pengen tau aja

Jumat, 16 Juli 2010

Mahasiswa dan Idealisme



Mahasiswa dan Idealisme
posted in renungan |

Ketika aku dulu masih berada di tingkat awal kuliahku, seorang kakak angkatan mengatakan kepadaku bahwa idealisme, apapun itu (kiri atau kanan, kejujuran dalam ujian-ujian, dll), akan luntur begitu kita lulus dan harus menghadapi dunia kerja. Dahulu aku tidak percaya sama sekali dengan prediksi kakak angkatanku tersebut. Tetapi sekarang rasanya hal tersebut begitu nyata. Mungkin tidak semua mahasiswa idealis menjadi tidak idealis, tapi setidaknya beberapa orang yang aku kenal keadaannya memang demikian.

Seorang kakak angkatan yang satu jurusan denganku, adalah orang yang selalu membela kepentingan rakyat ketika masih kuliah. Pikirannya tajam, setajam pisau, mengkritisi kebijakan-kebijakan orde baru kala itu. Tetapi sekarang, karena dia menggantungkan ekonomi keluarga pada sebuah bisnis yang dirintisnya sendiri, maka lunturlah semua yang diidealkannya semasa kuliah dulu. Sogok kanan, sogok kiri, kolusi, dan lain-lain perbuatan tercela dilakukannya demi memperoleh order untuk perusahaannya. “Kalau perusahaan bangkrut maka banyak karyawan yang akan di PHK. Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang kena”, demikian dia berkilah.

Seorang kakak, sejurusan juga, berbeda lagi ceritanya. Dahulu dia adalah seorang yang shaleh. Kemudian rejekinya datang dari sebuah service company penyedia well-site geologist. Karena harus sering ke lapangan, imanpun menjadi goyah. Mabuk, main perempuan, dan berjudi menjadi pengisi waktu luangnya kala harus menanti well mencapai total depth. Kehidupan lapangan minyak mungkin terlalu gersang untuknya menyuburkan iman di dada. Ditambah kejenuhan karena harus tinggal di tempat terpencil dan jauh dari peradaban, membuat dia merasa layak untuk mendapatkan kesenangan sesaat tersebut untuk membayar apa yang telah dikorbankannya.

Kakak kelasku yang lain sedikit lebih beruntung dari teman-temannya. Dahulu dia begitu jijik dengan segala jenis KKN oleh perusahaan-perusahaan pemerintah. Tetapi, begitu dia terpaksa bergabung dengan sebuah BUMN besar di negeri ini, KKN menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-harinya. Dia memang tidak menjadi pelaku KKN tersebut karena kebetulan job desc dia hanya berhubungan dengan technicalnya saja, tetapi dia menyaksikan semua kegiatan KKN tersebut dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Kisah teman seangkatanku agak ironis juga. Setelah menyelesaikan studinya selama 4 tahun di ITB, dia langsung diterima di sebuah service company yang besar, dan ditempatkan di lapangan. Kemudian dia harus menyaksikan bagaimana perusahaan sering membohongi negara yang dicintainya demi menggelembungkan pundi-pundi rupiahnya sendiri. Akhirnya dia memutuskan keluar dari perusahaan tersebut, dan menggunakan simpanan dollarnya untuk membuat perusahaan sendiri. Karena ingin perusahaannya bersih dari KKN, maka tak ayal collaps lah perusahaannya. Tapi dia bilang kepadaku, “Ini bukan masalah KKN atau tidak, ini hanya masalah manajemen yang tidak bisa aku handle.” Akhirnya dia memilih menjadi guru SMA untuk melanjutkan kelangsungan kebulan dapurnya.

Beberapa bulan kemudian, rejeki datang menghampirinya. Dia diterima di sebuah perusahaan pertambangan open pit yang sering mengabaikan dampak lingkungan sekitarnya. Tanah-tanah digerus, hutan dibabat, limbah dibuang sekenanya, untuk mendapatkan segepok emas dengan biaya rendah. Tetapi dia tak punya pilihan lain selain bertahan di perusahaan yang berlumuran darah rakyat yang dirugikan akibat pencemaran lingkungan yang dibuatnya. Dia tak dapat mengelak bahwa hidup ini memang mahal pertaruhannya.

Kemarin aku membaca sebuah novel tentang kehidupan mahasiswa ITB dan kehidupan setelah menyandang gelar sarjana, berjudul Gading-Gading Ganesha. Entah cerita dalam novel itu fiksi atau rekayasa, yang pasti aku merasakannya seperti suatu kisah nyata. Ironis sekali kisahnya. Kemudian aku mencoba berpikir minimalis saja, setidaknya mereka pernah menjadi idealis dan berjuang dengan tulus untuk rakyat, untuk perubahan, daripada tidak pernah menjadi idealis sama sekali, walaupun diujung cerita jalan hidup menentukan yang berbeda. Setidaknya mereka telah berhasil menumbangkan sebuah tirani orde baru, walaupun akhirnya mereka terlibat dalam pembentukan tirani berikutnya.

Seandainya saja ukuran kesuksesan itu bukan materi, seandainya saja kenyamanan jasmani tak harus berharga begitu tinggi, seandainya saja SPP sekolah dan kuliah tidak melambung tinggi, seandainya…ah…seandainya…

Malam-malam tak pernah putus aku beristighfar kepada Allah, agar rejeki yang dibawa suamiku dari perusahaan swasta tempatnya bekerja, yang aku yakin juga melakukan KKN, dapat menjadi berkah bagi kami. Dan terus berharap dzikirku akan dapat mengimbangi dosa-dosa tak langsung yang harus kami tanggung, sehingga menjadi halallah rejeki kami.

Mahasiswa adalah kekuatan intelektual negeri, jangan berhenti mengkritisi, selagi masih ada hari tanpa kejaran target materi untuk anak bini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar