sembilan likur hari bulan Jumadilawal…tahun Jim…seribu dualapan puluh genap [1080 H]` adalah tarikh surat ini yang benar. Jika dikonversikan ke tahun Masehi, maka 9 Jumadilawal 1080 H = Sabtu, 5 Oktober 1669, dan 8 Jumadidlawal 1080 H = Jumat, 4 Oktober 1669. Huruf Jim dengan tiga titik di atas merujuk kepada nilai numerik tahun Jim yang digunakan dalam sirkulasi delapan tahunan sistem kalender Islam klasik di Asia Tenggara (Lihat Ian Proudfoot, Old Muslim calendar of Southeast Asia. Leiden-Boston: Brill, 2006). Menurut Ian Proudfoot tanda seperti itu biasanya hanya ditemukan pada naskah-naskah primbon Jawa dan jarang ditemukan dalam kolofon surat-surat Melayu (komunikasi pribadi, 18-4-2009).
[18] Salah satu sumber pribumi yang merekam hebatnya peperangan antara Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin melawan VOC yang dipimpin Speelman adalah Syair Perang Mengkasar yang dikarang oleh Enci` Amin, jurutulis Sultan Hasanuddin sendiri. Lebih jauh mengenai syair ini, lihat C. Skinner (ed.), Syair Perang Mengkasar; sebuah reportase sastrawi bergaya Melayu dari jurutulis Sultan Hasanuddin tentang kejatuhan salah satu kerajaan besar di abad XVII (penerjemah: Abdul Rahman Abu) (Makassar: Ininawa, bekerjasama dengan KITLV Jakarta, 2008).
[19] Lihat Muridan Widjojo, `Cross-cultural alliance-making and local resistence in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810` [PhD dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262].
[20] Dikutip dari transliterasi Hikayat Raja-Raja Siam yang dikerjakan oleh Monique Zaini-Lajoubert, berdasarkan naskah KITLV Leiden Or.75 dengan membandingkannya dengan versi UB Leiden Cod.Or.2011. Lihat: Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri (Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient), hlm. 145.
[21] Mengenai kepercayaan masyarakat Buton, lihat antara lain Pim Schoorl, Masyarakat, sejarah, dan budaya Buton (Jakarta: Djambatan, 2003).
[22] Keterangan ini berdasarkan Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan adat fiy Darul Butuni (Buton) (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, Jilid II, hlm. 46-66) yang banyak merujuk kepada A. Ligtvoet, “Beschrijving en geschiedenis van Boetoen”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 26 (1878): 1-112.
[23] Abdul Mulku Zahari (op.cit), hlm. 62-3.
[24] Lihat Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur”, hlm. 227 [c.13].
[25] Demikianlah umpamanya, dalam surat raja-raja Bima di Pulau Sumbawa, ungkapan merendah yang lazim dipakai adalah: “… yang tiada dengan sepertinya, seupama daun kayu kering ditiup angin di tengah padang adanya” (dengan beberapa variasi kecil). Lihat: Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI (Bima, Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007).

Website Terkait:
http://niadilova.blogdetik.com/2009/05/25/temuan-dokumen-sejarah-sulawesi-tenggara-surat-tertua-kerajaan-buton-dari-abad-ke-17/#comment-403

Tidak ada komentar:

Posting Komentar