pengen tau aja

Rabu, 11 Agustus 2010

Keseragaman Ikonografi pada Ukiran Candi Masa Jawa Timur Akhir

Keseragaman Ikonografi pada Ukiran Candi Masa Jawa Timur Akhir
Lydia C. Kieven
28 July 2010

Pendahuluan
Ciri khas dan petunjuk status sosial dari sebuah ukiran dapat dinilai dari detail ikonografinya. Bentuk dari badan dan bahasa tubuh, pakaian dan hiasan kepala adalah keistimewaan dari penilaian tersebut. Berdasarkan terminologi yang ditemukan dan dipopulerkan oleh Forge (1978: 13) bahwa perbedaan antara epik mitologi dan cerita pos-mitologi India menunjukkan keragaman cerita yang mencakup cerita petualangan pahlawan, kerajaan kuno, pendekar dalam cerita rakyat, dan cerita Panji tertentu.

Sebagai contoh, perbandingan antara ukiran-ukiran dari Jawa Timur dengan ikonografi lukisan-lukisan Bali menunjukkan sebuah kemiripan. Baik dalam kesenian Jawa Timur dan Bali, tokoh dalam cerita mitologi memakai pakaian yang rumit, dan pahlawan laki-laki seperti Rama dan Krishna dilukiskan dengan gaya rambut seperti ‘capit kepiting’ yang disebut capit urang. Dalam lukisan Bali, tokoh utama cerita pos-mitologi, seperti dalam cerita Panji dan cerita bangsawan-bangsawan lainnya, mereka memakai pakaian yang kurang-lebih cocok dengan apa yang dipakai oleh orang-orang pada istana di Bali ratusan tahun lalu (Forge 1978:17).Saya berpendapat bahwa tutup kepala/mahkota sebagai hiasan kepala muncul di ukiran pada masa Jawa Timur akhir, dan bentuk ikonografi tersebut berhubungan erat dengan pakaian kontemporer di Jawa pada akhit abad ke-13 M sampai awal abad 16 M. Hal terebut menandakan keragaman ciri yang dipengaruhi oleh detail ikonografi lainnya seperti variasi bentuk pakaian.

Penelitian yang paling komprehensif mengenai keseragaman ikonografi pada ukiran naratif masa Jawa Timur akhir telah dilakukan oleh M. Klokke (1993: 61-69) yang pada tesisnya mengenai ukiran Tantri memberikan detail elemen-elemen yang paling penting dari ukiran tersebut. Saya juga akan memanfaatkan penelitian Satyawati Suleiman (1978: 26-39) mengenai tokoh utama pada ukiran teras pendopo Candi Panataran, dan gambaran tipe keagamaan oleh Jo Sbeghen (2004: 77-81) dalam tesisnya mengenai Candi Sukuh. Peninjauan ilmiah yang sistematis mengenai keseragaman ikonografi belum pernah diadakan sebelumnya. Diluar sumber-sumber tersebut, saya juga mengadakan penelitian intensive dan observasi berulang kali mengenai penggambaran naratif.

Tipe Karakter

Rakyat jelata dari kalangan status sosial bawah
Orang-orang biasa dari kalangan bawah, baik laki-laki atau perempuan, memakai berbagai macam cawat (kain). Laki-laki, ketika digambarkan dalam sebuah kegiatan seperti berjalan atau berkelahi, memakai kain cawat pendek atau pakaian yang berlipat. Cawat (kain) untuk wanita biasanya digambarkan dengan cara yang lebih indah, panjang hingga mencapai pergelangan kaki. Kain untuk laki-laki secara sederhana melingkari pinggang, diikat oleh ikat pinggang dengan simpul bebas tergantung dibagian depan tubuh. Cawat untuk perempuan tergerai penuh lipatan, dan seringkali salah satu ujung dari kain ujugn cawat juga dipakaikan diatas lengan atau bahu. Wanita dari kalangan bawah tidak menutupi bagian dada mereka. Baik laki-laki atau perempuan memiliki tata rambut yang sama, yaitu gulungan pada bagian belakang kepala. Dalam beberapa kasus, laki-laki dari kalangan biasa memakai tutup kepala kecil.

Pelayan
Bentuk pelayan menandai keberadaan tokoh dengan posisi sosial yang tinggi seperti raja atau dewa. Pelayan laki-laki seringkali digambarkan dengan rambut pendek, seperti pada penggalan ukiran Krishnayana di candi utama Panataran, dan dalam beberapa penggalan gambar, mereka memakai tutup kepala. Pelayan-pelayan itu seringkali muncul secara berpasangan, memegang kotak pinang dan tempayan ludah untuk tuan mereka. Namun data literatur yang berhubungan dengan penggambaran naratif ini tidak secara detail menyebutkan keberadaan para pelayan, sehingga keberadaan para pelayan ini dapat diartikan sebagai elemen pelengkap dalam representasi visual. Sebagai sebuah penanda, keberadaan pelayan menjadi keumuman untuk menunjukan tokoh yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya mengenakan sedikit perhiasan, seperti anting dan gelang, dan juga mengenakan kain panjang. Pelayan-pelayan tersebut bukanlah bagian dari komunitas kelas bawah karena kalangan tersebut tidak pantas untuk melayani raja atau dewa. Hal yang sama terjadi pada pelayan wanita dari kalangan aristokrat yang mamakai kemben untuk menutupi dada mereka; memberikan kesan sikap yang lebih sopan dan berbudi dari wanita kalangan biasa. Pelayan wanita biasanya memakai perhiasan seperti gelang dan kalung. Mereka seringkali menata rambut mereka dengan bentuk sanggul besar pada bagian atas-belakang kepala; sebuah fitur yang ditemukan pula di arca terakota Majapahit (Muller 1978: 32-34).

Bentuk pelayan yang istimewa adalah punakawan. Punakawan wanita sering disebut dengan Nini Towong. Bentuk-bentuk ini, biasanya digambarkan menemani tuan mereka, dan memiliki tubuh yang kerdil. Dalam beberapa potongan gambar, mereka adalah karikatur dari perilaku tuan mereka. Punakawan hanya dikenal dari ukiran-ukiran pada candi dari masa Jawa Timur akhir, pertama kali muncul di Candi Jago. Mereka tampak sebagai pendahulu dari para punakawan yang ada di cerita wayang masa kini. Keberadaan dari punakawan di ukiran-ukiran Jawa Timur mengindikasikan bahwa tradisi wayang telah hadir di masa Jawa kuno (Barandes 1902b: XLI). Punakawan sebagai teman perjalanan para pahlawan tidak banyak disebutkan dalam karya literatur, sama seperti kasus pasangan pelayan tokoh kerajaan dan dewa. Namun, Semar seorang tokoh punakawan memainkan peranan penting dalam kidung Sudamala (Galestin 1959).

Golongan aristokrat, bangsawan, raja dan ratu
Tokoh aristokrat, bangsawan, raja dan ratu dicirikan oleh pakaian, perhiasan dan tata rambut mereka yang mewah dan rumit. Kita dapat membedakan dua tipe bangsawan laki-laki; masing-masing dengan gaya yang berbeda tergantung pada kemunculan mereka: cerita mitologi atau pos-mitologi. Tipe pertama muncul di cerita Ramayana dan Mahabarata; mereka ditampilkan mengenakan hiasan kepala gaya Wayang—supit urang seperti ‘capit kepiting’—dan mereka mengenakan selempang, perhiasan yang mewah, dan seringkali mengenakan upawita. Berbeda dengan Pandawa lainnya yang digambarkan memakai supit urang, Yudistira hanya memiliki sanggul yang berada dibelakang leher (Klokke 1993:65). Di kesempatan lain, hiasan kepala ini dapat ditemukan dalam penggambaran raja lainnya, sebgaia contoh pada ukiran Sundhanakumara di Candi Jago.

Tipe aristokrat laki-laki pada cerita pos-mitologi—seperti Sidapaksa dalam cerita Sri Tanjung, atau Panji—mengenakan mahkota. Biasanya tokoh ini memakai kain yang panjang dengan ikat pinggang. Pada kebanyakan kasus, dia mengenakan satu atau dua gelang di lengan dan di sekitar pergelangan kaki atau juga di bagian atas lengan, dan juga anting.

Bangsawan wanita hanya dibedakan dari pelayan wanita mereka: mereka dihiasi lebih banyak perhiasan, seringkali mengenakan pakaian yang rumit, dan dada mereka ditutupi kemben. Bangsawan wanita dan juga pelayan mereka seringkali memakai kain lainnya dibawah pakaian bagian luar. Wanita muda digambarkan dengan rambut terurai lepas, yang juga menandakan mood erotis. Saya memanggil tipe wanita ini ‘bangsawan wanita muda’. Wanita yang lebih tua menata rambutnya dengan sanggul. Janda dan pendeta wanita mengenakan semacam serban/ikat kepala. Wanita yang lebih tua lebih ‘menjinakkan’ rambut mereka.

Terdapat bentuk ukiran laki-laki khusus yang sering digambarkan bersama para bangsawan bermahkota dan panakawan. Contoh dari golongan ini muncul di teras pendopo Panataran, di ukiran Gembyok dan di patung Grogol. Tokoh ini disebut kadeyan, memperlihatkan ciri kebangsawanan, tapi agak gemuk. Dia memakai kain yang biasa selipkan sehingga satu atau kedua kakinya terlihat. Rambutnya yang keriting diikat menjadi sanggul di bagian atas kepala.


Patung Grogol
Dari kanan ke kiri—kadeyan, Panji, dan punakawan



Ukiran Gembyok

Tokoh religius
Tokoh religius mungkin merepsentasikan pendeta (Brahman), guru, pertapa (rshis), dan pendeta Budha. Mereka biasa dibedakan dari ikat kepala/serban (ketu) yang biasa dikombinasikan dengan kumis atau jenggot panjang. Mereka mengenakan kain cawat yang panjang dengan baju tebal berlengan panjang, dan mereka seringkali memiliki perut yang menonjol keluar. Tokoh religius lainnya mungkin hanya memiliki ketu sebagai ciri khusus dari status mereka dan bertubuh lebih kurus dan memakai kain biasa. Namun tipe lainnya memiliki kepala yang gundul, atau rambut mereka dipangkas pendek, dan mereka mengenakan pakaian yang sederhana. Klokke (1993:63) menyatakan “semakin sedikit rambut dan sederhana pakaian berarti semakin muda dan semakin sedikit pengalaman dari bentuk pertapa tersebut. Bentuk yang mengenakan pakaian lebih rumit tampaknya lebih berpengalaman dalam segi kedudukan.”

Ukiran pada teras pendopo Panataran menunjukan gambar seorang laki-laki dengan kepala gundul/rambut pendek. Saya berpendapat bahwa pada kasus ini dia merepresentasikan Panji sebagai pertapa pemula atau tokoh yang akan bertapa dan telah melepaskan mahkotanya sebagai lambang penghormatan terhadap pertapa yang akan menjadi gurunya. Sebagai tambahan, di Candi Jago lebih tepatnya pada ukiran Angling Dharma terdapat gambaran seorang laki-laki berkepala gundul yang ditemani oleh seorang pertapa. Laki-laki itu mungkin menunjukkan rasa hormatnya terhadap pertapa itu dengan mengenakan tutup kepala tertentu.

Pertapa wanita atau kilis juga mengenakan tutup kepala seperti serban. Jenis serban ini memiliki bentuk lebik kotak dan lebih vertikal daripada yang digunakan oleh laki-laki. Bentuk semacam ini muncul di ukiran teras pendopo dan juga dapat ditemukan pada ukiran Parthayajina di Candi Jago.

Tokoh dewa dewi
Dewa dan dewi biasanya berdiri atau duduk diatas alas berbentuk teratai, mereka memiliki lebih dari dua tangan dan memiliki lingkaran cahaya di sekitar tubuhnya. Atribut individual mereka menunjukan posisi mereka sebagai dewa yang istimewa. Hiasan kepala mereka berbentuk seperti mahkota, sementara pakaian mereka lebih rumit dari pada yang dikenakan oleh manusia, termasuk perhiasan mewah, selempang, dan upawita. Mahluk kahyangan lainnya seperti bidadari dibedakan dari banyak selempang dan perhiasan mereka.

Iblis
Iblis memiliki tubuh dan kepala yang besar, mata yang melotot, gigi yang menonjol keluar, dan kebanyakan memiliki rambut keriting yang acak-acakan. Namun raja iblis Rahwana di cerita Ramayana berbeda dengan iblis lainnya, ia dicirikan sebagai raja dengan mahkota, sama seperti saudaranya Kumbhakarna. Contoh dari gambaran ini terdapat di candi utama Panataran, dan di Candi Yudha.


Dialihbahasakan oleh Tim Wacana Nusantara dari “ICONOGRAPHICAL CONVENTIONS IN THE LATE EAST JAVANESE TEMPLE RELIEF” bagian dari bab ke-3 thesis Lydia C. Kieven yang berjudul “Meaning and function of the figures with a cap in reliefs at East Javanese temples of the Majapahit period__ a contribution to a new understanding of the religious function of the temples.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar