pengen tau aja

Jumat, 25 Maret 2011

Sejarah TNI AL

Berdirinya Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut ) pada tanggal 10 September 1945 menjadi tonggak penting bagi kehadiran Angkatan Laut di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kehadiran BKR Laut ini tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh bahariawan yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine selama masa penjajahan Belanda dan Kaigun pada jaman pendudukan Jepang. Faktor lain yang mendorong terbentuknya badan ini adalah masih adanya potensi yang memungkinkannya menjalankan fungsi Angkatan Laut seperti kapal - kapal dan pangkalan, meskipun pada saat itu Angkatan Bersenjata Indonesia belum terbentuk.
Terbentuknya organisasi militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut memacu keberadaan TKR Laut yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah Pangkalan Angkatan Laut terbentuk, kapal - kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diperdayakan, dan personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga laut Republik yang baru terbentuk itu. Kekuatan yang sederhana tidak menyurutkan ALRI untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Disamping itu mereka juga melakukan pelayaran penerobosan blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri.
Kepahlawanan prajurit samudera tercermin dalam berbagai pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda di berbagai tempat seperti Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga. Operasi lintas laut juga mampu menyusun pasukan bersenjata di Kalimantan Selatan, Bali, dan Sulawesi. Keterbatasan dalam kekuatan dan kemampuan menyebabkan ALRI harus mengalihkan perjuangan di pedalaman, setelah sebagian besar kapal ditenggelamkan dan hampir semua pangkalan digempur oleh kekuatan militer Belanda dan Sekutu. Sebutan ALRI Gunung kemudian melekat pada diri mereka. Namun demikian tekad untuk kembali berperan di mandala laut tidak pernah surut. Dalam masa sulit selama Pereang Kemerdekaan ALRI berhasil membentuk Corps Armada (CA), Corps Marinier (CM), dan lembaga pendidikan di berbagai tempat. Pembentukan unsur - unsur tersebut menandai kehadiran aspek bagi pembentukan Angkatan Laut yang modern.
Berakhirnya Perang Kemerdekaan menandai pembangunan ALRI sebagai Angkatan Laut modern. Sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), sejak tahun 1949, ALRI menerima berbagai peralatan perang berupa kapal - kapal perang beserta berbagai fasilitas pendukungnya berupa Pangkalan Angkatan Laut. Langkah ini bersamaan dengan konsilidasi di tubuh ALRI, pembenahan organisasi, dan perekrutan personel melalui lembaga pendidikan sebelum mengawaki peralatan matra laut. Selama 1949-1959 ALRI berhasil menyempurnakan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Di bidang Organisasi ALRI membentuk Armada, Korps Marinir yang saat ini disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbangan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut. Peralatan tempur ALRI pun bertambah baik yang berasal dari penyerahan Angkatan Laut Belanda maupun pembelian dari berbagai negara. Penyiapan prajurit yang profesional pun mendapatkan perhatian yang besar dengan pendirian lembaga pendidikan untuk mendidik calon - calon prajurit strata tamtama, bintara, dan perwira, serta pengiriman prajurit ALRI untuk mengikuti pendidikan luar negeri.
Dengan peningkatan kekuatan dan kemampuan tersebut, ALRI melai menyempurnakan strategi, taktik, maupun teknik operasi laut yang langsung diaplikasikan dalam berbagai operasi militer dalam rangka menghadapi gerakan separatis yang bermunculan pada tahun - tahun 1950 hingga 1959. Dalam operasi penugasan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS di Maluku, ALRI memperoleh pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut, operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.
Pada saat kondisi negara mulai membaik dari ancaman desintegrasi, pada tahun 1959 ALRI mencanangkan program yang dikenal sebagai Menuju Angkatan Laut yang Jaya. Sampai tahun 1965 ALRI mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konfrontasi dalam rangka merebut Irian Barat yang dirasa tidak dapat diselesaikan secara diplomatis. Berbagai peralatan tempur Angkatan Laut dari negara Eropa Timur memperkuat ALRI dan menjadi kekuatan dominan pada saat itu. Beberapa mesin perang yang terkenal di jajaran ALRI antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) klas 'Skory', fregat klas 'Riga', Kapal selam klas 'Whisky', kapal tempur cepat berpeluru kendali klas 'Komar', pesawat pembom jarak jauh Ilyushin IL-28, dan Tank Amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut pada era tahun 1960-an ALRI disebut - sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar di Asia.
Ada beberapa operasi laut selama operasi pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan sebutan Operasi Trikora itu. Pada awal Trikora dogelar, kapal -kapal cepat torpedo ALRI harus berhadapan dengan kapal- kapal perusak, fregat, dan pesawat Angkatan Laut Belanda di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Komodor Yos Soedarso beserta RI Macan Tutul tenggelam pada pertempuran laut tersebut. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudera itu memacu semangat untuk merebut Irian Barat secara militer. Pada saat itu ALRI mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI.
Politik konfrontasi RI dalam melawan Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dilanjutkan pada Operasi Dwikora untuk menentang pembentukan negara Malaysia. Meskipun unsur - unsur Angkatan Bersenjata RI telah disiapkan dalam operasi tersebut, namun operasi hanya sebatas pada operasi infiltrasi. Prajutir - prajurit ALRI dari kesatuan KKO-AL terlibat dalam tahap ini. Sementara unsur - unsur laut menggelar pameran bendera dalam rangka mengimbangi provokasi oleh kekuatan laut negara - negara sekutu. Operasi Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia pasca Pemberontakan G 30 S/PKI.
Sejak tahun 1966 ALRI yang kemudian disebut dengan TNI AL mengalami babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan upaya integrasi ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan setiap angkatan menjadi terpusat. Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun waktu 1970-an adalah Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor - Timur kepada RI. TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.
Mulai dasawarsa 1980-an TNI AL melakukan langkah modernisasi peralatan tempurnya, kapal - kapal perang buatan Eropa Timur yang telah menjadi inti kekuatan TNI AL era 1960 dan 1970-an dinilai sudah tidak memenuhi tuntutan tugas TNI AL. Memburuknya hubungan RI - Uni Sovyet pasca pemerintahan Presiden Soekarno membuat terhentinya kerja sama militer kedua negara. Oleh karena itu TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan kemampuannya dengan membeli kapal - kapal perang dan peralatan tempur utama lainnya dari berbagai negara, diantaranya Korvet berpeluru kendali kelas 'Fatahillah'dari Belanda, Fregat berpeluru kendali klas 'Van Speijk' eks- AL Belanda, Kapal selam klas 209/1300 buatan Jerman Barat, Kapal tempur cepat berpeluru kendali klas'Patrol Ship Killer' buatan Korea Selatan, dan Pesawat Patroli Maritim 'Nomad-Searchmaster'eks-Angkatan Bersenjata Australia.
Pada saat yang sama TNI AL mengembangkan militer non tempur yang berupa operasi bakti kemanusiaan Surya Bhaskara Jaya di berbagai daerah terpencil di Indonesia yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Operasi ini berintikan kegiatan pelayanan kesehatan, pembangunan dan rehabilitasi sarana publik, dan berbagai penyuluhan dibidang kesehatan, hukum, dan bela negara. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Sejumlah negara juga pernah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut antara lain Singapura, Australia dan Negara Amerika Serikat. TNI AL juga berupaya menggalakan pembangunan sektor kelautan jauh sebelum Departemen Kelautan terbentuk, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di laut. Kegiatan - kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL adalah mendirikan badan - badan pengkajian pembangunan kelautanbersama - sama dengan pemerintah dan swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yangterangkum dalam Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program Pembinaan Potensi Nasional menjadi KekuatanMaritim (Binpotnaskuatmar). Dalam rangka menggelorakan jiwa bahari bangsa, TNI AL menggelar event kelautan skala internasional yaitu Arung Samudera 1995 yang berintikan Lomba Kapal Layar Tiang Tinggi dan perahu layar. TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkan Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.
Selama dasawarsa 1990-an TNI AL mendapatkan tambahan kekuatan berupa kapal - kapal perang jenis korvet klas 'Parchim', kapal pendarat tank (LST) klas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau klas Kondor.Penambahan kekuatan ini dinilai masih jauh dari kebutuhan dan tuntutan tugas, lebih - lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi internal di tubuh TNI membawa pengaruh besar pada tuntutan penajaman tugas TNI AL dalam bidang pertahanan dan keamanan di laut seperti reorganisasi dan validasi Armada yang tersusun dalam flotila - flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya dan pemekaran organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat divisi Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di Jakarta. Pembenahan - pembenahan tersebut merupakan bagian dari tekad TNI AL menuju Hari Esok yang Lebih Baik.

PERANAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI) MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DALAM PERISTIWA TIGA DAERAH DI KARASIDENAN PEKALONGAN, 1945-1946

PERANAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI) MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DALAM PERISTIWA TIGA DAERAH DI KARASIDENAN PEKALONGAN,
1945-1946

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Seminar Sejarah




Disusun oleh :
Nurul Iman
NIM : A2C007019




JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang dan Permasalahan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah buah perjuangan yang telah dilakukan para pendiri bangsa. Kemenangan yang diraih bukanlah milik satu golongan saja, tetapi merupakan kemenangan dan kemerdekaan segenap elemen bangsa. Para pendiri bangsa saat itu sudah berani mengambil resiko perjuangan yang akan mereka terima. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan berarti perjuangan telah selesai. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia akan mengalami fase perjuangan selanjutnya yakni upaya perebutan kekuasan dan pengakuan kedaulatan dari negara lain.
Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya tidak serta merta bebas dari belenggu penjajah Jepang saat itu. Belum lagi masuknya kekuatan asing lain yang masuk ke wilayah Indonesia. Masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi diwarnai dengan berbagai pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan dan memperoleh senjata. Di berbagai daerah terjadi pertempuran. Pergolakan yang terjadi terus meletus tidak hanya di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi terus melebar dan meluas di berbagai daerah lainnya yang tidak hanya melawan penjajah Jepang, namun melakukan perlawanan kepada siapapun yang menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia.
Karasidenan Pekalongan merupakan sebuah Kota Karesidenan di Jawa Tengah, Karesidenan Pekalongan memiliki kisah sejarah pada masa Revolusi kemerdekaan. Sejarah yang terkenal yaitu peristiwa tiga daerah, yang di dalamnya meliputi beberapa kota yaitu : Brebes, Tegal, dan Pemalang. Dalam penulisan skripsi ini , penulis mengangkat sebuah tema Revolusi yang berjudul “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mempertahankan Kemerdekaan Dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan Tahun 1945-1946”.
Peristiwa tiga daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara oktober sampai desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di keresidenan Pekalongan Jawa tengah, dimana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis.
Peristiwa ini sering disebut, tetapi pengertiannya masih kabur. Kata-kata perampokan, penyelewengan dan pemberontakan masih sering dipakai disamping kata-kata pergerakan, perjuangan atau peristiwa untuk tiga daerah. Sejarah tiga daerah penting sebagai peristiwa lokal revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial dengan ciri khas tersendiri. Disini, revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial feodal menjadi susunan masyarakat yang lebih demokratis. Cita-cita ini mulai diperjuangkan oleh sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, diteruskan oleh gerakan PKI dan syarekat rakyat sampai dengan tahun 1926, tetapi baru tercapai pada bulan oktober-november 1945. Untuk memahami mengapa terjadi Peristiwa Tiga Daerah pada tahun 1945, kita perlu juga mengetahui sejarah politik daerah tersebut. Pada abad sembilan belas, terjadi aksi protes terhadap tanam paksa (gula) dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti dari sistem Tanam Paksa Belanda. “Brandal Mas Cilik” di Tegal merupakan pemberontakan petani pada tahun 1864, dipimpin seorang dukun yang bernama Mas Cilik, yang menyerang pabrik gula dan membunuh pegawai belanda. Aksi protes muncul lagi pada tahun 1926 dengan pemberontakan di dukuh karangcegak, selatan tegal. Kali ini petani melawan wajib kerja (corvee) dengan senjata ideologi modern, yaitu komunis. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin tegal dibuang ke tempat pengasingan Boven Digul di irian Jaya. Golongan inilah yang muncul kembali memimpin badan-badan perjuangan dan menyusun strategi politik mengubah struktur pemerintah di Tiga daerah pada tahun 1945 itu. Peristiwa tiga daerah terjadi di sebagian wilayah Jawa Tengah tepatnya di daerah Karesidenan Pekalongan pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini merupakan salah satu dari pergolakan yang muncul di beberapa daerah di Indonesia pada bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan disebut Revolusi Sosial. Peristiwa terjadi akibat rasa tidak puas secara sosial ekonomi rakyat setempat pada elite birokrasi yang telah memerintah atas nama Belanda pada dasawarsa kekuasaan kolonial. Taraf hidup kalangan elite birokrasi yang sangat berbeda secara menyolok dengan penduduk kelas bawah memperlebar jurang pemisah dua kelompok tersebut. Hubungan tradisional patron clien antara birokrasi dan petani rusak. Dalam diri kelas bawah telah tertanam dendam untuk membalas hal tersebut dikemudian hari. Dengan tujuan memecat elite birokrasi dan menggantinya dengan penguasa Indonesia yang berbeda nilai dan sikapnya, masyarakat di bawah pimpinan pemimpin-pemimpin Nasionalis Lokal melakukan serangan terhadap elite-elite birokrasi.
Serangan atau revolusi sosial dimulai ketika seorang kepala Desa dipermalukan dan dipecat dari jabatannya di sebuah Kecamatan di Tegal Selatan. Diawali dari peristiwa itu, dalam tempo satu minggu revolusi sosial telah melanda kawasan pedesaan tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang). Mereka menyerang, menculik dan membunuh wedana, camat, kepala desa, dan pejabat-pejabat elite birokrasi lainnya. Selain itu polisi, Tentara Keamanan Rakyat, orang-orang Cina dan Eropa turut menjadi serangan rakyat. Harta kekayaan orang Cina yang kelihatan seperti toko-toko dan penggilingan padi, dirampok dan diambil alih. Akibatnya banyak pejabat-pejabat elite birokrasi, orang-orang Cina dan Eropa yang tewas terbunuh. Puncak dari kekejaman masyarakat terjadi ketika pada pertengahan bulan Oktober, lebih dari seratus orang Indo-Eropa, Ambon dan Manado mati terbunuh karena dianggap pro tentara Belanda. Peristiwa berakhir pada awal bulan November 1945. Setelah berhasil menggulingkan elite birokrasi setelah itu disusun orang-orang yang akan menggantikan administrator lama. Tokoh lokal yang paling tersohor dalam peristiwa Tiga Daerah ialah kutil dari desa Talang, sebuah kecamatan di Selatan Tegal, oleh karena itu peristiwa Tiga Daerah sering juga disebut dengan “Gerakan Kutil”.
Pada akhir abad XIX, di Jawa timbul huru-hara kerusuhan dan kekacauan yang memuncak menjadi pemberontakan. Hal ini terjadi terutama di daerah pedesaan sehingga fenomena gerakan ini bersifat endemis. Huru-hara kerusuhan dan kekacauan yang berakhir dengan pemberontakan seringkali mengarah pada persoalan-persoalan yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik, dan agama. Sebab persoalan ini dianggap sangat komplek dan di jadikan dasar suatu kelompok untuk melakukan tindakan tidak puas terhadap tatanan yang ada.
Revolusi kemerdekaan RI merupakan Revolusi politik terhadap stuktur politik baru, menggantikan sistem kolonial. Pengertian struktur politik ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang berakibat terjadinya perubahan besar dan mendasar pada tahun 1945-1946. Revolusi social yang terjadi ini tidak hanya terjadi di Tegal saja namun meliputi juga wilayah kabupaten Brebes, dan kabupaten Pemalang mengakibatkan dampak/perubahan yang fundamental dalam masyarakat. Perubahan yang fundamental itu tampak pada perubahan struktur dari masyarakat kolonial/feodal menjadi susunan suatu masyarakat yang lebih demokratis.
Revolusi sosial yang terjadi di Tegal kurang lebih, dua setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya bulan Oktober 1945 berbentuk Gerakan Rakyat atau lebih dikenal dengan sebutan Revolusi Sosial. Revolusi sosial adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat setempat bertujuan menghapus tatanan lama, misalnya mengganti kepalakepala desa, pamong desa, Camat, Wedana, serta pemerintah Kabupaten.
Gerakan rakyat semakin matang dilakukan dengan melihat kondisi social rakyat, sebab setelah terjadi proklamasi, keadaan tidak menjadi lebih baik malah sebaliknya, kelaparan dan kekurangan yang dialami malah semakin bertambah. Berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh keadilan, karena rakyat selama ini merasa dibodohi, rakyat selalu saja dibebani pajak dan pungutan maupun pekerjaan.
Revolusi Sosial tidak hanya terjadi pada bidang politik saja tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi dan sosial. Kemunculan tiga kelompok sosial baru di daerah Tegal memberi perubahan pada bidang politik dan sosial. Kelompok ini berpangaruh dan mempunyai peran yang luas dalam gerakan. Kelompok baru ini adalah kelompok agama, kelompok komunis dan kelompok leggaong (bandit). Munculnya kelompok tersebut tentunya membawa gerakan yang dapat memobilisasi rakyat, karena rakyat sebagai
unsur terpenting. Kelompok Islam di daerah Tegal menjadi komponen penting dalam perjuangan yang memiliki basis kuat untuk memobilisasi rakyat.
Pengangkatan K.H. Abu Suja I sebagai Bupati Tegal pada bulan November 1945 yang memposisikan ulama sebagai elit birokrasi baru yang menggantikan elit birokrasi lama bupati Sunaryo. Pengangkatan KH. Abu Suja I mendapatkan dukungan dari rakyat Tegal, walaupun secara resmi pemerintah menolak keberadaanya sebagai Bupati. Kelompok komunis sengaja menggunakan Islam dan ulama sebagai kekuatan ajarannya karena mereka menganggap bahwa dalam Islam secara realistis merupakan kekuatan politis yang besar di Indonesia. Kelompok Komunis, perjuangannya sudah dimulai sejak Sarekat Islam di pekalongan pada tahun 1918. diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat sampai dengan tahun 1926. Di Jawa pemberontakan meletus pada tahun 1927 tetapi baru tercapai pada bulan Oktober sampai November. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin dari Tegal dibuang ketempat pengasingan Boven Digul di Irian Jaya (Achmad, 1977:10)
Tanggal 21 Oktober 1945 diumumkan bahwa PKI berdiri kembali. Di Tegal saat itu juga PKI mempunyai pengaruh yang sangat besar di Jawa dan cabang-cabang sarekatnya mendukung secara aktif. Karesidenan Pekalongan menjadi sebuah pusat dari kegiatan politik yang radikal dan para pengikut PKI di Tegal dan Pekalongan adalah tokoh-tokoh penggerak terkenal dalam pemberontakan melawan belanda tahun 1926 (Kahin,1989:31) sehingga di Tegal dan Pekalongan menjadi pangkalan kuat kelompok komunis.
Kelompok Komunis di Tegal membentuk front rakyat yang disebut Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D). Berdiri pada tanggal 16 November 1945 dengan markas di Kantor Partai Sosialis Amir Syarifudin, cabang Tegal. Kemunculan Lenggaong di daerah Tegal seringkali memberi rasa takut, di desa-desa yang di tempati para Lenggaong, seperti di kecamatan Talang dikenal dengan nama Kutil jagoan yang bernama asli Syakyani. pekerjaannya sebagai tukang cukur yang dianggap mempunyai kekuatan doa-doa dan jimat. Dia di anggap sebagai Ratu Adil sebagai dampak gejala Missianisme. Gerakan Tiga Daerah disebut-sebut sebagai Negara Talang dan Kutil berperan sebagai perantara antara kelompok agama dengan kelompok lenggaong serta
mempunyai peran politik. Pengaruh Kutil dalam Revolusi sosial adalah melakukan protes sosial dengan memimpin aksi dombreng, aksi dombreng sama artinya dengan tindakan mengarak dan mengerahkan massa sebagai bentuk kebencian rakyat terhadap pangreh Praja. Sikap pemerintah daerah yang kurang tegas yang masih memegang tradisi lama yang selalu menunggu perintah dari atas atau pusat adalah alasan rakyat menginginkan pergantian pejabat pangreh praja. Karena rakyat menginginkan pejabat dari kalangan sendiri, orang-orang yang mereka pilih sendiri, orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan mereka, memperhatikan kesejahteraan mereka. Lenggaong atau perbanditan selalu memperkuat militansinya.
dengan kekuatan magis keagamaan yang di pandang sebagai resistensi sosial. Kelompok Kutil melakukan kegiatan bawah tanah yang bersifat tertutup. tanpa diketahui oleh orang lain, dengan melakukan penyusupan, meskipun bentuknya tradisional gerakan ini mempunyai struktur dan pemimpin. struktur itu menunjukan hubungan antara satu bagian dengan bagian lain yang merupakan ikatan atas bawah dan mempunyai tugas yang
berbeda-beda. Situasi daerah Tegal dalam penguasaan Kutil ketika itu lebih menjurus kearah anarkhis, terutama tindakan-tindakan komplotan kutil yang bergaya mirip koboy, ugal-ugalan, berseragam polisi negara lengkap dengan pistol serta adanya pengangkatan oleh dirinya sendiri sebagai kepala kepolisian (Wawancara dengan bapak Karso).
Sikap menunggu perintah yang sudah menjadi pola elite birokrat adalah alasan yang kuat awal terjadinya pemberontakan. Karena sikap menunggu yang di tunjukan oleh elite birokrat itu mencerminkan sifat ragu-ragu, tidak berinisiatif dan sikap kepatuhan seorang abdi yang terpuruk oleh latar belakang pendidikan kolonial belanda yang diperolehnya. Awal pemberontakan terjadi dimulai dengan dibunuhnya seorang anggota polisi setempat oleh sekelompok orang yang marah, peristiwa itu terjadi karena polisi tersebut secara tidak adil menangkap pedagang-pedagang dan menyita barang dagangannya. Pendistribusian kain yang tidak adil di Talang juga merupakan faktor awal terjadinya pemberontakan. Camat Talang mendapat 14 gulung tekstil oleh KNI di bagikan kepada mereka yang membutuhkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tetapi Kutil menginginkan pembagian di dasarkan asas sama rata sama rasa. Kelompok yang diketuai Kutil dibentuk untuk membagi-bagikan tekstil timbunan Jepang di pabrik gula diluar kota. Tidak ada yang membayar untuk pembagian itu dan tidak ada catatan tentang jumlah pembagian itu. Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa. Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143) . Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan. Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.
Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman. Pada periode kolonial, perbanditan, khususnya yang bernuasa resitensi politik, merupakan reaksi dari penindasan penguasa kolonial. Sedangkan pada masa revolusi, seperti yang terjadi pada “Peristiwa Tiga Daerah” perbanditan mengemuka sebagai manifestasi perasaan dendam kepada pejabat kolonial dan keterpurukan kehidupan ekonomi yang membelit kehidupan rakyat. Dalam usaha meredakan peristiwa yang terjadi saat itu para personel barisan-barisan pertahanan seperti BKR yang kemudiaan menjadi TKR dan Kepolisian ditugaskan untuk melakukan penghentian peristiwa tersebut karena dianggap telah mengganggu ketenangan stabilitas nasional. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang pada awalnya bernama TKR Laut merupakan salah satu barisan pertahanan yang kemudian ikut serta mengambil peranan penting dalam mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia pada waktu pecahnya revolusi. Awalnya pada masa penjajahan Fasisme Jepang barisan – barisan pertahanan milik Republik Indonesia berasal dari barisan pertahanan yang dibentuk dan dilatih oleh Jepang dengan tujuan untuk menarik perhatian rakyat Indonesia dan di bentuklah PETA (Pembela Tanah Air), Peta merupakan organisasi bentukan jepang yang terdiri dari pemuda Indonesia. Organisasi ini disebut pula Giyugun. Mereka mendapat latihan militer dari Jepang. Tujuannya untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik. Ternyata perkembangan PETA sangat membantu Indonesia dalam meraih kemerdekaan melalui perjuangan fisik. Jenderal Sudirman dan A.H Nasution pernah sebagai pemimpin PETA. Pada tahun 1944, PETA dibubarkan karena terlalu bersifat nasional dan dianggap membahayakan. Selain itu terdapat pula organisasi bentukan Jepang yang lain, seperti: Jawa Hokokai, Cuo Sangi In, Keibondan (Barisan Pembantu Polisi), Seinendan(Barisan Pemuda).
ALRI merupakan Angkatan Laut Republik Indonesia yang mempunyai tugas dan tujuan untuk mempertahankan keamanan daerah kawasan laut dan darat Republik Indonesia. Anggota ALRI terdiri dari kader-kader yang tangguh, kuat lahir dan batin, mempunyai disiplin yang tinggi dan landasan pikiran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Anggota-anggota ALRI di Indonesia bukan saja berasal dari berbagai aliran politik, tetapi juga berasal dari berbagai lingkungan agama. Kepada anggota ALRI ditanamkan Paham kebangsaan yang dalam dan jiwa atau semangat berperang membela tanah air, sehingga kalau perlu mereka berani berkorban demi perjuangan kemerdekaan. Sebagai suatu kekuatan militer, ALRI melatih para pemuda dengan latihan-latihan Militer, walaupun senjata yang dimiliki pada saat itu masih berupa senapan kayu atau bambu runcing serta senjata-senjata rampasan perang yang di peroleh dari penjajahan Fasisme Jepang. Melalui ALRI ini golongan pemuda terpelajar akhirnya terjun dalam kegiatan-kegiatan diantara massa rakyat dan sebaliknya golongan pemuda tidak terpelajar dapat menyesuaikan diri dengan golongan terpelajar ini untuk bersama-sama mengobarkan semangat nasionalis dan rasa persaudaraan. Walaupun
Proklamasi adalah puncak perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pada hakikatnya, proklamasi adalah symbol terlepasnya segala belengu penjajahan yang telah lama dirasakan. Akan tetapi, setelah proklamasi bukan berarti Indonesia lepas dari segala permasalahan. Perjuangan awal kemerdekaan setelah proklamasi justru menjadi batu ujian sejauh mana perjuangan dan kesadaran berbangsa dari setiap rakyat. Ujian yang diterima Indonesia begitu besar. Rakyat dengan militansinya terus menerus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Perebutan kekuasan yang berakibat pada meletusnya berbagai pertempuran menjadi gambaran bahwa rintangan yang dihadapi Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat begitu berat.


B. Ruang Lingkup
Dalam pembahasan suatu karya ilmiah, ruang lingkup mutlak diperlukan mengingat luasnya masalah dalam kehidupan masyarakat. Ruang lingkup juga membantu agar tidak terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu luas.
Dalam penulisan sejarah di kenal dua batasan, yaitu batasan temporal atau waktu dan batasan spacial atau ruang geografis. Keduanya ada dalam penulisan sejarah, agar dapat memperjelas pembahasan dan menghindari pembahasan yang tidak relevan. Ruang lingkup temporal adalah batasan waktu yang telah ditentukan dalam penelitian.dalam penulisan ini, penulis mengambil periode waktu 1945 sampai dengan periode 1946. penulis mengambil periode 1945-1946 karena pada periode tersebut masa awal dibentuknya ALRI serta pada 1945 ALRI sudah terjun dalam segala front medan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah dikumandangkan lewat Proklamasi Kemedekaan 17 agustus 1945 oleh Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta. Ruang lingkup spasial, merupakan batasan wilayah yang ditinjau dari segi wilayah geografis atau segi wilayah administrasi lainnya. Batasan yang tentu Ruang lingkup keilmuan berkaitan dengan berbagai aspek yang dianalisis dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian dari aspek social dan politik. Aspek ini sangat berkaitan dimana dari tujuan terbentuknya ALRI ini di Indonesia. Pembahasan penulisan ini menekankan analitis tentang “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mempertahankan Kemerdekaan Dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan Tahun 1945-1946”. Dengan demikian lingkup temporal penulisan ini sepanjang masa revolusi, sejak ALRI dibentuk dan di tugaskan untuk tujuan mempertahankan keamanan laut dan darat di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Sebagai acuan untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku. Buku utama yang dijadikan acuan adalah Anton E.Lucas yang berjudul One Soul One Struggle setelah sebelumnya menulis Peristiwa Tiga daerah pada tahun 1986 Dalam bukunya, one soul one struggle (peristiwa tiga daerah seri revolusi) Anton Lucas menambahkan sumber-sumber baru yang sifatnya hanya melengkapi bukunya yang pertama. Dilihat dari isinya antara buku yang pertama dan kedua tidak banyak mengalami perubahan, tulisannya dalam bukunya yang kedua jauh lebih berani, berani menyampaikan aspirasi lewat tulisan yang berupa kritikan dan sindiran, tulisannya lebih jujur mengungkapkan fakta atau kenyataan yang ada di lapangan, namun juga dengan mengembangkan kalimat sendiri. Data dan sumber-sumber yang digunakan juga jauh lebih banyak sehingga menambah faliditas data yang coba untuk diungkapkan. Isi buku secara keseluruhan antara bukunya yang pertama yang terbit pada tahun 1986 dengan bukunya kedua yang terbit tahun 2004 tidak banyak mengalami banyak perubahan, isinya sama bagian setiap babnya, susunan dari setiap babnya pun sama. Namun secara keseluruhan isi dari buku ini tetap menarik, walaupun sebagian besar sumber yang diperoleh adalah berasal dari sumber lisan. Buku ini, menceritakan secara urut mulai dari kaum Nasionalis dan elite birokrasi di Pekalongan sebelum perang, pengalaman masa Jepang: Swasembada penunjang Jepang, beban ekonomi yang berat, oposisi dan perlawanan, serta proklamasi kemerdekaan dan berakhirnya kekuasaan Jepang. Pada bab lima bagian dari buku ini adalah bagian yang sangat membantu penulis, disana dijelaskan peranan Lenggaong dalam revolusi sosial, termasuk juga tokoh Kutil juga banyak diulas dibagian ini. Pada bab enam dijelaskan masa-masa kacau, kesadaran revolusioner bayangan bagi kenyataan. Serta revolusi yang terjadi di kota-kota Kabupaten, front persatuan di Tiga daerah, peranan militer dan barisan-barisan pertahanan Indonesia terutama ALRI dalam meredamkan revolusi lokal adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa tiga daerah yang menyebabkan revolusi social yang mempunyai pengaruh dalam stabilitas pertahanan dan keamanan Negara yang pada saat itu baru saja meraih kemerdekaan melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 yang di sertai dengan perjuangan dan pengorbanan yang begitu lama. Pada bagian lain yang juga membantu penulis adalah pengadilan peristiwa tiga daerah yang akhirnya memutuskan Kutil dihukum mati.
Buku kedua yang dijadikan acuan adalah buku yang ditulis Timur Mahardika tahun 2000 adalah buku yang berjudul Gerakan Masa. Gerakan ini mengupayakan demokrasi dan keadilan secara damai, gerakan ini dilakukan oleh rakyat. Secara prinsip merupakan gerakan yang lahir dari problem-problem yang ada dalam masyarakat. sama halnya dengan gerakan sosial yang terjadi di Tegal adalah gerakan yang terjadi akibat problem masalah yang dialami masyarakat Tegal pada waktu itu. Dalam gerakan rakyat di dalamnya muncul gerakan Elite adalah merupakan upaya yang di lancarkan oleh kalangan elite yang di tunjukan dengan maksud memperkuat posisi mereka, atau bahkan meningkatkan kualitas protes mereka. Di dalam buku ini dijelaskan pula bahwasanya suatu gerakan yang terorganisir mensyaratkan adanya pengelolaan, pengaturan, pengendalian dan sinergi antar berbagai komponen yang ada berupa sumber daya manusia. gagasan logistik untuk mencapai gerakan yang terorganisir bukan saja membutuhkan:
1. Kecakapan aktivitasnya (kader) dalam menggalang dan mengembangkan sumberdaya dan jaringan kerja namun juga.
2. Organisasi yang solid berdisiplin, kepemimpinan yang efektif.
Jadi Buku Gerakan Massa bisa juga dijadikan acuan/dasar pemikiran penulis, karena dalam buku tersebut dijelaskan bahwasanya suatu gerakan yang dilakukan oleh rakyat pastinya membutuhkan pemimpin yang di dukung sepenuhnya oleh rakyat. disana juga dijelaskan pula pemimpin suatu gerakan juga pastinya mempunyai susunan walaupun bentuknya masih tradisional. Kelebihan buku ini, pada buku yang di tulis Timur Mahardika tahun 2000 buku ini sangat membantu karena di sana dijelaskan bagaimana pengelolaan, pengaturan, pengendalian dalam suatu gerakan yang terorganisir, cara penulisannya juga kronologis. Kekurangan buku ini, kebanyakan yang dibahas adalah gerakan masa yang terjadi pada masa reformasi. dan ternyata gerakan sosial apapun pasti membutuhkan pemimpin walaupun bentuknya sederhana.
Pustaka yang ke Tiga adalah Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Pustaka ini membahas tentang sejarah pergerakan organisasi jaman Jepang di Jawa Tengah. Pustaka ke Empat, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah. Pustaka ini membahas tentang peristiwa-peristiwa penting selama kemerdekaan Indonesia di seputar daerah Jawa Tengah. Pustaka Ke Lima, Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia. Pustaka ini berisikan tentang pergerakan organisasi besenjata di daerah Jawa Tengah dan keterlibatan mereka dalam memepertahankan RI yang sampai di Proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dan sumber Pustaka yang ke Enam adalah Peristiwa Tiga Daerah, pada pustaka ini menjelaskan tentang dari Revolusi yang terjadi di daerah, Brebes, Pemalang dan Tegal, sehingga Peristiwa Tiga Daerah banyak di bahas dari sumber pustaka ini.

D. Kerangka Teoritis dan Pendekatan
Skripsi ini mengenai “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mempertahankan Kemerdekaan Dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan Tahun 1945-1946” untuk membatasi pembahasan dalam buku ini maka di butuhkan kerangka Teorotis. Pembatasan ini perlu dilakukan agar tidak ada penyimpanagan terlalu jauh dari pokok pembahasan penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi dan politik. Hubungan sosial di dalam penulisan ini sebagaimana para pelaku menceritkan keadaan dari keadan kehidupan pada waktu itu masa awal kemerdekaan dengan membentuk barisan pertahanan yang bersifat sosial maupun militer . Dari segi Politik, pembahasan ini bagaimana para pejuang untuk melakukan pergerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Dikalangan para pemimpin ALRI ada rencana untuk mengIndonesiakan dan menasionalkan tatacara dan semangatnya. Aba-aba diberikan dalam bahasa Indonesia, para pemuda harus mengucapkan sumpahnya. Kita bertanah air satu : Indonesia, Kita berbangsa satu : Indonesia, kita berbahasa satu : Bahasa Indonesia.


E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
Metode penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah metode sejarah, yaitu proses menguji dan menganalisis rekaman dan peninggalan masa lampau. . Metode penelititian dalam melakukan riset dan penelitian ini, terdiri dari 2 tahap, yaitu wawancara, dan studi pustaka.
Wawancara, merupakan komunikasi langsung antara kami, selaku peneliti dengan narasumber. Wawancara ini, akan dilakukan dalam bentuk tanya-jawab, tatap muka, dan kontak langsung terhadap narasumber. Dengan metode wawancara ini, kami berharap dapat merekam secara langsung berbagai peristiwa dan kegiatan, baik para pelaku maupun saksi yang berkaitan dengan peritiwa tersebut. penulis dapat merekam segala informasi, pengalaman, dan berbagai sudut pandang pelaku dalam menghadapi peristiwa tersebut. Kami juga diharapkan mampu untuk memperoleh berbagai macam kesaksian dan data-data yang berkaitan dengan peristiwa masa lampau, yang kompeten dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Studi pustaka, merupakan metode penelitian dengan jalan mendapatkan data dari buku-buku maupun arsip tertulis dari karya para ahli yang berkaitan dengan objek penelitian. Penulis menggunakan metode ini pada awal hingga akhir penelitian. Metode ini, merupakan metode utama selain wawancara, guna menyinkronisasi kesaksian para pelaku sejarah, hingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Metode penelitian adalah suatu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan kemudian penelitian untuk menyimpulkan, mengorganisasikan dan menafsirkan apa saja yang dapat dimanfaatkan dalam khasanah ilmu pengetahuan manusia. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah kritis yaitu menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu. Metode ini merupakan cara pemecahan masalah dengan menggunakan data atau peninggalan-peninggalan masa lalu untuk memahami peristiwa yang terjadi dan untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau secara imajinatif. Metode sejarah mencakup empat langkah, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), pengujian sumber (kritik), sintesis, dan penulisan (hitoriografi).

Adapun tahapan-tahapan dalam metode sejarah kritis adalah:
a. Heuristik yaitu proses pengumpulan data dan menemukan sumber berupa dokumen-dokumen tertulis dan lisan dari peristiwa masa lampau sebagai sumber sejarah.
Ada pun sumber sejarah tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Artikel mengenai Peristiwa Tiga Daerah yang terdapat di daerah Karesidenan Pekalongan, Arsip-arsip di Perpustakaan mengenai Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan, Arsip mengenai data statistik yang memberikan gambaran tentang keadaan sosial dan ekonomi di Karesidenan Pekalongan. Selain itu juga melakukan studi pustaka sebelum ke lapangan untuk mengumpulkan sumber sekunder yang relevan dengan masalah yang dikaji. Studi arsip dilakukan untuk mengumpulkan sumber primer tertulis yang ada di Karesidenan Pekalongan, Biro Pusat Statistik Karesidenan Pekalongan, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional (PERPUSNAS), Pangkalan ALRI di Tegal. Selain pengumpulan sumber tertulis, dilakukan juga pengumpulan sumber lisan. Metode ini dilaksanakan melalui wawancara terhadap sejumlah saksi sejarah di daerah penelitian meliputi tokoh-tokoh masyarakat (Pejuang Veteran ’45), pejabat instansi (Karesidenan Pekalongan) serta beberapa penduduk di Karesidenan Pekalongan yang mengetahui seluk-beluk mengenai Peristiwa Tiga Daerah. Serta tanggapan dari ahli sejarah mengenai peristiwa tersebut (Sejarawan) Metode sejarah lisan berguna untuk mengungkapkan keterangan-keterangan penting yang tidak ditemukan dalam sumber tertulis.
b. Kritik Sumber, merupakan tahap ke dua setelah sumber-sumber yang diperlukan terpenuhi. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji sumber guna mengetahui keotentikan atau keaslian bahan dan tulisan dalam sumber tertulis. Kritik intern diperlukan untuk menilai isi sumber yang dikehendaki untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Beberapa sumber yang penulis peroleh dan dilakukannya kritik sumber diperoleh beberapa sumber yang teruji keotentikannya, sebagian di antaranya melalui kritik intern dan penelusuran sumber melalui wawancara dapat diketahui kebenaran isi sumber yang penulis kehendaki.
c. Interpretasi yaitu tahapan untuk menafsirkan fakta serta membandingkannya untuk diceritakan kembali. Sumber yang telah diseleksi selanjutnya dilakukan tahapan sintesa untuk mengurutkan dan merangkaikan fakta-fakta serta mencari hubungan sebab-akibat.
d. Historiografi atau penulisan sejarah yaitu proses mensintesakan fakta atau proses menceritakan rangkaian fakta dalam suatu bentuk tulisan yang bersifat historis secara kritis analitis dan bersifat ilmiah berdasarkan fakta yang diperoleh. Dengan demikian perkembangan yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tengaran dapat terungkap secara kronologis.
Dalam skripsi yang berjudul “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Mempertahankan Kemerdekaan Dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan Tahun 1945-1946” ini, sumber-sumber yang digunakan berasal dari beberapa lembaga kearsipan dan perpustakaan seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (PERPUSNAS), Kantor Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, Kantor Pemerintahan Kota Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan, Dinas Sejarah TNI-AD, Dinas TNI-AL, Perpustakaan KODAM IV/Diponegoro, Arsip Museum Mandala Bhakti, dan DEPO Suara Merdeka. Pengumpulan sumber juga dilakukan melalui penelitian lapangan di daerah tempat terjadinya peristiwa.









F. Sistematika Penulisan
Laporan ini, akan terdiri dari 5 bab, yaitu :
Bab I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang dan Permasalahan
B. Ruang Lingkup
C. Tinjauan Pustaka
D. Kerangka Teoretis dan Pendekatan
E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber
F. Sistematika Penulisan
Bab II. GAMBARAN UMUM KARESIDENAN PEKALONGAN TAHUN 1945 – 1946
A. Keadaan Wilayah
1. Keadaan Geografi
2. Keadaan Demografi
B. Keadaan Sosial Ekonomi
C. Keadaan Sosial Budaya
D. Keadaan Sosial Politik
E. Keadaan umum daerah Karasidenan Pekalongan selama masa Perjuangan kemerdekaan..
Bab III. Pengaruh dan Dampak Peristiwa Tiga Daerah dalam kehidupan sosial politik masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.
A. Proses terjadinya Peristiwa Tiga Daerah menjadi revolusi sosial.
B. Permasalahan yang ditimbulkan Peristiwa Tiga Daerah
1. Terjadinya krisis kepercayaan antara rakyat dengan elite birokrasi di wilayah karesidenan pekalongan.
2. Terjadinya krisis kepercayaan antara rakyat dengan TKR dan kepolisian di wilayah karesidenan Pekalongan
3. Terjadinya krisis kepercayaan antara rakyat dengan Pemerintah Pusat Indonesia.
C. Pengaruh peristiwa tiga daerah dalam kehidupan masyarakat karesidenan Pekalongan.
Bab IV. Peranan ALRI mempertahankan kemerdekaan dalam Peristiwa Tiga Daerah di Karasidenan Pekalongan.
A. Sejarah pembentukan ALRI dengan tugas dan tujuannya.
B. Langkah-langkah yang di ambil oleh Pemerintah Republik Indonesia meredakan gerakan revolusi sosial untuk menjaga stabilitas nasional dalam Peristiwa Tiga Daerah.
C. Proses terjadinya gerakan operasi penyerangan dan pembersihan terhadap kekuatan-kekuatan massa rakyat di peristiwa tiga daerah.
D. Peranan ALRI mempertahankan kemerdekaan dalam peristiwa tiga daerah.
Bab V. KESIMPULAN.


Daftar Pustaka
Arsip dan Manuskrip
1. Riwayat perjuangan TKR pasca perang kemerdekaan 1945, (Arsip Museum Mandala Bhakti / Perpustakaan BINTALDAM IV Diponegoro).
2. Riwayat ALRI di Karesidenan Pekalongan, (Arsip BKR Laut Pangkalan IV Tegal ALRI di Tegal). *Belum terlampirkan*
3. Peristiwa Tiga Daerah, (Arsip Surat Kabar Suara Merdeka) *Belum terlampirkan*
4. Peristiwa Tiga Daerah, (Arsip Surat Kabar Antara). *Belum terlampirkan*
5. Peristiwa Tiga Daerah dan perjuangan TKR dalam mempertahankan kemerdekaan 1945, (PERPUSNAS). *Belum terlampirkan*
6. Keadaan sosial politik pasca Peristiwa Tiga Daerah, (Arsip Pemkot Karesidenan Pekalongan). *Belum terlampirkan*
Buku
1. Wiyono. Suwardi. Hugiono. Asmito dan Kasmadi, Hartono, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah (Jakarta. Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1991).
2. Poesponegoro, Marwati Djoened. Notosusanto, Nugroho, SEJARAH NASIONAL INDONESIA JILID VI (Jakarta. Balai Pustaka, 1993 ).
3. Kelompok Kerja Universitas, Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata Bangsa Indonesia (Jakarta. Staf Angkatan Besenjata.1963).
4. E, Lucas, Anton, Revolusi Tiga Daerah (revolus dalam revolusi) (Jakarta. Pustaka Utama Grafiti).
5. Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977).
6. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (Jakarata: Universitas Indonesia Press, 1975).
7. Kartodirdjo, Sartono, Metode Penggunaan Bahan Dokumenter, dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat ( Jakarta: Gramedia, 1989).
8. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997).
9. Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarata: Mega Book Store, 1984).
10. Alfian.T. Ibrahim, Dari babad dan hikayat sampai sejarah kritis (Yogyakarta: UGM press,1987).
11. Achmad, Ungkapan Peristiwa Tiga Daerah (Tegal, Brebes, Pemalang) (Tegal: Markas cabang Legiun Veteran RI kabupaten/kodya Tegal,1977).
12. Depdikbud, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. (Jakarta: Depdikbud,1989).
13. Suryo, Djoko, Pergolakan daerah di awal Revolusi kasus di daerah pekalongan (Jakarta: LP3ES,1987).
14. E, Lucas Anton, One Soul one struggele (peristiwa tiga daerah) (Yogyakarta : Resist Book,2004).
15. E, Lucas Anton, Peristiwa Tiga Daerah (Yogyakarta: Grafiti Pers,1986).
16. Geertz. S. Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam masyarakat jawa (Jakarta: Pustaka jaya,1989).
17. Ghazali, Zulfikar, Sejarah Lokal ( Kumpulan Makalah Diskusi) (Jakarta: Departemen pendidikan & Kebudayaan,1995).
18. Ibrahim Julianto, Pengantar Prof Dr Suhartono, Bandit dan pejuang di simpang Bengawan (Wonogiri: Bina Citra Pustaka,2004).
19. Kartono, kartini, Patologi sosial. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Rajawali Perss,2003).
20. Kahin Audrey R, Pergolakan daerah pada awal kemerdekaan (Jakarta : Grafiti,1989).
21. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara wacana,1994).
22. Kutoyo Sutrisno, Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 Jawa tengah (Semarang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan nilai tradisional proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,1979/1980).
23. Mahardika Timur, Gerakan Massa (menyampaikan demokrasi dan keadilan) Secara damai (Yogyakarta: Lapera,2000).
24. Moedjanto, G, Indonesia Abad ke 20 jilid 1( Yogyakarta: Kanisius,1988).
25. Pruitt. G, Deandan Robin.Z. Zeffrey, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka pelajar,2004)
26. R.Z. Leirissa, Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 (Jakarta: PT Melton Putra).
27. Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro, Sirnaning Jakso Katon Gapuraning Ratu (Semarang: Yayasan Diponegoro,1986).
28. Saputro, Tegal (Tegal: markas cabang Legiun Veteran RI Kabupaten/kodya Tegal,1956).
29. Suhartono, Bandit-bandit pedesaan ( studi histories 1850-1942 di Jawa) (Yogyakarta: Aditya Media,1993).
30. Sudjatmoko dkk, Historiografi Indonesia Sebuah pengantar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1995).
31. Lapian, Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959 (Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan RI Arsip Nomor S.32. Peristiwa Tiga Daerah,1996).
Lampiran-lampiran
1. Artikel Riwayat Singkat Perkembangan Perjuangan ALRI di Karasidenan Pekalongan dalam Peristiwa Tiga Daerah.
2. Hasil wawancara para Veteran ALRI dan Veteran ’45.
a. Nama : Sachmad salam
Umur : 77 th
Pekerjaan : Ketua Legiun Veteran kota Tegal
Alamat : Desa Pagerbarang kab Tegal
b. Nama : Wadiono
Umur :
Pekerjaan : Mantan Wakil Kepala Staff Resimen - 17
Alamat : Desa Kebasen Rt 09/ 03 Talang - Tegal
c. Nama : Bambang Lukkito Soedarto
Umur : 81 th
Pekerjaan : Veteran ALRI
Alamat: Jl. Banowati Rt 03/12 Mulyoharjo – Pemalang

Bandit-bandit Revolusioner

MONDAY, MARCH 10, 2008
Bandit-bandit Revolusioner
Pernah terjadi dalam suatu zaman, bandit berubah jadi jagoan.

Kata bandit selalu diasosiasikan dengan dunia kejahatan dan kekejaman. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain terbitan Pustaka Sinar Harapan (2001) kata “bandit” diartikan sebagai “penjahat besar.”

Kini istilah bandit yang “setengah pingsan” itu mengemuka kembali setelah beberapa hari lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengutarakan bahwa tidak semuanya pejabat itu bandit.

Profesi bandit memang selalu berhubungan dengan kriminalitas. Namun jika ditilik lebih jauh, dunia perbanditan bisa dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Di Indonesia, perbanditan memang pernah turut mewarnai jalannya sejarah. Benggol, lenggaong, kecu, jago dan jawara adalah istilah-istilah yang disepadankan kepada orang-orang yang bermukim di dunia perbanditan.

Banyak mitos yang menyelubungi kisah perbanditan. Di Inggris Robinhood dikenal sebagai bandit dermawan yang punya kode etik: hanya merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin.

Terminologi atau istilah mengenai perbanditan biasanya memang dipandang dari sudut yang subyektif, tergantung dari mana istilah itu diberikan. Biasanya terminologi itu muncul dari kalangan penguasa. Menurut sejarawan Suhartono W Pranoto di dalam bukunya “Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942” perbanditan selalu mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Selanjutnya, bandit itu mencakup pengertian: perampok berkawan; seorang yang mencuri; membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu (gangster); seorang yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar; dan musuh.

Perbanditan pada zaman kolonial juga bisa dipahami sebagai bentuk resistensi politik terhadap penguasa. Kata bandit memang berkonotasi buruk. Dan penamaan itu memang diberikan oleh pemerintah kolonial di dalam laporan-laporannya, terutama di dalam proces verbaal terhadap pelaku yang kebetulan adalah rakyat pribumi.

Ada beberapa sarjana yang pernah meneliti tentang dunia perbanditan, di antaranya Eric J. Hobsbawm, sejarawan Inggris yang mendefinisikan bandit sebagai seorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Namun demikian menurut Hobsbawm, bandit terbagi ke dalam dua kategori, bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit).

Dalam sejarah Indonesia, khususnya pada periode awal abad ke19, sulit membedakan perbanditan dengan kriminalitas biasa. Sejak pertengahan abad ke-19 pengaruh kultur barat makin kuat ke pedesaan. Pengaruh ini makin marak dengan hadirnya perkebunan dan pabrik di pedesaan Jawa sebagai pusat eksploitasi agraris. Terpuruknya kehidupan ekonomi di kalangan rakyat bawah mendorong munculnya kriminalitas yang acapkali dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat yang punya muatan politis di dalam menjalankan aksinya.

Di antara para bandit yang terkenal di zaman kolonial adalah Mas Jakaria dari Banten. Karir banditnya berlangsung dari tahun 1811-1827. Mendiang ayah Jakaria juga seorang bandit yang dijuluki sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial. Mas Jakaria melancarkan aksinya kepada golongan kaya dan membagikan hasil kejahatannya untuk rakyat miskin. Dari aksinya itu Suhartono mengategorikan Mas Jakaria sebagai bandit sosial.

Bandit sosial lain yang juga terkenal adalah Saniin Gede yang hidup pada abad ke-19. Menurut penuturan Multatuli di dalam Max Havelaar perbanditan di Banten sudah terorganisasikan sejak awal abad ke-19. Sama halnya dengan Mas Jakaria, Saniin Gede juga membagikan rampasannya kepada rakyat jelata.

Salah satu bandit sosial yang melakukan pembangkangan terhadap penguasa kolonial adalah Entong Gendut. Perbanditan ala Entong Gendut yang dilakukan pada 1916 itu merupakan simbol resistensi anti tuan tanah. Entong Gendut mewakili ketidakpuasan petani tanah partikelir di Tanjung Timur, Afdeling Jatinegara, Batavia. Perlawanan Entong Gendut ini kemudian berkembang menjadi gerakan quasi-religius (Suhartono: 1995, 136).

Gerakan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu terjadi pada tanggal 7 Maret 1916. Saat itu Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi Taba untuk melakukan eksekusi. Seluruh harta kekayaannya harus ia lego untuk mebayar hutang sebesar f.7,20. Entong Gendut yang pada waktu itu sudah terkenal sebagai jago Betawi mencoba menggagalkan upaya Asisten Wedana itu. Pada tanggal 5 April 1916 Entong Gendut dan anak buahnya membubarkan pertunjukan topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova. Sementara itu rumah tuan tanah Tanjung Timur D.C. Ament dilempari batu oleh sekelompok penduduk.

Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukungnya semakin bertambah banyak. Pada 9 April 1916 Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen Jatinegara tentunya. Oleh karena itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut yang disertai 40 orang pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh polisi yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah. Perlawanan Entong Gendut dapat dipatahkan seketika dan Entong Gendut sendiri tewas diterjang peluru polisi.

Perbanditan lain yang juga masuk ke dalam kategori resistensi politik adalah gerakan Kaiin Bapa Kayah. Ia adalah petani kecil dari aderah Tangerang. Sejak zaman VOC daerah Tangerang menjadi tanah partikelir yang disewakan kepada orang-orang Tionghoa secara turun-temurun. Petani setempat yang menggarap lahan di sana dikenai pajak (cuke) sebesar seperlima hasil panen. Selain cuke, petani juga masih dibebani oleh pajak kompenian, sebuah aturan pajak dari VOC yang diberlakukan kepada petani untuk membayar pemakaian tanah untuk rumah, pekarangan dan tegalan. Pajak kompenian itu lantas digunakan untuk membiayai perbaikan jalan, jembatan dan ronda.

Dalam sebuah pesta khitan anak tirinya pada 9 dan 10 Februari 1922 ia mengumumkan dirinya akan menjadi raja di tanah Pangkalan dan Tanah Melayu. Saat itu ia berjanji akan mengusir orang Tionghoa sekaligus menghapuskan pajak cuke dan kompenian. Ia pun melancarkan aksinya dengan menangkapi warga Tionghoa dan yang berjanji akan pulang ke negerinya dibebaskan. Namun gerombolan Kaiin Bapa Kayah dapat dihentikan setelah terjadi baku tembak dengan polisi.

Dalam model perbanditan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah itu merupakan manifestasi dari kekecewaan petani terhadap tingginya beban pajak. Padahal hidup mereka sehari-hari amat mengandalkan tanah partikelir itu.

Secara umum pada periode paruh kedua abad ke-18 hingga awal abad ke-19 pemerintah kolonial selalu dibuat resah dengan maraknya gerakan perbanditan. Beberapa aksi itu memang lahir dari keadaan sosial ekonomi yang memprihatinkan. Namun tidak sedikit juga perbanditan yang memang motivasinya kriminal murni.

Secara umum situasi keamanan di Hindia Belanda, khususnya di Banten dan Batavia diliputi oleh keadaan yang kurang kondusif. Di sana sini terjadi kemelorotan ekonomi, terutama di kalangan rakyat pribumi kelas bawah. Keadaan yang demikian menjadi pemicu bagi munculnya gerakan perbanditan, baik yang bersifat kriminal biasa maupun yang bersifat sosio-politik.

Memasuki periode revolusi atau pasca kemerdekaan RI pun perbanditan tak kalah menariknya untuk disimak. Dalam periode ini terjadi kekaburan identitas di antara dua elemen sosial yang sebenarnya sangat kontradiktif. Bandit yang menjadi pejuang dan pejuang yang menjadi bandit.

Pada masa revolusi , para bandit atau yang kerap disebut jagoan dihadapkan pada dua pilihan: menjadi seorang kriminal atau revolusioner. Akan tetapi pada kenyataannya para jagoan itu itu mencampuradukkan dua dunia yang bertolak belakang itu untuk kepentingan pribadinya. Seorang penjahat sejati menganggap revolusi sebagai kesempatan baik untuk melakukan kejahatan. Seringkali, pemimpin bandit mencari legitimasi untuk revolusi dengan cara mengadopsi status formal seorang penguasa (Julianto Ibrahim: 2004, 221).

Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa.

Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143).

Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan.

Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.

Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman. Pada periode kolonial, perbanditan, khususnya yang bernuasa resitensi politik, merupakan reaksi dari penindasan penguasa kolonial. Sedangkan pada masa revolusi, seperti yang terjadi pada “Peristiwa Tiga Daerah” perbanditan mengemuka sebagai manifestasi perasaan dendam kepada pejabat kolonial dan keterpurukan kehidupan ekonomi yang membelit kehidupan rakyat.
POSTED BY BONNIE TRIYANA