pengen tau aja

Sabtu, 26 Juni 2010

Sekolah Tinggi "James Bond" di Sentul

Sekolah Tinggi "James Bond" di Sentul

Rabu, 7 Oktober 2009 | 03:57 WIB

Oleh Wisnu Dewabrata

Wajah cerah nan semringah tergambar jelas di paras para wisudawan Sekolah Tinggi Intelijen Negara, 2 Oktober lalu, yang menggelar prosesi wisuda pertama kali di kampus mereka, yang berdiri di kawasan perbukitan sejuk di wilayah Sentul, Bogor, Jawa Barat.

Empat tahun mereka kuliah dan menimba berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan keintelijenan di kampus yang dibangun sejak pertengahan tahun 2004 saat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) masih dijabat AM Hendropriyono.

Suasana wisuda angkatan I dan II, masing-masing terdiri dari 30-an wisudawan dua program studi, keagenan (agent) dan analis (analyst), itu terkesan tak jauh beda dengan prosesi serupa di berbagai kampus lain. Banyak orangtua dan kerabat para wisudawan hadir dalam upacara itu selain para undangan kehormatan seperti para pejabat intelijen dan tentu saja Kepala BIN Syamsir Siregar beserta wakilnya, As’ad Said Ali.

Tidak ada kesan angker, kaku, tegang, apalagi berbau-bau militer. Padahal, tugas teramat berat menanti para lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) itu. Menurut Syamsir, para wisudawan sekolah tinggi itu diproyeksikan menjadi tulang punggung dan generasi penerus intelijen Indonesia setidaknya 10-15 tahun mendatang. Malah bukan tidak mungkin salah seorang dari mereka bakal menjabat Kepala BIN menggantikan dirinya.

Beban berat lain boleh jadi dengan tepat, singkat, dan padat diilustrasikan As’ad dalam orasi ilmiah yang ia sampaikan saat itu. Menurut dia, sosok intelijen adalah mereka yang, ”Jika berhasil (menjalankan tugas) tidak dipuji. Jika gagal dicaci maki. Jika hilang tidak akan dicari. Dan jika mati tidak ada yang mengakui.”

Hidup serba dalam bayang-bayang keserbarahasiaan. Bahkan sejak saat masih berkuliah. Hal itu dibenarkan Ketua II STIN Supono Sugirman, yang hari itu menemani para wartawan berkeliling mendatangi sejumlah fasilitas perkuliahan dan asrama tempat tinggal di STIN.

”Kalau ditanya kuliah di mana, anak-anak sudah paham harus menjawab apa. Hanya keluarga mereka yang diberi tahu kondisi sebenarnya, termasuk juga soal akan jadi apa anak-anak mereka nanti, seperti apa pekerjaan dan risikonya,” ujar Supono sambil tersenyum.

Menurut Supono, keluarga harus tahu. Dalam dunia intelijen, perlindungan oleh keluarga adalah perlindungan terbaik. Hal serupa, menurut dia, juga dilakukan oleh para teroris.

Setiap tahun STIN merekrut 30-an mahasiswa untuk dididik selama empat tahun dalam jenjang strata satu, dengan gelar sarjana intelijen (S In). Selain ilmu keintelijenan, para mahasiswa juga dididik dengan bekal keilmuwan lainnya sebagai pendukung, seperti ekonomi, sosial, politik, eksakta, budaya, dan banyak lagi. Mereka juga diwajibkan menguasai bahasa asing selain Inggris, seperti Mandarin, Arab, dan Perancis.

Para pengajarnya pun didatangkan khusus dari dosen-dosen terbaik dari semua perguruan tinggi negeri terkenal di negeri ini. Para pengajar tamu juga didatangkan dari kalangan praktisi terbaik di bidangnya.

Pola perekrutan mahasiswa baru digelar secara khusus. Bersama BIN, pihak STIN, dengan dibantu instansi terkait lain seperti Departemen Pendidikan Nasional, membentuk tim khusus untuk ”memburu” para siswa berprestasi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dari seluruh pelosok Indonesia. Setelah dikumpulkan, mereka dites kembali oleh STIN.

”Kami di sini akan mendidik mereka dari sekadar anak cerdas menjadi lebih cerdas lagi. Mereka kami ambil dari berbagai sekolah yang menerapkan sistem asrama (boarding school). Tujuannya agar sejak awal mereka sudah terbiasa hidup disiplin. Orang cerdas tetapi tidak disiplin bisa jadi orang yang berbahaya,” ujar Supono.

Sementara itu, Kepala STIN Sutjahjo Adi menegaskan, STIN mendidik calon prajurit perang pikir, bukan fisik. Perdebatan akademis diwajibkan. Para mahasiswa dipersilakan berargumen sekeras mungkin, tetapi tidak boleh bentrok fisik.

Pihak STIN melarang, apalagi menerapkan cara-cara kekerasan, baik di antara para pengajar dengan peserta didik maupun antarmahasiswa. Hal itu sesuai dengan slogan pendidikan STIN, ”Cendikia Waskita”. Hubungan antar yunior dan para senior (wisudawan), seperti terlihat sepanjang kegiatan wisuda, juga membuktikan klaim Adi tadi. Bagi mereka yang melanggar, sanksi teramat keras siap menunggu.

Wanita cantik

Sayangnya, tidak satu pun dari puluhan wisudawan itu bisa diajak berbincang-bincang. Di antara para wisudawan tampak wanita berparas cantik. Ada pula yang berpenampilan genit. Walau selalu tersenyum dan berlaku ramah, nyaris tidak ada jawaban berarti, apalagi panjang lebar, keluar dari mulut mereka saat ditanya.

Boleh jadi hal itu terjadi naluriah. Maklum saja, setelah empat tahun dididik menjadi calon intelijen andal, mereka hanya paham bagaimana caranya ”menyerap” sebanyak mungkin informasi, bukan malah membagi-bagikannya.

Akan tetapi, soal apakah para mahasiswa itu memang diajari agar bisa menjadi seolah tokoh intelijen rekaan Hollywood, James Bond, di dunia nyata, secara berkelakar Sutjahjo Adi menjawab, ”Kalau hal itu berarti selalu ditemani perempuan cantik macam di film, saya setiap hari ya memang didampingi perempuan cantik, yaitu istri saya sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar